Sunday, September 8, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Asal Usul Nama Bondowoso

Sebuah nama pada hakikatnya terdiri dari dua aspek yaitu bentuk dan isi. Bentuk adalah ungkapan isi yang berupa bahasa lisan…

By Pusaka Jawatimuran , in Bondowoso , at 22/08/2017 Tag: , ,

Sebuah nama pada hakikatnya terdiri dari dua aspek yaitu bentuk dan isi. Bentuk adalah ungkapan isi yang berupa bahasa lisan maupun tulisan. Sedangkan isi adalah maksud yang hendak dikemukakan. Bentuk dan isi hendaklah ada keserasian. Bagaimana wujudnya, begitulah maknanva. Oleh karena itu membahas sebuah nama tidak dapat dilepaskan dari dnjauan linguistik dan normatif.

Tinjauan secara linguistik membawa kita pada analisis secara etimologis, yaitu mencari makna sebuah kata berdasarkan asalusulnya dari kamus atau dari bahasa asalnya (asing). Di dalam ilmu bahasa, sebuah kata mengalami perkembangan; perubahan bunyi, bahkan perubahan arti, sehingga arti kata lama kadang-kadang jauh berbeda dengan arti yang muncul pada masa kini. Walaupun demikian perubahan bunyi dan arti itu masih dapat dipertanggungjawabkan cara linguistik (ilmu bahasa).

Tinjauan secara normatif adalah tinjauan yang bertitik tolak dari keinginan masyarakat pemakai bahasa yang hendak memberikan pesan-pesan nilai (norma) pada sebuah nama. Tujuannya bersifat edukatif-filosofis.

  1. Tinjauan secara Linguistik

Ada dua hal yang perlu diketahui, pertama, Kabupaten Bondowoso menempati suatu dataran tinggi yang dikelilingi gunung dan bukit, serta ditumbuhi hutan belukar, yang menurut penelitian Dinas Purbakala, menyimpan aset peninggalan zaman megalitikum. Konon daerah itu selama ribuan tahun tidak terjamah oleh sejarah. Kedua, baru pada permulaan abad ke-19 daerah itu dibuka dengan hadirnya seorang pionir, pemuka, serta pembabat hutan yang mengemban misi bupati untuk mengembangkan wilayah Besuki ke selatan. Ia mendapatkan sebuah dataran tinggi yang strategis untuk mendirikan kota guna mengendalikan pemerintahan di kelak kemudian hari. Orangitu adalah Raden Bagus Assrah (Mas Astrotruno), yang kemudian dikenal masyarakat dengan sebutan Kiai Rangga Bondowoso.

Bertolak dari dua kenyataan tersebut, nama Bondowoso tidak dapat dipisahkan dari masalah hutan dan pembabatnya. Nama Bondowoso agaknya erat kaitannya dengan makna kata “Wanawasa” yang berarti “hutan belukar”. Di dalam Babad Bondowoso Pupuh X Pangkur, bait 12, terdapat kata wanawasa, bahkan pada bait 2 Pupuh X dipakai dua perkataan “Bandawasa” dan “wanawasa” secara berdampingan, sebagai berikut:

Bait 12:

“Lajeng marang ibunira/nuwun pamit
matur yen dinuteng aji/ambedhah wana-wasa gung/…”
(La/u (beliau) kepada ibunya, berpamitan
hendak diutus raja membuka hutan besar / …)

Bait 2:

… kuneng ing Bandawasa/ lagya wanawasa …
 (… Adapun di Bondowoso waktu itu masih berupa hutan belukar …)

 a. Analisis Secara Etimologis

 Di dalam kamus Jawa Bausastra Jawa karangan WJS Poerwadarminta, arti kata wanawasa adalah (a) berdiam di dalam hutan, dan (b) hutan besar (belukar). Disebutkan bahwa kata wanawasa itu berasal dari bahasa Sanskerta.

Dalam bahasa Jawa baru perkataan wana adalah bentuk bahasa “krama” dari kata “alas” (hutan). Sedangkan perkataan was atau wis adalah akar kata bahasa Sanskerta, yang berarti “masuk”. Jadi wana wasa berarti “masuk hutan”, bedah hutan, atau berkediaman di dalam hutan. Dalam perkembangan pemakaian selanjutnya, maknanya berubah menjadi objek yang dibabat, yaitu “hutan belukar” (arti kedua).

Pemakaian akar kata was atau wis yang berarti “masuk” itu, masih dapat kita temukan dengan bentuk akhiran -ma yang berarti “yang di” dalam bahasa kita. Misalnya:

Akar kata “wis” (masuk) + -ma berarti wisma (yang dimasuki, atau rumah).
Akar kata “kr” (kerja) + – ma berarti karma (yang dihasilkan, atau buah pekerjaan, wohe panggawe).
Akar kata “jan” (lahir) + – ma berarti janma (diucapkan jalma, berarti manusia, yaitu yang dilahirkan).

