Nelayan Kemantren, Paciran, Andalkan Rajungan. Kab. Lamongan
Kiprah nelayan di kawasan Kemantren, Kec Paciran, Kab Lamongan, tampaknya lebih mengandalkan tangkapan rajungan. Hanya dua atau tiga nelayan yang…
Kiprah nelayan di kawasan Kemantren, Kec Paciran, Kab Lamongan, tampaknya lebih mengandalkan tangkapan rajungan. Hanya dua atau tiga nelayan yang masih konsisten pada perburuan ikan selain rajungan.
TUKIN (42), salah satu nelayan Kemantren menyebutkan, ada sekitar’ 200 orang nelayan yang ada di kawasan tersebut, dan sebagian besar fokus berburu rajungan. “Hanya ada dua atau tiga orang yang mencari ikan di laut selain rajungan,” ujarnya.
Ia mengaku sudah 20 tahun menjadi nelayan rajungan. Siang hari sekitar pukul 12.00-an pasang wuwu di dalam perairan laut, kemudian pukul 24.00 diambil. Namun hasil rajungan yang diperoleh tidak pasti. “Tadi dapat satu kilo daging,”ujarnya.
Kalau pada musim panen bisa dapat 4 Kg sampai 5 Kg daging, istilah nelayan untuk menyebut rajungan tangkapan. Sedangkan mengenai kendala nelayan rajungan, Tukin menyebut kapal trawl (pukat harimau). “Kami menaruh wuwu “kan di dalam laut. Sering disasak (ditabrak, Red) sama trawl,” ujarnya.
Terkait hal itu, para nelayan sudah mengadu kepada HNSI, dan dijanjikan akan menindak kapal trawl. Namun kapal trawl tetap beroperasi di perairan Paciran, khususnya di perairan kawasan Kemantren.
Harga rajungan perkilogram antara Rp 80 ribu hingga Rp 90 ribu. Untuk memasang wuwu dan mengambil rajungan butuh 10 liter solar. Mengenai hal ini Tukin mengatakan, namanya usaha di laut, terkadang untung, terkadang rugi. Tetapi kalau dapat 1 Kg rajungan, sudah impas.
Salah satu pertimbangan, mengapa para nelayan Kemantren lebih memilih mencari rajungan, karena perairan untuk menanam laut tidak jauh, tidak banyak menghabiskan solar.
Faktor utama nelayan Kemantren lebih suka menangkap rajungan, melimpahnya hasil rajungan di perairan pantura. Namun seperti hasil laut lainnya, rajungan juga memiliki puncak hasil tangkapan (musim panen) dan musim paceklik. “Kalau tidak musim puncak, kita pun masih bisa dapat tangkapan minimal 1 Kg per hari,” ujarnya. Harga rajungan di Lamongan pun relatif lebih stabil.
Rajungan berbeda dengan kepiting, meski bentuknya agak mirip, secara fisik, sepasang kaki belakang rajungan, ujungnya berbentuk pipih. Sehingga memudahkan rajungan berenang di dalam air. Sedangkan kaki belakang kepiting berbentuk hampir sama dengan empat pasang kaki lainnya. “saat masih hidup kepiting warnanya itu-itu saja. Rajungan lebih bervariatif, ada yang kehijau-hijauan, ada juga yang kebiru-biruan. Namun saat sudah dimasak, keduanya berwarna sama, orange,” tutur Tukin.
Daging rajungan juga lebih gurih, kerapasnya lebih lunak. Sehingga untuk mengambil daging dalamnya lebih mudah. Habitat dua binatang serupa ini juga berbeda. Kepiting bisa hidup di darat dan di laut, sedangkan rajungan tidak bisa bertahan lama di darat.
Gizi rajungan pun lebih unggul. Menurut data Badan Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPP- MHP), nilai kandungan protein rajungan mencapai 16,85%, kepiting berada di bawahnya, 11,9%. Kandungan kolestrol rajungan juga lebih rendah daripada udang dan lobster, sekitar 78 mg per 100 gram. Gizi lain yang ada dalam daging rajungan kabohidrat, kalsium, fos- for, zat besi, vitamin A, dan vitamin B1. Tingginya minat konsumsi masyarakat pada rajungan, membuat harganya cukup tinggi dan tergolong stabil.
Daging rajungan tersembunyi di dalam kerapas, di bagian dalam capit, dan kaki-kakinya. Lazimnya dimasak kare, dan kare rajungan yang menjadi andalan dan ciri khas Lamongan. Kuah kare rajungan, tidak begitu pedas, rempahnya begitu terasa dalam proses pemasakan kare rajungan, kerapas rajungan sengaja dibelah, agar bumbu kare meresap rata ke dalam daging. Selain itu, pembelahan kerapas ini juga memudahkan saat konsumen menyantapnya nanti. Yang kurang suka kare rajungan, rumah-rumah makan di Lamongan, juga menyedia kan menu rajungan goreng dan rajungan asam-manis. (eru)
Sumber : Dinukil dari Majalah Derap Desa Edisi 132, Oktober 2018 hal. 24-25