Biografi Bung Tomo.
Alhirnya Gelar Pahlawan Nasional Diterima Bung Tomo yang lahir pada 3 Oktober 1920 merupakan ikon Hari Pahlawan. Pria asal Blauran,…
Alhirnya Gelar Pahlawan Nasional Diterima
Bung Tomo yang lahir pada 3 Oktober 1920 merupakan ikon Hari Pahlawan. Pria asal Blauran, Surabaya, itu menjadi tokoh penting dalam Pertempuran 10 November 1945, saat tentara NICA masuk ke Surabaya. Tapi baru tahun ini (2008) pengakuan sebagai pahlawan nasional didapatnya.
“Saudara-saudara. Kita pemuda-pemuda rakyat Indonesia disuruh datang membawa senjata kita kepada Inggris dengan membawa bendera putih, tanda bahwa kita menyerah dan takluk kepada Inggris….”
“Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia: Hai Inggris, selama banteng-banteng, pemuda- pemuda Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan menyerah….”
“Teman-temanku seperjuangan, terutama pemuda- pemuda Indonesia, kita terus berjuang, kita usir kaum penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lama kita menderita, diperas, diinjak-injak….”
“Sekarang adalah saatnya kita rebut kemerdekaan kita. Kita bersemboyan: Kita Merdeka atau Mati. Allohu Akbar… Allohu Akbar…. Allohu Akbar…. Merdeka !”
Itulah pidato yang selama ini dikenal masyarakat sebagai simbol kepahlawanan Bung Tomo dalam menggelorakan semangat juang Arek-arek Suroboyo untuk menghadapi NICA pada 10 November 1945.Tak mengherankan bila Bung Tomo menjadi ikon dalam setiap peringatan hari pahlawan. Sayangnya gelar pahlawan, baru didapatnya pada peringatan hari pahlawan tahun ini.
Gelar pahlawan untuk Bung Tomo sebetulnya sudah pernah diajukan yaitu pada 1990 dan 1995, tapi semuanya ditolak. Alasannya karena ada persyaratan administrasi yang belum dipenuhi yaitu karena belum diseminarkan didaerah. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada pihak yang keberatan dengan pengangkatan Bung Tomo menjadi pahlawan nasional atau tidak. Setelah diseminarkan kemudian akan diteliti oleh Badan Penelitian Pahlawan Pusat.
Perjalanan memang cukup berliku untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Salah satunya upaya yang telah dilakukan Tim Pengusul Jasa Pahlawan Besar Bung Tomo sebagai Pahlawan Nasional.Tim pengusul tersebut terdiri atas akademisi, tokoh masyarakat, pemerintah dan swasta.Tim ini menggalang sejuta tanda tangan sebagai desakan kepada pemerintah dengan menggelar kain putih berukuran 1 X 4 meter sebanyak tiga lembar. Kain tersebut dibeber selama 2 hari di Jl Pemuda.
Penggalangan sejuta tanda tangan dilakukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dukungan pada pemerintah pusat agar menetapkan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional. Sebelumnya, tim pengusul ini juga telah menggelar serangkaian seminar sebanyak tiga kali menyangkut ketokohan Bung Tomo.
Berbagai upaya tersebut nampaknya telah membuahkan hasil dengan ditetapkannya Bung Tomo sebagai Pahlawan Nasionl pada tahun ini. Gelar Pahlawan Nasional itupun diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada keluarga Bung Tomo pada 9 Nopember. Penyerahan gelar kepahlawanan tersebut dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 2008.
Tapi sebelumnya sempat muncul kontroversi. Karena saat itu muncul spekulasi diantara 11 nama yang diusulkan oleh Depsos tidakterdapatnama Bung Tomo. Tapi kemudian pada awal Nopember, Menkominfo, Mohammad Nuh menganulir berita tesebut dan menyatakan nama Bung Tomo telah ada diantara 11 nama yang diajukan. Dan Bung Tomo termasuk4 nama yang telah disetujui. “Presiden sudah sampaikan ke saya bahwa Bung Tomo akan diresmikan sebagai pahlawan nasional,”tegasnya.