Perubahan dari perbuatan menjadi tujuan itu terdapat pula pada kata “korban” (Arab). Semula qaraba berarti “mendekat” atau “mendekatkan diri kepada Tuhan secara ikhlas”. Kemudian berubah makna menjadi “sapi atau kambing yang dikorbankan”. Perkataan “menyembelih korban” berarti “menyembelih sapi atau kambing untuk berkorban.”

b. Gejala Perubahan Bunyi

 Gejala perubahan bunyi adalah perubahan atau penambahan bunyi pada awal, tengah, atau pada akhir kata.

1) Perubahan bunyi pada awal kata:

Contoh perubahan bunyi w menjadi b pada awal kata. Dalam ilmu perbandingan bahasa banyak kita jumpai kata-kata bahasa daerah yang diawali bunyi b dan sedikit yang berawal bunyi w, bahkan bahasa Madura tidak memiliki kata yang diawali bunyi w. Otto Dempwelff menetapkan bahwa kata-kata yang diawali bunyi w adalah kata-kata purba. Kata-kata bahasa Jawa atau asing yang diawali bunyi w berubah menjadi b dalam bahasa Madura dan Indonesia (Melayu). Contoh:

Wulan (Jawa) menjadi bulan (Madura, Indonesia)
Woh (Jawa) menjadi bua (Madura), serta menjadi buah (Indonesia)
Watu (jawa) menjadi bato (Madura), serta menjadi batu (Indonesia)
Wulu (Jawa) menjadi bulu (Madura, Indonesia)

Atas dasar itulah maka nama-nama daerah di Bondowoso di-Madura-kan, misalnya:

Waringin menjadi Baringen
Wanasari menjadi Banasare
Wanasuka menjadi Banasoka

Demikianlah perkataan ivana ivasa itu berubah menjadi ivana basa.

2)  Penambahan bunyi di tengah

Untuk melancarkan pengucapan, acapkali terjadi tambahan bunyi sengau atau bunyi lain yang sedaerah artikulasi (dasar ucapan dalam rongga mulut sama). Contoh:

Makin menjadi mangkin
Masa (Indonesia) menjadi mangsa (Jawa)

Dalam ilmu bahasa gejala ini disebut epentesis. Contoh lain dengan bunyi d, sebagai berikut:

Akan aku menjadi akandaku
Akan ia menjadi akandia
Dengan aku menjadi dengandaku

Pada zaman Majapahit ada empu bernama Canakya. Akhirnya setiap orang terpelajar diberi gelar nama itu. Dari Canakya berubah menjadi cendekia. Di sebelah selatan Pal Sanga’ ada daerah pertanian yang pada zaman Belanda dinamai Binnen land (tanah pedalaman). Sekarang dikenal dengan nama Bendhellan.

Demikianlah dalam perkembangan kemudian, perkataan wana wasa berubah menjadi bana basa dan akhirnya diucapkan banda basa. Tetapi karena pengaruh tekanan kata, maka pengucapan empat suku itu tidak diucapkan lengkap, melainkan terdengar hanya tiga suku. Suku kata awal tak terucapkan. Tekanan jatuh pada suku ketiga dari akhir. Contoh:

Tegal batu diucapkan Galbato
Sumber suka diucapkan Bersoka
Empa’polo (40) diucapkan pa’polo
Pettong atos (700) diucapkan tong atos

Kata Bandabasa kemudian diucapkan Dabasa. Kata ini kemudian menjadi nama sebuah desa di selatan alun-alun Bandawasa. Atas dasar perubahan tekanan itulah, maka kata ulang dalam bahasa Madura tak diucapkan penuh, misalnya:

jalan-jalan menjadi lan-jalan
orang-orang menjadi reng-oreng
kanak-kanak menjadi na- kana’

 

  1. Ejaan Menuliskan Kata dengan Huruf Latin dan Caraka

Kata-kata semacam tangga, nangka, bandha jika dituliskan dengan huruf caraka menggunakan taling-tarung. Tetapi jika kata itu dibubuhi e atau ne, maka bunyi o taling-tarung itu berubah menjadi a. Karena itu penulisannya dengan huruf Latin tetap menggunakan huruf a. Contoh:

nangka menjadi nangkane
bangsa menjadi bangsane
kanca menjadi kancane
tangga menjadi tanggane

Agaknya ejaan tersebut tidak berlaku lagi bagi penulisan nama-nama kota, seperti Bondowoso, Purwokerto, Bojonegoro, Mojokerto, dan sebagainya, karena nama-nama kota, lembaga, orang, terikat oleh hukum. #wdp

——————————————————————————————-
Sumber:
Mashoed. H., 2004. Sejarah dan budaya Bondowoso. Surabaya : Papyrus