MASJID JAMIK AL BAITUL AMIN JEMBER
Masjid Jamik Al Baitul Amin kota Jember adalah masjid baru yang terletak di sebelah Utara masjid jamik yang lama, di…
Masjid Jamik Al Baitul Amin kota Jember adalah masjid baru yang terletak di sebelah Utara masjid jamik yang lama, di seberang jalan raya yang membelah Alun-alun kota Jember, terletak di sebelah Barat Alun-alun kota.
Pembangunan Masjid dipelopori oleh K.H. Ahmad Siddiq mewakili ulama dan Bapak Mulyadi, Kepala Dinas PUD Kabupaten Jember mewakili pihak Pemerintah Daerah. Menurut informasi, dari kedua tokoh ini timbul ide perencanaan masjid ini dengan tema tawaf. Tawaf adalah suatu bagian dari ibadah haji di Tanah Suci di mana umat berlari-lari kecil mengelilingi Ka’bah. Ide itu akan dicerminkan dengan adanya bangunan pusat yang dikelilingi oleh sembilan bangunan pelengkapnya. Angka sembilan diambil dari angka keramat mubaligh Islam di tanah Jawa yakni Wali Songo yang sembilan orang itu,Maksud membangun masjid jamik dengan ide bentuk tawaf ini mendapat sambutan simpatik sekaligus ditunjukkan seorang perencana/arsitek berasal dari Bandung yakni Ir. Ya Ying K. Kesser.
Pada tahun 1978 bersama-sama dengan peresmian Pasar Besar “Tanjung” maka di- resmikan pula penggunaan Masjid Jamik ini dan dinamai Masjid Jamik “Al Baitul Amien” Jember. Masjid Jamik “Al Baitul Amien” dibangun diatas tanah seluas 1,75 ha, yang terdiri dari persil Kantor Kehutanan dan persil-persil milik masyarakat. Di sebelah Selatan Alun-alun terdapat kompleks Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Jember, di sebelah Timur Alun-alun terdapat bangunan hotel dan kantor-kantor pemerintah, demikian pula di sebelah Utaranya merupakan daerah perkantoran pemerintah.
Jalan masuk samping ada dua buah masing-masing dapat dicapai dari Jalan Semeru dan dari Jalan Raya Sultan Agung. Halaman depan terasa amat sempit sedangkan halaman belakangnya cukup luas. Tata bangunan dibuat simetris yang terdiri dari satu bangunan berkubah besar dengan tiga kubah yang semakin mengecil di samping depan kiri dan samping kanan. Batas belakang dan samping areal masjid dipagari dengan dinding tembok setinggi lebih kurang dua meter, sedangkan pada bagian depan diberi pagar besi dengan bentuk pola cekungan yang berulang, merupakan pola kebalikan dari pola bentuk yang cembung.
Kepengurusan masjid jamik lama dan masjid baru merupakan satu manajemen, karena tujuan awal pembangunan masjid jamik baru merupakan perluasan dan pengembangan dari masjid jamik lama. Dengan bertambahnya sarana baru ini maka kegiatannya kepengurusan masjid tetap menjadi satu.
Masjid Jamik Al Baitul Amien digunakan sebagai masjid jamik, artinya digunakan untuk kegiatan sembahyang Jumat dan sembahyang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan Sembahyang rawatib yang dikerjakan sehari-hari dilakukan di dua tempat dengan pembagian waktu tersendiri. Untuk waktu malam hari yakni untuk keperluan salat Maghrib, Isyak dan Subuh digunakanlah masjid baru sedangkan masjid yang lama ditutup. Sedangkan pada siang hari untuk keperluan sembahyang Dhuhur dan Ashar disediakan di masjid lama, dan masjid baru ditutup. Aturan ini dimaksudkan agar kedua masjid ini masih tetap digunakan sehari-hari dan demi kepraktisan masjid lama dipakai sembahyang di siang hari karena di situ terdapat kegiatan Perpustakaan, Kantor Takmir Masjid dan Ruang Pengadilan Agama.
Dengan demikian maka fungsi masjid sebagai pusat peribadatan diwujudkan pada masjid baru sedangkan fungsi sebagai pusat kebudayaan diwujudkan pada kompleks masjid lama.Bentuk Masjid Jamik Al Baitul Amin yang baru ini bulat denahnya dan dilindungi dengan bentuk kubah/dome dengan ditumpu oleh balok-balok beton berbentuk busur. Dilihat dari komposisi massanya terlihat bahwa terdapat suatu komposisi yang seolah-olah terbentuk gambar abstrak yang memperlihatkan bentuk garuda yang baru terbang ke arah kiblat, dengan kepalanya berada pada mihrab masjid dan ekornya pada plaza di depan bangunan masjid.