Sikap Bung Tomo
Pria bernama asli Sutomo itu meninggal di Makkah pada 7 Oktober 1981. Salah satu wasiat Bung Tomo kepada keluarga adalah tidak mau dimakamkan di taman makam pahlawan. Sikap itulah yang kemungkinan membuat pemerintah tersinggung sehingga 27 tahun setelah Bung Tomo meninggal baru diakui sebagai pahlawan nasional.
Sosok Sutomo, arek Blauran Surabaya ini memang dikenal konsisten dalam sikap dan kritis dalam pemikirannya. Bahkan karena kekritisannya tersebut ia pernah mendekam di penjara Kramatjati, Jakarta Timur, selama setahun (11 April 1978 -11 April 1979). Sikap kritis BungTomo itu terekam dalam dokumen tentang pemikiran, surat, dan artikel politiknya yang tertuang dalam buku Bung Tomo Menggugat.
Buku ini mengungkapkan sebagian kecil pemikiran Bung Tomo, baik yang berupa artikel dan surat yang sudah dipublikasikan maupun belum, yang ditulis dari tahun 1955—1980, setahun sebelum meninggal. Ada dua kesan mendalam yang bisa dipetik setelah membaca seluruh tulisan Bung Tomo ini. Pertama, kita seolah-olah dibawa kembali ke masa silam untuk mengikuti alur sejarah bangsa ketika tulisan
itu ditulis. Kedua, kita akan mengetahui dan memahami semangat dan konsistensi Bung Tomo sebagai pejuang yang benar-benar ingin membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan dan kemiskinan.
Dari sana kita bisa melihat keberanian, kejujuran, dan kepolosan Bung Tomo dalam menghadapi situasi dan kondisi zamannya. Betapa tidak? Dia tanpa tedeng aling- aling, tanpa sungkan, dan tanpa ewuh pakewuh dengan beraninya mengkritik kebijakan Bung Karno, Soeharto, serta para pejuang, baik kaum politisi maupun militer pada zamannya. Kritik yang tidak sekadar njeplak atau asbun (asal bunyi), tetapi kritik yang didasari fakta dan disertai solusi yang bijak.
Dalam salah satu surat terbuka kepada Bung Karno, BungTomo menulis,”Bung Karno, betapa saya tidak gelisah, mengingat bahwa kepala pemerintahan dewasa ini adalah penggali Pancasila, sedangkan rakyat jelata rata-rata belum merasakan kemanfaatan dan kemaslahatan Pancasila…”
“Kedaulatan rakyat telah lama diinjak-injak oleh pembantu-pembantu Bapak Presiden yang terdekat pada masa lampau, keadaan sosial tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Pada saat rakyat jelata hidup menderita merana, orang-orang yang terdekat dengan Bapak Presiden menyusun mahligai kemewahan….”
“Yang lebih seram lagi adalah isteri-isteri para penguasa tertinggi yang secara sendiri menguras kekayaan negara untuk memuaskan nafsu pribadinya, berfoya-foya di luar negeri, menimbun kekayaan di dalam negeri! Sedangkan para penguasa berbuat seolah-olah (pura-pura) tidak tahu semuanya itu…”
Sedang kritik pada Soeharto terkait dengan kedekatan “Cendana” pada salah satu konglomerat. Kedekatan itulah yang dikatakan telah membuyarkan cita-cita orde baru dan menggerogoti kewibawaan presiden. Digesernya Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo dari Mentri Perdagangan salah satu akibat dari kedekatan tersebut “….Secara diam-diam, rakyat mulai tidak senang pada kepemimpinan kawan.
Bung Tomo juga bersurat kepada Presiden AS terkait dengan masalah GAM. Dalam suratnya kepada Presiden AS Eissenhower, BungTomo mempertanyakan sikap AS terhadap RMS, Hasan Tiro (GAM), dan negara-negara di kawasan Asia- Afrika yang dapat mendorong tumbuhnya perdamaian di dunia, (berbagai sumber/gt)
kami Soeharto, tetapi tidak berani.” Bunyi surat Bung Tomo.
Nama Sutomo (Bung Tomo)
Lahir Surabaya, 3 Oktober 1920
Wafat Makkah, 7 Oktober 1981
Ayah Kartawan Tjiptowidjojo
Jabatan Penting Menteri Negara Kabinet Burhanuddin Harahap
(12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956)—————————————————————————————————————————– dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : 341 Kontak Sosial, Edisi Semester II, 2008