Masjid Tiban Temenggung, Kabupaten Blitar
Banyak kisah misteri di balik keberadaan Masjid Tiban. Karena keberadaannya sering dianggap “Dari Langit”, masjid-masjid demikian acap dijadikan tempat bermunajab…
Banyak kisah misteri di balik keberadaan Masjid Tiban. Karena keberadaannya sering dianggap “Dari Langit”, masjid-masjid demikian acap dijadikan tempat bermunajab atas harapan.kecermelangan hidup dan masa depan.
Di mana sajakah masjid-masjid PARAWALI itu berada, dan apa saja keistimewaannya?
Pertama diketahui, bersamaan dengan peristiwa pembabatan hutan. Warga Dusun Gembong, Desa Temenggung, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar, Jatim, menyebutnya sebagai Masjid Tiban. Disebutkan demikian, karena masjid itu tiba- tiba ada. Tiba-tiba bercokol di salah satu sudut desa mereka, tanpa sempat diketahui proses pembuatannya Karenanya, banyak juga yang menganggap masjid itu dari langit. Tepatnya, turun dari langit, dan jatuh di salah satu sudut Dusun Gembong, Desa Temenggung, Kecamatan Udanawu. “Ya, masjid itu seolah-olah turun dari langit, dan jatuh di salah satu sudut desa kami,” ujar beberapa warga Desa Temenggung.
Orang pertama yang berjasa atas keberadaan masjid itu adalah Abdullah Islam (alm). Dia seorang ulama besar yang berkaliber Wali. Itulah sebabnya, Abdullah Islam pun semasa hidupnya akrab disapa masyarakat setempat sebagai Mbah Wali. “Dia memang seorang Wali, sehingga tidak salah kalau masyarakat di sini menyebutnya Mbah Wali,” ujar Siti Fatonah (70), salah seorang menantu Mbah Wali.
Di Kabupaten Blitar dan sekitarnya, masjid tiban di Dusun Gembong ini populer dengan sebutan Masjid Kuno. Pihak Pemda setempat mengiventarisir masjid itu sebagai cagar budaya yang perlu dilindungi. Tetapi sayangnya, tampak muka masjid ini hilang sama sekali oleh bangunan masjid baru yang disebut-sebut sebagai hasil renovasi.
Keterangan yang berhasil dihimpun LIBERTY menyebutkan, masjid itu pertama kali diketahui bersamaan dengan pembabatan hutan setempat untuk dijadikan hunian. Ketika pembabatan hutan terjadi, mendadak warga terbelalak oleh sebuah masjid yang terdapat di tengah hutan. Masyarakat pun lalu menyebutnya sebagai masjid tiban, karena tanpa sempat mengetahui proses pembuatannya.
Rajjah Allah Tanpa Alif
Masjid tersebut disebut-sebut foto copy dari Masjid Nabawi di Madinah. Empat menara yang menjulang tinggi menghias di setiap sudutnya. Pada pokok menara, terdapat jamban dengan air yang tak pernah kering se- kalipun di musim kemarau panjang. “Air pada menara-menara itu, banyak dipercaya masyarakat berkhasiat kesembuhan,” terang Fatonah.
Konon, penyakit apapun bisa di- sembuhkan dengan air di jamban menara-menara masjid itu. Mulai dari penyakit kulit, hingga penyakit dalam. Khasiat kesembuhan pada air tersebut, disebut-sebut sebagai tuah dari air zam-zam yang telah bersenyawa sejak zaman Mbah Wali. “Mbah Wali lah orang pertama yang mengatakan kalau air di jamban menara-menara itu sudah bercampur dengan air zam-zam,” ungkap Fatonah.
Uniknya, hampir setiap sudut masjid itu dirajah dengan tulisan arab Allah tanpa huruf alif. Mulai dari kusen-kusennya, daun pintu, daun jendela, bahkan pilar, reng dan usuk-usuknya. Tulisan arab Allah itu tampak timbul dengan postur huruf yang sangat lembut dan sangat kecil-kecil. Kayu- kayunya merupakan kayu jati pilihan.
Rajah Allah tanpa huruf alif itu sengaja dibuat oleh Mbah Wali. Menurut Fatonah, semasa hidupnya dalam setiap tarikan nafasnya Mbah Wali selalu menyebut Allah, Allah, Allah dan Allah. “Tulisan Allah tanpa huruf Alif itu seperti yang pernah dikatakan oleh Mbah Wali, Alif-nya adalah dirinya sendiri. Tetapi saya tidak tahu maksudnya, mengapa harus begitu,” urai Fatonah.
Barangkali, Mbah Wali ini seorang sufi. Dia ibaratkan dirinya sebagai Alif, yang hanya akan bermakna dalam jika digan- dengkan dengan “llah”. Diapun hidup karena “llah”. Dia pun baru berarti karena “llah”. Dia pun sebagai manusia Islam, hanya karena “llah”.
Wingit
“Dulu, kecilan saya dulu, masjid itu tampak wingit sekali. Saking wingitnya, anak-anak kecil sampai banyak yang tidak berani datang sendirian ke masjid itu,” kenang Solekan, seorang kepaia SMPN Ponggok yang tinggal tidak jauh dari masjid tiban ini. “Sayapun, dulu takut sekali jika harus ke masjid itu seorang diri,” lanjut Solekan.