Kalau ide semula dari panitia bertemakan kegiatan tawaf yang mengelilingi Ka’bah, maka ide tersebut ternyata tidak tercermin di sini. Memang di tengah kita temukan bangunan berkubah yang terbesar tetapi bangunan yang lain tidak mencerminkan keadaan mengelilingi tetapi justru sebagai sayap, sayap kiri dan sayap kanan. Demikian pula angka 9 yang diambil dari Wali Songo itu tidak sempat terlaksana, dicerminkan dalam bangunan sekunder yang mengelilingi bangunan utama itu hanyalah berjumlah 6 saja. Bangunan utama yang terletak di tengah digunakan untuk liwan pria dan mihrab. Bangunan ini memiliki denah bulat dengan diameter 34 m.
Bangunan kedua yang berada di samping depan kiri dan kanan berbentuk bulat berdiameter 20 m dan masing-masing digunakan untuk liwan untuk anak-anak dan liwan untuk wanita. Bangunan samping yang kedua masing-masing berbentuk bulat dengan diameter 11 m digunakan untuk perluasan liwan anak-anak dan perluasan untuk liwan wanita.
Sedangkan bangunan samping ketiga masing- masing berdenah bulat dan berdiameter 8 masing- masing digunakan untuk tempat wudu pria (Utara) dan tempat wudu wanita (Selatan). Tidak didapat keterangan apakah kanak-kanak wanita juga di liwan kanak-kanak, dan di mana mereka mendapatkan tempat wudu.
Masing-masing bangunan samping ini dihubungkan oleh selasar terbuka. Sedangkan antara bangunan utama dan bangunan samping pertama, kiri dan kanan dindingnya relatif bersinggungan se- hingga di sana langsung dapat dihubungkan dengan pintu kaca, tanpa selasar lagi.
Bangunan utama ditumpu oleh empat busur balok beton yang dibagi menjadi dua kelompok yang bersilang tegak lurus. Keempat balok inilah yang mendukung atap melengkung dari beton bertulang. Bangunan ini terdiri dari dua lantai, yakni lantai bawah yang tingginya sekitar 160 cm dari muka tanah dan lantai atas yang merupakan lantai mezanin.
Lantai kedua ini ditumpu oleh enam belas tiang yang bentuknya bulat dengan komposisi berkeliling dan satu kolom berada di pusat lingkaran.
Sedangkan bangunan samping masing-masing ditumpu oleh dua balok busur beton bertulang yang menyilang tegak lurus satu sama lainnya. Sedangkan bangunan samping yang pertama kiri dan kanan, maka di samping masing-masing ditumpu oleh dua balok busur masih ditumpu lagi oleh 16 kolom pinggir dari beton bertulang yang berkeliling mem- bentuk lingkaran pembatas ruang.
Pada kompleks masjid baru ini ternyata berbeda dengan pola masjid di Indonesia seumumnya. Di masjid ini tidak ditemukan serambi. Hal ini tidak ditemukan dalam pola masjid tradisional tetapi bisa terlihat pada pola bangunan langgar/surau. Sebagai gantinya terdapat teras depan yang terbuka dan merupakan anak tangga yang jumlahnya delapan ting- kat dan masing-masing lebarnya lebih 120 cm, jadi untuk satu saf sembahyang. Namun sayang, bentuknya yang melingkar ini menyebabkan arah makmum ini tidak semuanya ke arah kiblat tetapi justru ke arah tiang sentral bangunan utama. Di depan teras ini terdapat plaza yakni halaman depan yang dirata- kan dan diperkeras dengan pasangan batu bata jenis klinker. Plaza ini menghubungkan bangunan in- duk dengan Jalan Semeru di depan tapak. Di bagian yang berhubungan dengan jalan tersebut terdapat lima buah pintu masuk utama yang masing-masing lebarnya 5 m.
Di samping ketujuh bangunan berbentuk dome itu, di samping Selatan gerbang masuk utama terdapat sebuah menara dengan denah bawah berbentuk bulat dengan diameter 3 m dan tinggi 33 m. Menara ini dibuat dengan struktur beton bertulang berbentuk bulat dan di tengahnya terdapat tangga melingkar ke atas, dan di puncaknya terdapat ruang untuk meletakkan 8 buah pengeras suara dan di atasnya ditutup dengan bentuk kubah dari metal dan terdapat simbol bulan bintang di puncaknya.
