Wednesday, October 9, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Lurik Tuban

Sesungguhnya Tuban pada masa lampau, antara abad ke-XII-XVI pernah i berjaya, diperintah para adipati yang berada di bawah kekuasaan kerajaan…


96Sesungguhnya Tuban pada masa lampau, antara abad ke-XII-XVI pernah i berjaya, diperintah para adipati yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Mojopahit (Abad ke-XIII-XV). Sejarah  Tuban mencatat bahwa sejak permulaan abad ke-XII Tuban sudah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh berbagai kapal asing, antara lain oleh kapal – kapal dari Persia, India dan Cina, untuk mengadakan perdagangan tukar menukar.

Permulaan abad ke-XV seorang jendral dari negeri Cina bernama Cheng Ho yang beragama Islam mendarat di Tuban, diutus dengan tujuan untuk menguasai per­dagangan di kota-kota pesisir Jawa, seperti Semarang, Jepara, Rembang, Lasem dan Tuban. Nama panggilan setempat untuk Cheng Ho adalah Dampo Awang yang kuburannya masih dapat dilihat di daerah ini.

Sejak abad ke-XV kerajaan Islam Demak (± tahun 1400-1568) memegang peranan di sepanjang pesisir, karena itu kedatangan seorang jendral Islam nampaknya ditolerir, terbukti dengan banyaknya rumah khas arsitektur Cina di sepanjang pantai utara pulau Jawa.

Para pendatang ini membawa serta bermacam-macam barang kerajinan mereka masing-masing: kain Gujarat (patola) dan kain Coromandel (chintz) dari India, barang-barang keramik dan sutera dari Cina. Barang-barang tersebut dipertukarkan terutama dengan rempah-rempah, seperti:

pala, cengkeh, kayu cendana dari Indone­sia Bagian Timur (Ambon, Banda, Timor, dan lain-lain) serta lada, kapur barus, ka­yu manis dan hasil bumi lainnya antara la­in dari Sumatra dan Kalimantan.

Pada tahun ± 1513 orang Portugis dan kemudian pada ± tahun 1599 orang Belanda datang pula untuk berdagang rempah- rempah dan hasil bumi. Maka semakin ra- mai dan sibuk jualah pelabuhan Tuban, yang sekaligus menjadikan daerah ini makmur dan dikenal.

9495-97a-97bSementara itu kerajaan Hindu Mojopahit mulai abad ke-XV mengalami kemunduran, sedangkan kerajaan Islam Mataram yang didirikan Penembahan Senopati pa­da tahun 1586, mencapai kejayaannya di bawah pimpinan Sultan Agung (tahun 1613-1645). Setelah menaklukan Mojopahit dan menguasai daerah-daerah perdagangan di pesisir utara pulau Jawa, termasuk Tuban, akhirnya diperintah oleh bupati kerajaan Mataram.

Belanda dengan VOC-nya setelah Tu­ban dikuasai oleh bupati kerajaan Islam Mataram, mengalihkan usaha perdagangannya ke Batavia (Jakarta sekarang).

Selanjutnya VOC berhubungan langsung dengan daerah-daerah penghasil rempah-rempah di Indonesia Bagian Ti­mur. Dengan berkurangnya kedatangan baik berbagai kapal asing maupun kapal- kapal daerah yang membawa berbagai rempah- rempah dan hasil bumi untuk dipertukarkan atau diperjual belikan, menja­dikan pelabuhan Tuban sepi dan tak berarti lagi. Dampak dari keadaan ini Tuban tidak lagi mengecap kemakmuran seperti sediakala dan akhirnya dilupakan orang.

Beberapa pendapat mengatakan, di Indo­nesia penanaman kapas/katun serta pekerjaan menenun sudah dikenal sejak awal abad Masehi dan kain lurik sudah dikenal masyarakat Jawa sebelum abad ke-XIV.

Dalam salah satu prasasti disebutkan telah ada benang (tukel) yang dicelup warna biru tarum (indigo) dan merah mengkudu (morinda citri) yang diperdagangkan.

Daratan Tuban yang merupakan daerah kurang subur ternyata cocok untuk ditanami kapas, yang oleh masyarakatnya diolah menjadi kain dengan selera dan gaya setempat, serta mempunyai keunikan tersendiri. Karena kekhasan kain Tuban inilah, daerah Tuban buat sementara orang masih dikenal.

