Makam Tebuireng, Makam Wali ke-10
Suatu ketika ada seorang kakek tua yang tidak dikenal nama dan asalnya, datang ke dusun Tebuireng. Ia beristirahat melepas lelah…
Suatu ketika ada seorang kakek tua yang tidak dikenal nama dan asalnya, datang ke dusun Tebuireng. Ia beristirahat melepas lelah di bawah pohon, di tepi lorong kecil dekat sebuah sungai. Ternyata kakek tua itu jatuh sakit hingga berhari-hari lamanya. Ia hanya pasrah kepada Allah SWT dengan penuh khidmah dan kesabaran.
Di kala penyakitnya semakin parah, datanglah seorang penduduk dusun setempat untuk mengurus dan merawat kakek tua itu. “Nak, kalau daun hayatku telah gugur dan ajalku telah sampai\ sudilah kiranya engkau menanamku (menguburkanku) di semak belukar sebelah timur dari tempatku ini. Sebab, kelak entah berapa belas tahun atau puluban tahun kemudian akan berdiri sebuab tempat pengajian besar yang harum sampai he segala penjuru.” Tak lama setelah kakek tua itu mengucapkan pesan singkatnya, beliau pun berpulang ke rahmatullah. Inna liLlabi wa inna ilayhi rajiun. Konon, kakek tua itulah orang pertama yang dimakamkan di wilayah pemakaman Tebuireng.
Kini, ramalan kakek tua misterius itu telah menjadi kenyataan. Tempat pengajian besar yang namanya harum ke segala penjuru itu, sekarang bernama Pesantren Tebuireng. Di dalamnya terdapat makam para kekasih Allah Swt. (Makam Tebuireng), yang setiap hari diziarahi oleh 2 ribuan manusia dari berbagai penjuru Nusantara.
Makam Tebuireng merupakan tem¬pat dimakamkannya keluarga besar hadra- tus syeikh K.H. M. Hasyim Asy’ari. Lokasi- nya berada tepat di tengah-tengah Pondok Pesantren Tebuireng. Para pengasuh Tebu¬ireng dan anggota keluarga serta tokoh- tokoh Tebuireng lainnya yang telah wafat, dikebumikan di sana. Tepat di sisi barat kompleks pemakaman, berdiri gedung Wisma Hadji Kalla berlantai tiga, lalu di sebelah utaranya berdiri Wisma Suryokusumo berlantai dua dan di sebelah selatan Gedung KH. M. Ilyas berlantai 3.
Para tokoh yang dimakamkan di Makam Tebuireng antara lain; hadratus syeikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dan Ny. Hj.Nafiqoh (istri), KH.A. Wahid Hasyim dan Ny.Hj. Solechah (istri), KH. Abdul Kholik Hasyim, KH. Ma’shum Ali (pengarang kitab shorof Amtsilatus Tasbrifiyyab) dan Ny.Hj. Khoiriyah Hasyim (istri), dan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Sejak dahulu, makam ini selalu ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka berasal dari berbagai kalangan, termasuk para peneliti,
akademisi, dan pemerhati pesantren baik dari dalam maupun dari luar negeri. Kiprah perjuangan hadratus syeikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahid Hasyim rupanya sangat menarik perhatian mereka untuk
mengunjungi makam Tebuireng.
Setelah wafatnya Gus Dur pada 30 Desember 2009, makam Tebuireng semakin ramai dikunjungi peziarah. Mereka datang dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari abang becak, pedagang, santri, kiai, pendeta, pastur, biksu, pengusaha, aktivis, artis, seniman, pejabat daerah dan pusat, termasuk para diplomat asing. Pada hari pemakaman Gus Dur tanggal 31 Desember 2009, ratusan ribu pelayat tumplek blek memenuhi area
pesantren Tebuireng dan sekitarnya. Bahkan banyak yang rela berjalan kaki puluhan kilo meter dari kota Jombang menuju Tebuireng. Jalur bis terpaksa dialihkan karena jalan raya di depan Pesantren Tebuireng sepanjang kurang lebih 7 (tujuh) kilometer penuh sesak oleh peziarah.
Pemandangan yang sama juga terjadi pada peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1 tahun wafatnya presiden ke 4 Republik Indonesia itu. Areal Pondok Pesantren Tebuireng penuh sesak dengan peziarah. Jalan raya macet total meskipun pada malam harinya hujan turun cukup deras. Apalagi sebelum peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur, di Tebuireng diadakan acara khataman al-Qur’an seribu majelis yang dikuti oleh 3.500an hafidz dan hafidzah dari seluruh Indonesia. Khataman al-Qur’an yang memecahkan rekor MURI itu diselenggarakan oleh pengurus Jam’iyyatul Qurra’ wal Khuffadz bekerjasama dengan PP. Madrasatul Qur’an Tebuireng. Praktis, seluruh areal Pondok Pesantren Tebuireng menjadi lautan manusia.
Pada hari-hari biasa, makam Tebuireng juga tidak pernah sepi pengunjung. Para peziarah datang silih berganti, ada yang datang berombongan dengan mengendarai bis, mobil besar, bahkan truk dan pick-up. Ada pula yang datang dengan mobil pribadi. Kepadatan semakin meningkat pada akhir pekan seperti hari Jum’at, Sabtu, dan Minggu, termasuk pada hari-hari libur nasional.
Kondisi ini membawa berkah tersendiri bagi para pedagang. Mereka membuka kios-kios semi permanen di sepanjang jalan menuju makam. Gang-gang di sekitar pondok disulap menjadi pasar dadakan. Beraneka barang dagangan ditawarkan, mulai dari dodol, krupuk, buah-buahan, buku, kaos, hingga aksesoris-aksesoris bergambar Gus Dur.
Tempat parkir bis dibangun di sebelah barat Masjid Ulul Albab, tepat di depan Pondok Putri Tebuireng. Jembatan tua yang terletak di gerbang masuk areal parkir yang sempat retak gara-gara terlalu sering dilewati bis, kini dibangun dengan cor beton yang kokoh. Bangunan MCK juga disediakan di ujung barat tempat parkir. Praktis, Pondok Pesantren Tebuireng kini telah menjadi salah satu tujuan wisata religi bersama Wali Songo. Sehingga, makam masyayikh Tebuireng (khususnya Gus Dur) oleh para peziarah disebut sebagai Wali Kesepuluh.()
————————————————————————————————————————-
dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Mubarok Yasin, A. dan Fathurrahman Karyadi. Profil Pesantren Tebuireng. Cetakan 1. Jombang, Pustaka Tebuireng: 2011. halaman 203-208