Program masjid jamik yang lebih ditekankan sebagai pusat peribadatan ini terdiri dari ruang-ruang sebagai berikut:
- Liwan dewasa pria lantai I …….. 910 m2
- Liwan dewasa pria lantai II …… 490 m2
- Liwan wanita ………………………. 314 m2
- Liwan anak-anak ………………….. 314 m2
- Liwan tambahan wanita ………… 95 m2
- Liwan tambahan anak-anak …… 95 m2
- Tempat wudu pria ………………… 50 m2
- Tempat wudu wanita…………….. 50 m2
- Mihrab, mimbar, ruang persiapan khatib dan ruang mekanikal 78 m2
Sistem penerangan pada bangunan liwan yang terdapat pada lima bangunan berkubah memanfaatkan sinar matahari secara optimal. Hampir semua dindingnya yang melingkar terbuat dari pintu dan jendela kaca yang lebar-lebar. Sedangkan penerangan di bangunan tempat wudu juga memanfaatkan sinar matahari melalui pembukaan bagian atas dinding. Penerangan malam hari menggunakan lam- pu listrik yang dikontrol dari ruang mekanik di sebelah Selatan mihrab. Lampu ditanam di langit-langit dengan pola bebas. Sedangkan lampu di liwan pria bagian bawah dipasang pada langit-langit dengan pola melingkar, yang sekaligus menyesuaikan bentuk melingkar dari pola langit-langitnya yang berorientasi ke titik pusat pada kolom sentral yang menyangga lantai mezanin itu. Sedangkan di tengah-tengah ruang mezanin ini tergantungkan lampu kristal yang anggun, tetapi tidak memiliki skala yang memadai dengan ukuran ruangannya.
Penghawaan juga memanfaatkan aliran udara dengan membuat jendela kaca dengan krepyak kaca Nako. Dengan demikian maka dapat terjadi ventilasi silang yang cukup. Dengan demikian maka kecuali ruang mihrab maka semua ruang lainnya tak menggunakan ventilasi buatan.
Perlu ditambahkan bahwa di bangunan utama terdapat ventilasi dan penerangan yang terletak pada atap dan terletak di antara dua balok busur yang searah.
Tata suara bentuk dome agak sulit mengingat bahwa bentuk atap yang cekung dapat memantulkan suara apalagi dengan material yang keras dan licin. Oleh karena itu maka langit-langit bangunan berkubah ini diselesaikan dengan penutup dari bahan karpet yang bertekstur kasar sehingga diharap- kan dapat menyerap suara. Pengeras suara dipasang di langit-langit secara merata sehingga dengan sekalian lampu-lampunya maka seolah-olah di langit-langit terdapat banyak bintang bertaburan apalagi bentuk-bentuknya dipilih yang berpola bulat.
Sistem sanitasi diselesaikan secara baik dengan peralatan modern. Air bersih diambil dari tiga buah sumur. Dengan dua buah pompa air sumur disedot dan disalurkan ke bak reservoir yang terdapat pada masing-masing bangunan tempat wudu. Dari reservoir ini air baru disalurkan ke tempat wudu dengan kran-kran air yang mewah. Tempat wudunya dibuat melingkar dengan lorong sirkulasi yang cukup longgar. Dindingnya dilapisi porselin dan lantainya dibuat dari tegel wavel warna kuning. Di sini ternyata tidak tersedia tempat mandi dan WC, dan tidak terlihat jelas di mana tempat untuk berhajat itu harus dilakukan. Mungkinkan harus ke masjid lama di seberang jalan atau memang fasilitas itu tidak dianggap penting, atau fasilitas itu belum sempat di- bangun, tiada informasi yang didapat.
Kebersihan bangunan suci ini mendapat tempat utama. Pertama letak lantai bangunan yang tingginya lebih dari 150 cm di atas permukaan tanah sekitar, kedua bahan bangunan yang digunakan bermu- tu prima tahan lama dan mewah seperti tegel mariner ukuran 60 x 120 cm di ruang liwan, kaca jendela dan pintu yang lebar, langit-langit liwan pria bagian bawah yang terdiri dari garis-garis dari papan kayu jati kelas prima dengan dipolitur halus licin. Demikian pula kolom beton yang berbentuk bulat diselesaikan dengan lapisan papan jati kualitet prima dan di bagian bawahnya terdapat cincin kuningan melingkar sebagai material transisi dengan lantai dari marmer. Dengan demikian maka tingkat kemewahannya ternyata juga memperoleh tempat prima.
Pola Masjid ‘Baitul Amin’ Jember merupakan satu-satunya pola baru yang lama atau pola lama yang baru, khususnya di Jawa Timur dan mungkin satu-satunya di Indonesia. Dengan demikian maka ternyata dalam alam kemerdekaan di mana telah muncul tenaga-tenaga ahli muslim bangsa sendiri serta kesempatan membangun yang memadai dan luput dari dunia kemiskinan, kungkungan penjajah atau tekanan dari kaum komunis, maka bermunculanlah kreasi-kreasi baru pada arsitektur masjid di Jawa Timur yang ikut memperkaya khasanah arsitektur masjid di persada Indonesia tercinta.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Dian K, Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:
Perkembangan arsitektur Masjid di Jawa Timur; Ir. Zein M. Wiryoprawiro
Penerbit Impresium: Surabaya: Bina Ilmu, 1987
CB-D13/1986-6[1] DDC: 726.2