Pembuatan sehelai kain di daerah Tuban sampai saat ini masih dikerjakan secara swa-sembada, dimulai dengan bertanam kapas oleh kaum pria. Pekerjaan selanjutnya, yaitu memetik bunga kapas, memintal, menenun, membuat pewarna, mencelup benang atau kain dan pemasarannya dilakukan oleh para wanita. Warna asli serat kapas di daerah ini di samping yang berwarna putih ada pula yang berwar­na krem kecoklatan, yang setelah di tenun mempuyai keunikan tersendiri.

Membuat pewarna dan mencelup indi­go dianggap pekerjaan sakral, karena itu orang tertentu saja yang boleh mengerjakannya, yaitu orang yang berwibawa dan yang sudah mantap serta sudah berumur. Pada umumnya orang yang terpilih adalah para istri pemuka agama (istilah setempat modin). Pencelupan dikerjakan oleh kaum wanita, bahkan dianggap tabu bagi kaum pria, karena akan mendatangkan berbagai jenis bala bagi mereka. Umumnya tanaman tarum/indigo ditanam mereka di pekarangan rumah masing-masing, kadangkala terlihat pula tanaman kapas.

Jenis-jenis kain yang dibuat adalah kain batik dan kain lurik. Pada umumnya berba­gai jenis kain ini untuk pemakaian setem­pat, meskipun akhir-akhir ini telah mendapat pasaran di luar daerah Tuban. Ada yang dibuat untuk taplak meja, plate mats, tas, bahkan berbagai busana seperti rompi, kemeja, jas dan berbagai jenis cindera mata lainnya.

Sebagaimana telah diungkapkan terdahulu dalam tulisan ini, di masa lampau di berbagai daerah sepanjang pesisir Jawa, mulai dari daerah Pekalongan sampai dae­rah Gresik, di samping membuat lurik anyaman polos, di beberapa daerah dibuat pula lurik dengan pakan tambahan. Saat ini yang masih membuat lurik anyaman po­los maupun lurik pakan tambahan dapat dikatakan hanya di daerah Tuban. Di dae­rah pesisir lainnya bertenun lurik sudah dapat dikatakan punah, dikarenakan pada umumnya daerah-daerah tersebut menga- lihkan kegiatannya ke berbagai bidang lain, yang dewasa lebih menguntungkan.

Di daerah Tuban pekerjaan lurik pakan tambahan sudah mulai langka, karena dalih-dalih yang pada umumnya juga terdapat pada daerah-daerah lainnya, yaitu tidak adanya minat dari generasi penerus untuk yang mereka anggap sudah kuno serta harga jual yang tidak seimbang de­ngan pekerjaannya. Banyak pula dari ge­nerasi muda ini sekarang meneruskan sekolahnya ke sekolah lanjutan dengan harapan masa depan yang lebih baik.

Di samping itu tradisi dan selera pemakainya telah bergeser; konsumsi yang tadinya bersifat setempat, semakin bertambah terbatas disebabkan harga yang buat rakyat setempat dinilai cukup tinggi, maka kain ini sekarang tidak merupakan pakaian sehari-hari lagi, terdesak oleh kain buatan pabrik yang lebih murah dan bervariasi.

Sampai di mana pembuatan lurik Tu­ban dan batik Tuban akan bertahan, mengingat berbagai kendala yang telah disebut di atas hanya sejarahlah yang akan membuktikan. Dalam hal ini terutama pelestarian seni budaya kain Tuban tradisional yang akan turut menentukan.

Bukit-bukit kapur yang banyak terdapat di daerah ini telah berakibat didirikannya oleh pemerintah pabrik semen, yang memang dibutuhkan untuk pembangunan negara. Tentunya sudah dapat diperkirakan proyek ini akan banyak menyerap tenaga muda setempat. Dengan terciptanya kesempatan yang baru ini, yang menurut mereka lebih menarik, sudah dapat diduga bahwa hal akan mempunyai dampak terhadap kerajinan rakyat tradisional pada umumnya, dan khususnya kain lurik dan batik Tuban. Oleh karena itu sebagai warisan budaya bangsa, pelestariannya harus dilaksanakan.

 
—————————————————————————————Lurik; Garis- garis bertuah Nian S. Djoemena,
Jakarrta: Djambatan, 2000
hlm.: 94-99