Adat Perkawinan Masyarakat Samin di Ds. Tapelan Kec. Ngraho Kab. Bojonegoro
Didalam melaksanakan perkawinan, anak-anak Samin harus mengikuti adat istiadat yang ditetapkan oleh tradisi mereka. Masyarakat Samin menganggap sah menurut adatnya…
Didalam melaksanakan perkawinan, anak-anak Samin harus mengikuti adat istiadat yang ditetapkan oleh tradisi mereka. Masyarakat Samin menganggap sah menurut adatnya apabila seorang pemuda telah menyukai seorang gadis maka pemuda tersebut beserta orang tuanya maupun para perangkat desa “jawab” artinya melamar pada orang tua gadis. Setelah peristiwa lamaran diterima, perjaka tersebut “Ngawulo” yaitu dengan cara magang atau nyuwito artinya mencari pengalaman atau nyonto di rumah orang tua gadis dan menjadi “Tahanang” artinya perjaka tersebut harus tinggal di rumah gadis dengan maksud agar tidak diganggu gadis lain.
Selama ngawulo pemuda tersebut bekerja membantu orang tua gadis sanbil menunggu hari baik untuk melangsungkan upacara perkawinan : dari latar belakang inilah, maka peneliti tertarik untuk meneliti sejauh mana pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Samin dengan mengambil judul “Adat Perkawinan Masyarakat Samin di Desa Tapelan Kecamatan Ngraho Kabupaten Bojonegoro”.
Masyarakat Samin termasuk golongan masyarakat yang menyerderhanakan semua proses kehidupan sosialnya, termasuk dalam hal perkawinannya. Dalam masyarakat Samin masih berlaku sistim perjodohan, dari perjodohan ini kebanyakan dari meraka menerima perjodohan yang diberikan oleh orang tuanya. Didalam melaksanakan perkawinan anak-anak Samin harus mengikuti adat istiadat yang ditetapkan oleh tradisi mereka yaitu dengan cara magang atau nyuwirto artinya mencari pengalaman atau nyonto (mencontoh). Proses magang ini sama artinya dengan orientasi atau pengenalan sifat masing-masing calon mempelai apabila sudah ada kecocokan hati pada kedua calon mempelai maka dilanjutkan dengan melamar orang tua gadis
Masyarakat Samin masih memakai adat perkawinan yang biasa mereka lakukan, mekipun sekarang nampak perubahan dalam melaksanakan perkawinan guna mengikuti anjuran pemerintah. Pada waktu dulu sebelum melakukan perkawinan, seorang pemuda yang menyukai seorang gadis, dia dan orang tuanya beserta perangkat desa harus “jawab” yang artinya melamar pada orang tua gadis. Setelah pihak perempuan setuju dengan lamaran pihak lelaki, perjaka tersebut harus “ngawulo” atau “nyuwito” dengan mencari pengalaman/ nyonto dirumah orang tua gadis. Selama ngawulo tersebut, perjaka membantu orang tua gadis sambil menunggu hari baik untuk melangsungkan upacara perkawinan.
Dulu sistem ngawulo ini masih sering berlaku apalagi jika calonnya masih kecil (dalam arti belum dewasa/ aqil balik), si perjaka harus ngawulo bertahun-tahun sampai calonnya tumbuh menjadi dewasa, tetapi cara ngawulo tersebut tidak dipakailagi walaupun nampak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat karena pada umumnya sekarang baru diperbolehkannya kawin jika sudah dewasa/ aqil balik.
