NGAWI Kuno Dalam Jagat Keberaksaraan
Ngawi tempo doeloe adalah mosaik pusat kekuasaan kuno. Wilayahnya tersebar ke seantero Ngawi, baik yang bertopografi perbukitan maupun Mashuri tanah…
Ngawi tempo doeloe adalah mosaik pusat kekuasaan kuno. Wilayahnya tersebar ke seantero Ngawi, baik yang bertopografi perbukitan maupun Mashuri tanah datar. Yang di perbukitan meliputi empat
kecamatan, yaitu: Sine, Ngrambe, Jogorogo dan Kendal, yang bertengger di kaki Gunung Lawu. Di pelosok kawasan tersebut bertebaran situs purbakala yang mendukung persebaran pusat kekuasaaan masa lalu. Uniknya, keberadaan pusat kerajaan kuno ini tidak hanya terekam dalam
ingatan kolektif masyarakat dalam bentuk kisah lisan yang seringkali mengalami perubahan dalam penurunannya, tetapi juga tercatat dalam jagat keberaksaraan berupa prasasti dan naskah kuno, serta dalam studi-studi kolonial, sehingga unsur ‘keabadian’ sumber tersebut terjaga meski tilasnya sudah tidak dikenali lagi. Kekuasaan yang pernah menancapkan cakarnya di Ngawi terbagi dalam beberapa masa yang panjang. Berdasar benda-benda bersejarah yang kebanyakan disinyalir tinggalan kerajaan Majapahit, ternyata banyak di antaranya merujuk pada kerajaan di era sebelum Majapahit. Terdapat empat tempat yang merujuk pada pusat pemerintahan tempo doeloe, yaitu Jogorogo, Tawun, Ketonggo, dan Powan. Semuanya meninggalkan tilas catatan dalam khasanah lawas.
Jogorogo, yang kini namanya merupakan sebuah kecamatan, termasuk kerajaan tempo doeloe yang menyedot perhatian kalangan sejarawan Eropa karena namanya disebut- sebut dalam prasasti kuno. Selama ini, Negara Jogorogo diduga berada di antara Gunung Lawu dan Bengawan Solo, sebelah selatan Pegunungan Kendeng. Untuk ketepatan pelacakannya, terdapat beberapa pendapat. Valentijn dalam bukunya menyebut, kawasan Jogorogo (het landschap Jogorogo) terletak di antara daerah Gunung Lawu dan Kali Semanggi (Bengawan Solo), sedangkan N.J Krom menyebut bahwa daerah Jogorogo di kawasan Madiun. Nama Jogorogo disebut prasasti Waringin Pitu yang ditemukan di desa Suradakan (Trenggalek) berangka tahun 1369 Saka (1474 M). Jogorogo juga disebut dalam Pararaton (1613 M).
Prasasti tembaga Waringin Pitu dikeluarkan oleh raja Jayapara Kramawardhana (Dyah Kertawijaya) pada tahun 1369 Saka atau tepatnya 22 November 1474 M. Prasasti itu menyebut penguasa di Jogorogo, yang disapa dengan ‘paduka bhattara ring jaggaraga’ bernama Wijayendudewi. Sebutan itu sebagai nama penobatan (nama raja bhiseka) atau Wijayaduhita sebagai nama kecil atau nama kelahiran (garbaphra sutinama) seorang raja puteri yang mengaku keturunan Raden (Wijaya Kertajasa Jayawardhana), Pendiri Majapahit.
Prasasti tersebut juga memuji raja puteri (ratu) Jogorogo dengan deretan kalimat dalam bahasa Sansekerta yang indah. Sejarawan dan pahlawan kita Moh. Yamin mengartikan kalimat tersebut dengan terjemahannya sebagai berikut: “Selanjutnya perintah sang prabu diikuti pula oleh Seri Paduka Jogorogo; Nan bertingkah laku lemah gemulai dan utama, sesuai dengan kesetiaan kepada suaminya; Nan dibersihkan kesadaran yang utama dan tidak bercacat, yang kaki tangannya dihiasi yang utama, yaitu tingkah laku penuh kebajikan dan lain-lainnya; Yang berhati-sanubari tentang sesuai dengan kenang-kenangan yang tak putus- putusnya kepada suami, yang bertegak gelar- Kerajaan berbunyi Wijaya Indudewi dan bernama kecil Dyah Wijayaduhita”.
Lokasi tepat Negara Jogorogo memang belum dapat dipastikan. Namun, di kawasan Desa Tanjungsari, Kecamatan Jogorogo, terdapat tinggalan purbakala berupa fragmen candi, dengan pusat tinggalan yang terbilang utuh adalah yoni. Dalam tradisi lisan, masyarakat setempat meyakini bahwa benda tersebut berasal dari kerajaan Wiroto, dengan ratu puteri sebagai penguasanya. Jika cerita tutur tersebut dihubungnkan dengan isi prasasti terdapat kecocokannya. Selain di Tanjungsari, di Desa Ngrayudan, Kecamatan Jogorogo, juga terdapat situs purbakala yang hinggavkini masih dapat dilihat dan menunjukkan kekunoannya.
