Masjid Qawiyudin, Wonokromo-Surabaya
Menelusuri Jejak Kerabat Sunan Gunung Jati di Wonokromo, Surabaya. Ramadan, Sepekan, dua Kali Kaji Fathul Qorib. Ada satu masjid tua…
Menelusuri Jejak Kerabat Sunan Gunung Jati di Wonokromo, Surabaya. Ramadan, Sepekan, dua Kali Kaji Fathul Qorib. Ada satu masjid tua di kawasan Wonokromo yang kerap luput dari liputan religi. Masjid Qawiyudin namanya. Terletak di tengah perkampungan Jagir Wonokromo, masjid tersebut masih kukuh berdiri.
Nilai kesejarahan tertera jelas di serambi masjid. Tertempel di pintu utama, sebuah plakat logam yang dikeluarkan Kementerian Agama menandakan berdirinya masjid, yakni 1786. Arsitekturnya cukup berbeda dengan masjid kebanyakan yang umumnya beratap kubah. Kon- struksi atap Masjid Qawiyudin bertumpuk-tumpuk, mirip sekali dengan pura.
Memasuki lingkungan masjid, terasa sekali atmosfer yang berbeda. Rasanya tidak seperti berada di kompleks Wonokromo yang identik dengan macet plus perkampungan yang berjejal-jejal itu. Nuansa religi amat kental di kompleks masjid tersebut. Lalu lalang jamaah berkopiah yang keluar masuk masjid kerap terlihat.
Masjid Qawiyudin didirikan Mbah Qawiyudin. Dia adalah cucu Su- nan Gunung Jati dari Cirebon. Qawiyudin terpaksa melarikan diri ke wilayah Wonokromo ka- rena saat zaman penjajahan Be- landa, mereka yang termasuk Bani Basyaiban ditangkapi. Nah, Qawiyudin merupakan salah seorang anggota bani tersebut. Konon kabarnya, masjid tersebut didirikan dengan kayu-kayu yang dibawa langsung dari Cirebon. Kayu-kayu itu dikirim lewat laut, lantas dialirkan menyusuri Kalimas. Hingga kini, kayu-kayu tersebut masih tegak berdiri me- nyangga masjid.
Semula Masjid Qawiyudin berdiri tepat di pintu air Jagir. Namun, karena Belanda membangun sudetan atau kali baru hingga ke laut, masjid tersebut dipindahkan ke kompleks yang sekarang. Di sekeliling masjid, ada banyak rumah. Namun, mereka masih berkerabat dengan Mbah Qawiyudin.
“Meskipun kuno dan bersejarah, masjid yang didirikan pada 1786 ini terlewat dari sorotan liputan. Padahal, bisa saya bilang, masjid ini tertua di Surabaya Selatan,” kata Wakil Ketua Takmir Masjid Qowiyudin Amir Hamzah” (Sabtu-20/7/13).
Dengan hidangan khas jamaah masjid, yakni kopi tubruk dalam cangkir kecil, malam itu sejumlah pengurus takmir bercerita soal keistimewaan masjid tersebut. Terutama saat Ramadan. Amir menceritakan, saat Ramadan, frekuensi pengajian di masjid tersebut bertambah. Menjelang buka puasa, masjid mengadakan pengajian Fathul Qorib. Itu merupakan pengajian yang khusus membedah masalah fikih. Jamaah-nya adalah warga sekitar yang ingin memperdalam ilmu agama.
Kiai yang memberikan pengajian itu khusus. Mereka didatangkan langsung dari kompleks Pesantren Sidoresmo. Pada Ramadan kali ini, yang kebagian jatah adalah KH Ahmad Mashuri Toha dan KH Mas Sulaiman. “Ini tradisi yang kami jaga sejak bertahun-tahun lalu. Saat saya masih kecil, sudah ada pengajian semacam ini. Apalagi, masih ada hubungan kekerabatan dengan Sidoresmo,” ungkapnya. Sejumlah pengurus yang lain juga mengangguk soal pernyataan Amir malam itu.
Keutamaan lain, Masjid Qawiyudin di Jagir Wonokromo tersebut amat menjaga nilai-nilaiyang sudah ditanamkan para leluhurnya. Persis di depan masjid, ada sebuah kubus semen setinggi setengah meter yang dikelilingi pagar besi. Persis di atasnya, tertancap besi setinggi 15 cm. Mungkin saking lamanya, besi tersebut cukup berkarat sehingga warnanya terlihat cokelat tua.
Warga kompleks masjid menyebutnya pandem. Itu adalah penunjuk waktu salat yang masih dipertahankan hingga kini. Kendati sudah ada teknologi untuk menentukan waktu, misalnya menentukan waktu zuhur, pengurus terkadang masih memanfaatkannya. Yang mereka inginkan adalah adanya kesamaan antara jam modern dan tanda-tanda alam tersebut.
Menurut penuturan Abdul Kholiq, imam rawatib di masjid itu, waktu salat di masjid itu kerap berbeda dengan Masjid Rahmat. “Ada selisih sedikit saja, kami tidak berani memulai salat. Sebab, hitungannya haram,” ungkap pria murah senyum tersebut.
Banyak nilai lain lagi yang dipegang teguh hingga kini. Salah satunya, masjid sama sekali menolak bantuan pemerintah. “Al- hamdulillah, dalam bentuk apa pun, kami tidak mau menerima. Kami tidak mau di belakang hari muncul masalah,” kata Amir.
Infak jamaah yang didapat ketika salat Jumat juga tidak disimpan di bank. Karena itu, hendahara takmir harus mengelolanya dengan penuh tanggung jawab. Amir me- ngatakan, bunga dari bank mirip sekali dengan riba. “Daripada kami ragu-ragu, lebih baik kami mengelolanya sendiri,” ungkapnya.
Saat bulan Rajab, ada satu kegiatan rutin yang menjadi agenda wajib di masjid tersebut. Yakni, mengadakan festival hadrah tingkat Jatim dalam rangka haul Mbah Qawiyudin. Karena itu, halaman masjid pun harus berjejal-jejal untuk menampung banyak peserta. (git/c6/end)
———————————————————————————–134N70nulisDW-Jawa pos, Selasa 23 Juli 2013, hlm. 1 dan 30