Wingitnya masjid itu, konon seringnya digunakan oleh jin-jin Islam untuk ikut sholat berjamaah bersama umat muslim lainnya. Jiivjin memang tidak selalu me- nampakkan diri, namun kehadirannya cukup bisa dirasakan oleh jamaah yang melaksanakan sholat di masjid tersebut.
Beberapa warga setempat menyebutkan perihal “terasanya” kehadiran jin-jin Islam sewaktu sholat di masjid tiban te- menggung ini. Ketika sholat berjamaah hanya terdiri dari beberapa orang, tiba-tiba ketika usai membaca surat Al Fatihah yang “mengamini” terdengar banyak sekali, sehingga suaranya pun tidak sebanding dengan jamaah yang ada.
Masih segar dalam ingatan Solekan, kesan wingit atas masjid tiban di Temeng- gung ini sudah terasa sewaktu menjejakkan kaki di halamannya. “Tetapi sekarang barn bisa merasakan kesan wingit dari masjid itu setelah masuk kedalamnya,” tegas Solekan yang ditemui LIBERTY di kediamannya.
Seorang pengurus masjid tiban yang masih kerabat Mbah Wali menyebutkan, di dalam masjid itu ada lampu-lampu minyak kuno yang aneh. Dikatakan aneh, karena sewaktu Mbah Wali masih hidup, lampu-lampu minyak akan menyala sepanjang malam meski tanpa diisi minyak. “Inilah lampu- lampu minyak itu,” ujar M Basuni sambil menunjukkan lampu yang dimaksud pada LIBERTY.
Basuni adalah cucu menantu Mbah Maksum, salah seorang putra Mbah Wali. Putra lain Mbah Wali adalah Sulaiman Zuhdi. Fatonah sendiri merupakan istri dari Mbah Maksum. Kini, jasad Mbah Wali, Mbah Maksum dan Mbah Sulaiman Zuhdi tempat imaman masjid tiban itu.
Lampu-Jampu minyak itu sendiri, kini tergantung melingkar di pilar tengah masjid yang menjelang di antara empat soko guru (empat pilar penyangga atap). Lampu-lampu itu, tampak berdebu dan tersusun sedemikian rupa dari bawah hingga pucuk pilar tengah. Jumlah sangat banyak, dan dari dulu hingga sekarang tempatnya pun relatif tak berubah.
Tak Pernah Sepi Pengunjung
Meski letaknya relatif terpencil, namun masjid tiban Temenggung ini hampir tidak pemah sepi dari pengunjung. Mereka datang dari berbagai pelosok Nusantara. Beberapa warga setempat sempat bingung, dari mana pengunjung itu tahu kalau di Dusun Gem- bong ada masjid tiban yang membetot hasrat mereka untuk mengunjunginya dan berolah spiritual.
Tidak sedikit di antara para pengunjung itu yang datang karena mendapat petunjuk lewat mimpi. Mereka terlebih dahulu bermimpi melihat masjid yang belum pernah sekalipun didatanginya itu. Tidak sedikit pula yang datang karena bisikan gaib yang menyuarakan kebe- radaan masjid tiban Temenggung.
Pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini, tidak sedikit di antara para pengunjung itu yang beritikaf di masjid itu dengan tadarus, wind dan dzikir. Dzikir mereka pun meniru Mbah Wali, yakni Allah … Allah … Allah …, dalam bilangan ribuan kali.
Seorang pengunjungyang mengaku datang dari Jawa Barat mengaku, kedatangannya ke masjid tiban di Temenggung ini untuk mohon petunjuk atas bisnis yang tengah dijalankan. Lelaki setengah baya itu kepada LIBERTY mengaku bernama Imron. Tetangga saya di Pekalongan, setelah dzikir di sini dagang batiknya sukses. Dulu, dia tak pernah bisa membayangkan akan bisa menghidupi anak-anak yatim hingga 10 orang, tetapi setelah mohon petunjuk di masjid ini semuanya berjalan lancar. Rejekinya pun berlimpah,” urai Imron yang mengaku buka usaha perbengkelan.
Tidak takutkah Imron berdzikir sambil memilin-milin biji tasbih di dalam masjid yang benar-benar terkesan wingit itu? “Tidak ada yang saya takutkan, kecuali Allah,” kata Imron menjawab pertanyaan LIBERTY.
Banyak Imron-imron yang lain, datang ke masjid tiban di Temenggung itu dalam rangka ikhtiar atas usahanya. Mereka, datang ke masjid itu dengan penuh keyakinan, bahwa Allah akan menolongnya. “Tetapi ya tidak mungkin toh, hanya berdiam di masjid lantas Tuhan men- jatuhkan rejeki dari langit begitu saja. Jadi, di sini ini selain berdoa ya juga harus be- kerja keras,” aku Imron.
Suasana religius masjid tiban Temenggung benar-benar sangat terasa, bersamaan dengan datangnya bulan suci Ramadhan. Di atas hamparan sajadah, tanpa penerangan sedikit pun, mereka mewirid Asmaul Husna (99 sebutan- sebutan bagus untuk Allah SWT) •EMTE
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: LIBERTY, Edisi 23`17, 21-30 September 2007, hlm. 38-40