Kerajaan lainnya adalah Matahun. Oleh para sarjana, Matahun diperkirakan terletak di sebelah barat Bojonegoro, sebelah utara Bengawan Solo dan dekat Cepu. Namun sumber lain menyebut bahwa lokasinya tidak jauh dari Madiun. Diperkirakan wilayah kekuasaan Matahun tidak jauh dari Desa Tawun, yang sekarang terkenal dengan sendang atau beji, dan bulusnya, dan setiap tahun diselenggarakan ritual pembersihan beji. Kini tempat tersebut menjadi objek wisata andalan Ngawi. Di sana, juga terdapat tinggalan purbakala berupa area, persis di sebelah utara sendang.
Dalam prasasti Waringin Pitu disebutkan, raja Matahun bernama Dyah Samara Wijaya bergelar Wijaya Parakrama. Sementara itu, menurut prasasti Kusmala (ditemukan di Kandangan, Pare, Kediri) berangka tahun 1272 S (1350 M) yang menjadi raja Matahun (Paduka Bhatara Matahun) adalah Sri Wijaya Rajhasananta Wikratunggadewa. Disebutkan, ia telah berhasil membuat tanggul kokoh, kuat dan indah (rawuhan atita durgga mahalip), sehingga membuat kegembiraan semua penduduk yang bertempat tinggal di sebelah timur Daha (magawaya suka ni parasamsya saka hawat lurah wetan 1 daha).
Dengan demikian, daerah kekuasaan atau pengaruh Matahun cukup luas, meliputi daerah sebelah barat Bojonegoro (sebelah utara Bengawan Solo), daerah Tawun, Madiun dan daerah Pare (Kediri). Keberadaan kerajaan Matahun tersebut didukung kisah lisan tentang Desa Tawun, yang berkisah tentang penguasa dan puteri raja.
Pusat lainnya terletak di lereng Gunung Lawu yang kini disebut sebagai Alas Ketonggo. Oleh sebagian masyarakat, Alas Ketonggo dikaitkan dengan “Jangka Jayabaya”. Ihwal tersebut telah diuraikan J Brandes dalam karangannya “lets Over een ouderen Dipanegara in verband met een prototype van de voor spellingen van Jayabaya”. Brandes menyebut sebuah naskah Jawa yang disebut Kitab Musarar. Dijelaskan, kelak akan muncul kerajaan dengan ratu adil di Katanggapetik, terletak di sebelah Gunung Lawu. Raja tersebut bertahta tanpa kekurangan pada tahun 1800. Kisah lisan masyarakat setempat sangat mendukung keberadaan pusat pemerintahan tersebut, apalagi selalu dikaitkan dengan pascakekuasaan Majapahit. Namun, soal tahun, masih diperdebatkan beberapa ahli, begitu pula bentuk kerajaannya.
Perlu diketahui, Gunung Lawu sendiri mashur dalam khasanah kuno. Gunung tersebut bernama kuno Wukir Mahendra atau Gunung Katong, ada pula yang menyebutnya Girindra. Dalam naskah berbahasa Jawa Kuna, Tantu Panggelaran, Lawu memang menanggung beribu beban mitos dan sejarah. Dalam kitab yang telah menjadi klasik dalam studi Jawa Kuna itu digelar sebuah kisah legendaris.
Sahdan, pada suatu masa, tanah Jawa yang kerap disapa dengan Jawadwipa selalu berguncang, terombang-ambing diterpa gelombang samudera. Para dewa bersepakat menenangkan Pulau Jawa karena akan dijadikan tempat kehidupan dan berkembang biak manusia. Mereka lalu bersama- sama memindahkan Gunung Mahameru, titik pusat alam semesta dari Jambhudwipa (India) ke Pulau Jawa. Selama perjalanan pemindahan gunung tersebut, bagian Mahameru jatuh berguguran dan menjelma menjadi beberapa gunung lain di Nusa Jawa. Disebutkan, gunung-gunung di Jawa wilayah timur yang merupakan bagian Mahameru adalah Gunung Katong atau Lawu, Wilis, Kampud atau Kelud, Kawi, Arjuno, dan Gunung Kemykus (Welirang). Sementara, tubuh Mahameru diletakkan agak miring dan menyandar pada Gunung Brahma (Bromo), dan menjadi Gunung Sumeru (Semeru), gunung tertinggi di Jawa. Puncak Mahameru menjadi Pawitra atau Gunung Penanggungan.
Tantu Panggelaran juga menyebut, ‘Yata inadegaken dening watek dewata pucak sang hyang Mahameru. “Ih Pawitra” ling ning dewata kabeh; yata ring Pawitra ngaranya mangke pucak sang hyang Mahameru ….” Artinya lebih kurang begini: “Kemudian didirikan puncak Mahameru oleh para dewa. “Ih Pawitra,” ucap semua dewa, begitulah nama selanjutnya dari puncak sang hyang Mahameru…”.
