Thursday, September 12, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Bumbu Masak Machmudah (BMM) Bermula dari Hobi, Desa Putat, Tanggulangin, Kab. Sidoarjo

BMM Bermula dari Hobi Memasak, Pelanggan-pelanggan itu berdatangan dari Malang, Gresik, Surabaya, Sdoarjo dan kota- kota lainnya. Mereka hendak mengambil…


BMM Bermula dari Hobi Memasak, Pelanggan-pelanggan itu berdatangan dari Malang, Gresik, Surabaya, Sdoarjo dan kota- kota lainnya. Mereka hendak mengambil aneka jenis bumbu masak untuk dijual lagi. Ya, Bumbu Masak Machmudah (BMM) adalah produk asli Desa Putat, RT 02 RW 01, Kec Tanggulangin, Kab Sidoarjo, yang siap meluncur ke berbagai daerah. Seperti apakah?

Sejak sekitar pukul 06.00 tempat produksi BMM mulai aktivitasnya. Dua saudara kembar

kini kondang ke mana-mana. Kemasan BMM ada dua macam, bentuk bulat (dijendeli) dan kotak (sasetan).

Ratusan tas kresek bumbu masak berbagai jenis masakan, sudah disiapkan di bedak-bedak untuk masing-masing pelanggan. Setiap tas kresek berisi 25 bungkus. “Ya itu untuk memudah- kan penghitungan,” kata Mach nunah (53), saudara kembar Machmudah.

Machnunah dan Mach­mudah asli kelahiran Desa Putat RT 02 RW 01, 24 April 1965. Sejak kecil hobi mereka memang masak-memasak. Si kembar tadi suka membantu orangtuanya memasak. Kalau ada tetangga yang punya hajat, mereka suka membantu memasak.

Dari keterampilan me­reka itu, lantas ada yang bilang, “Ibu kok nggak jualan bumbu saja. Kalau masak ‘kan enak,” kata Machnunah. Pada bulan Puasa 1999, mereka mencoba bikin bumbu, untuk Machmudah dan Machnunah adalah perintis usaha tersebut yang hingga dijual. Ada yang menjual bumbu masak tersebut ke pabrik-pabrik, ternyata laku terus.

Pada awalnya cuma bikin satu macam bumbu masak, yakni bumbu rawon. Harga jual per bungkus tak sampai seribu, tepatnya Rp 900. Kemudian jenis bumbu masak yang dibuat terus bertambah. Sampai sekarang ada 16 macam bumbu masak.

Setelah usaha berjalan lancar, baru mengurus perizinannya tahun 2000. Sekarang sebungkus BMM untuk pelanggan lama dan partai besar Rp 1.200, harga eceran Rp 1.300. Produksi BMM per-hari 25.000 bungkus sampai 30.000 bungkus, dengan melibatkan sekitar 100 orang tetangga sekitarnya. “Yang nggak punya ijazah dan nggak bisa kerja di pabrik, kerja di sini,” kata Machnunah.

Kalau tidak bisa kerja di tempat produksi, dikasih kerjaan di rumah masing-masing, se­perti melipat plastik atau nuthuk kluwek, yang bisa dilakukan di rumahnya sambil men- gasuh anak atau cucunya.

Cara meracik bumbu, seperti mema­sak rumahan, hanya saja dalam porsi besar. Setelah bahan bumbu ditimbang dan dicuci, digiling dengan gilingan bumbu, kemudian dima- sak dengan wajan berdiameter 70 Cm, seperti masak jenang. “Kalau sudah matang, sudah tanak, diangkat dan didinginkan. Lalu dikemas, baru dijual. Bentuknya ya seperti jenang,” ujarnya. Anehnya meski bahannya sama, banyak yang

fanatik dengan bentuk kemasannya. “Ada yang mengatakan, yang bulat lebih enak. Sebaliknya ada yang menganggap yang kotak lebih enak/’ kata Ny Machnunah sambil tersenyum. Bahan bumbu seperti bawang putih, bawang merah, cabe merah, lombok, kirimnya setiap hari.

Sehari pasokan bawang yang sudah dikupas 4 kuintal hingga 5 kuintal. Bawang merah le­bih banyak ketimbang bawang putih. “Kalau kemiri dan kluwek yang tahan lama, bisa dikirim beberapa hari sekali,” ujarnya.

Meski tanpa bahan pengawet, produk BMM bisa bertahan 10 hari hingga 2 minggu. Kalau disimpan di kulkas tahan lebih lama. Kalau bumbu rawon dan soto tahan lebih lama, karena garam, gula, dan minyaknya banyak, itu sama dengan penga­wet alami.Pemasarannya di rumah saja, pembayaran secara tunai. Bumbu diambil, dibayar langsung. Kadang-kadang harus pesan dulu. BMM tak berkeberatan, menjual lagi produknya ke pihak lain, tanpa mengubah dua macam kemasan tadi, bulat dan kotak. Tak heran pemasaran produk BMM sampai merambah Jawa Tengah dan Jawa Barat. (heru darmanto)

Sumber :   Dinukil dari  Majalah Wanita Puspa , Edisi 34, Oktober 2018 hal. 34-35