Pelaksanaan perkawinan yang terjadi pada masyarakat Samin masih tergolong sederhana, hal itu terlihat pada peristiwa lamaran. Saat melakukan lamaran laki-laki tersebut meminta ijin dan restu dari bapak dan ibu gadis yang dimaksud, setelah mendapat ijin dan gadis itu menyatakan setuju untuk dinikahi maka selanjutnya adalah memberitahukan hal itu pada orang tua untuk berkumpul menyaksikan calon pengantin laki-laki berjanji saling mencintai dan saling setia. Janji yang diucapkan “derek kulo ingkang dateng ngiki supoyo sampeyan seksekno ucap kulo, turun kulo wedok, kulo nglegakake janji jeneng lanang, kulo seksekno kandani, yen janji podo duweni janji, karo nyekseni bojonipun dinikahi, tomponen le?” dan pengantin laki-laki jawab “nggih pak”. Setelah acara tersebut selesai, selanjutnya mendatangkan naib dan moden untuk menyaksikan acara yang kedua kali dalam perkawinan mereka dan mencatat secara hukum. Dalam melangsungkan perkawinan dihadapan naib, wali menyerahkan sepenuhnya kepada naib untuk menikahkan anaknya dengan laki-laki tersebut. Setelah itu naib memberikan penjelasan sekali lagi bahwa yang akan dinikahi sudah saling mencintai dan tidak ada paksaan untuk dinikahi dan kejelasan mengenai nama ataupun orang tuanya. Setelah semua dirasa jelas dan saksi- saksi sudah lengkap maka selanjutnya naib membacakan kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang suami yang dipenuhi dalam rumah tangga nanti. Setelah pengantin laki-laki menjawab bersedia, selanjutnya naib membimbing calon pengantin laki- laki mengucapkan kalimat syahadat dihadapan para saksi dan setelah itu dinyatakan sah menurut naib maupun para seksi maka selanjutnya diadakan penandatanganan bukti surat nikah oleh kedua mempelai. Setelah itu diadakan doa bersama yang dipimpin oleh naib agar pernikahan yang dilangsungkan menjadi langgeng dan bahagia dengan harapan menjadi keluarga yang sakinah.
Setelah proses-proses perkawinan dihadapan naib selesai kemudian diadakan “Brokohan”. Brokohan ini mengandung arti suatu perayaan selamatan atau syukuran yang ditunjukkan kedua mempelai dalam membina rumah tangga langgeng atau rukun. Perayaan ini dilakukan secara sederhana (tergantung kedua binansial rumah tangga). Adapun perlengkapan brokohan itu yang utama adalah tumpeng yang ditempatkan di tampah yang terdiri dari nasi berada di tenggah dan dikelilingi lauk pauk yang berupa urap- urapan, daun mengkudu yang artinya supaya keluarga yang dibina oleh pengantin menjadi sehat lahir dari penyakit. Kemudian telur yang berasal dari ternaknya sendiri yang bertujuan kedua mempelai dikaruniai anak, ikan laut (gerih) yang bertujuan bercukupan sandang pangan. Dan juga dilengkapi lauk-pauk lainnya sebagai bahan perlengkap saja. Selain itu juga ada nasi kabuli yang ditempatkan dipiring yang lauknya terdiri dari serondeng, peyek kedelai, dan ayam goreng. Hal ini bertujuan agar cita-cita dari keluarga yang akan dibina akan dikabulkan. Selain itu juga ada buah yaitu pisang raja yang dimaksudkan pengantin menjadi raja sehari dan minumnya air putih. Dalam brokohan itu mereka hanya mengundang sanak famili dan tetangga sekitar saja. Dalam perkawinan kedua mempelai hanya memakai pakaian seadanya dan tidak dilengkapi dengan pakaian adat atau perlengkapan sebagaimana layaknya seorang pengantin. Dan dalam acara tersebut mereka tidak menerima sumbangan berupa uang, tetapi mereka bisa menerima sumbangan berupa bahan makanan (bahan- bahan dapur).
Apabila ada lingkungan Samin tedapat beberapa orang yang dalam melaksanakan perkawinan tidak sesuai dengan adat yang semestinya, maka mereka akan menjadi bahan pembicaraan dan dikucilkan dari kalangan mereka. Hal itu dilakukan karena mereka melakukan hal yang bertentangan dengan wong Sikejo atau tiyang Sikep ( sebutan orang Samin) yang artinya orang Samin atau masyarakat Samin yang mempunyai sikap atau sikap hidup tersendiri yang dapat dijadikan sebagai cara atau adat istiadat. Jadi pengertian wong sikap yaitu orang atau masyarakat yang mempunyai cara adat atau istiadat tersendiri yang harus dipatuhi. Walaupun dalam masyarakat Samin masih kental dengan adat perkawinannya namun masyarakat Samin dapat dengan mudah untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang ada terutama dalam hak perkawinan dan sangat patuh terhadap peraturan pemerintah. Hal itu terbukti dengan perkawinan KUA yang mana masyarakat Samin sudah mulai memahami arti pentingnya pencatatan maupun peraturan pemerintah tersebut. Walaupun pengetahuan mereka masih sangat minim sekali tentang UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan mereka berupaya untuk mengikuti segala peraturan.
Dari uraian di atas jelas dikatakan bahwa pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Samin masih dipertahankan hanya saja sekarang pelaksanaanya sudah melakukan anjuran dari pemerintah yaitu dengan melakukan perkawinan mereka di KUA.
——————————————————————————————-Sarjono, Panitia Penggali dan Penyusunan Sejarah Bojonegoro.1998.