Ihwal budaya gunung, seorang ahli agama kuno, HG Quaritch Wales, pada tahun 1951 menyatakan ketika kebudayaan Hindu-Buddha berkembang di Jawa dan Bali pada masa silam, kebudayaan Batu Besar asli yang berkembang pada masa sebelumnya tidaklah hilang. Ritusnya adalah melakukan pemujaan arwah nenek moyang di puncak-puncak gunung. Ketika pengaruh kebudayaan Hindu- Buddha mulai pudar, pemujaan nenek moyang itu hidup subur kembali, ditandai dengan pembuatan bangunan pemujaan di lereng gunung di Jawa, di antaranya adalah di lereng Lawu.
Sementara itu, kerajaan tempo doeloe lain di Ngawi adalah Powan. Keberadaannya dapat dilihat pada prasasti Sine, catatan Belanda. Keberadaan kerajaan Powan selalu dikaitkan dengan kisah lisan tentang Joko Budug dan Puteri Ayu Rara Kemuning. Nama asli Powan sendiri adalah Pawwanawan dan disebut dalam Kakawin Negarakertagama, karya sastra pada masa Majapahit, berisi kisah pelesir Prabu Hayam Wuruk ke beberapa desa bawahannya. Pawwanawan merupakan daerah bawahan kerajaan Majapahit.
Arkeolog Tri Marhaeni SB dalam jurnal arke- ologi Siddhayatra (Balai Arkeologi Palembang) edisi Perdana tahun 1996 mengajukan hipotesis bahwa lokasi keraton Powan, di tanah tegalan yang berbatasan dengan hunian penduduk di sebelah utara dan timur. Tanah tegalan di sebelah selatan dan Sungai Sawur di sebelah barat. Dijelaskan, berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di sekitar situs, penduduk setempat percaya bahwa di situs tersebut pernah berdiri sebuah keraton bernana Powan yang sejaman dengan Kerajaan Majapahit. Menurutnya, pengucapan Powan mengingatkan pada Pawwanawan yaitu nama sebuah kerajaan daerah bawahan Majapahit.
Menurut Marhaeni, seluruh situs di sekitar Powan beserta toponim dusun mungkin tidak hanya menujukkan tingginya intensitas pengaruh Hindu, melainkan menunjukan pula adanya masyarakat yang telah mampu mengikuti arus peradaban waktu itu. Masyarakat semacam itu tentu telah hidup dalam suatu tatanan yang teratur di bawah suatu pemerintahan. Kerajaan Mataram Kuno, Kadiri, Singhasari atau Majapahit merupakan pusat kebudayaan atau pemerintahan yang pernah berkembang waktu itu dan paling mungkin kekuasaan atau pengaruhnya menjangkau kawasan Powan.
Sebelum Marhaeni, dalam studi kolonial yang terdapat dalam “Djawa: tijdschrift van het Java- instituut”, Volume 18, Number 2, 1 Mei 1938, halaman 117 yang menjadi koleksi perpustakaan Universitas Leiden, ihwal keraton Powan juga disinggungihwal keterkaitannya dengan Majapahit, lengkap dengan kisah lisan Joko Budug, Gunung Liliran, desa Tulakan dan Ketanggung, yang pada masa itu masuk dalam Distrik Ngrambe. Di situ juga disebut adanya beberapa tinggalan Hindu Jawa berupa benda-benda purbakala. Berikut ini kutipan dari tulisan masa kolonial tersebut, cukup dua kalimat saja.
Volgens het romantische verhaal (Karaton Powan door Jasawidagda —uitgave Volkslectuur) van de Kraton Powan, die in de desa Toelakan (district Ngrambe) regentschap Ngawi dicht aan de Solosche grens gelegen moet hebben, zou hier gedeekelijk in Madioensch en gedeeltelijk in Solosch gebied een klein rijkje gelegen hebben, dat in den Madjapahitschen tijd onafhankelijk geweest moet zijn. De legende vertelt, dat een zekere Raden Bagoes Aria Bangsal, zoon van .n der Madjapahitsche Vorsten, uit het paleis vlucht, en al ronddolende een lepralijder wordt, terecht komt in Powan onder den naam van Djaka Boedoeg (boedoeg melaatsch), daar berouw krijgt en dan in staat is om met succes aan een sajembara deel te nemen maar juist wanneer hij dan met de dochter van den Vorst van Powan zal huwen, wordt hij bij vergissing gedood.
Kenapa hanya dua kalimat? Dikutip satu buku pun tidak membuat kita tambah tahu, lha saya tidak mengerti bahasa Bahasa Belanda. Jahit celono cino karo mangan gethuk, raiso boso londo isone manthuk-manthuk, menjahit celana sambil makan gethuk, tidak dapat berbahasa Belanda hanya bisa mengangguk. (*)
Sumber : dinukil dari Ngawi Tempoe Doeloe (2015), Panji Balai Edisi 6, Tahun III, Juli – Desember 2017, hal. 42-46.