Pulau Gili Iyang, Kabupaten Sumenep
KEINDAHAN alam Jawa Timur sudah cukup terkenal ke berbagai penjuru dunia, mulai dari Gunung Bromo, Kawah Gunung Ijen, pasir pantai-pantainya…
KEINDAHAN alam Jawa Timur sudah cukup terkenal ke berbagai penjuru dunia, mulai dari Gunung Bromo, Kawah Gunung Ijen, pasir pantai-pantainya yang putih, hingga berbagai air terjun yang tersebar di berbagai dae- rah. Obyek wisata yang belum terlalu kondang, namun layak diperhitungkan adalah Pulau Gili Iyang.
Pulau ini terletak di sebelah timur Kabupaten Sumenep, Madura. Pulau ini memiliki udara dengan kadar oksigen cukup tinggi, mencapai 21%. Angka ini tertinggi setelah sebuah danau di Yordania yang dikenal sebagai Laut Mati. Selain itu Pulau Gili Iyang juga memiliki pantai dengan pasir putih dengan kelembutan menawan.
Keberadaan Pulau Gili Iyang sebenarnya sudah diketa- hui masyarakat Sumenep. Yang belum banyak diketahui adalah keistimewaannya. Bahkan warga dua desa, Desa Banra’as dan Desa Bancamara yang tinggal di pulau itu juga baru belakangan tahu jika pulau yang mereka tinggali memiliki keistimewaan luar biasa.
Untuk mengunjungi pulau ini, memang butuh “perjuangan” Gambarannya begini: dari Surabaya menuju Sumenep ditempuh perjalanan darat dengan waktu antara 3,5 – 4 jam. Namun bagi mereka yang berduit, bisa “terbang” dengan pesawat kecil menuju Bandara Trunojoyo Sumenep. Sekadar diketahui, sejak Juli 2014, bandara ini sudah resmi dioperasikan untuk penerbangan komer- sil. iVlaskapai yang melayani PT Trigana Air.
Selanjutnya untuk menuju Pulau Gili Iyang harus menyeberang menggunakan perahu yang biasa digunakan para nelayan dari pelabuhan kecil bernama Pelabuhan Dungkek. Untuk sekali penyeberangan yang memakan waktu sekitar 40 menit, biayanya Rp 10.000 per orang. Se- tiap perahu hanya berlayar satu kali perjalanan. Artinya, dari Sumenep jadwal menyeberang sekitar pukul 07.00 dan untuk kembali lagi ke Sumenep penumpang harus sudah siap di dermaga perahu-perahu nelayan berlabuh sekitar pukul 14.00 dengan perahu berbeda. Namun jika berombongan, bisa menyewa satu perahu seharga Rp 500.000 untuk pulang pergi.
Sejak dalam perjalanan laut menuju pulau seluas ham- pir 9 kilometer persegi itu, pengunjung sudah bisa melihat jelas keindahan pulau. Pengunjung juga bisa menikmati pemandangan para nelayan yang tengah menebar jala dan menjaring ikan sebagai mata pencarian sebagian besar penduduk Gili Iyang yang berjumlah sekitar 394 jiwa. Semakin mendekat ke pulau, kian jelas deretan perahu khas Madura yang bersandar di bibir pantai.
Begitu perahu penumpang sandar di dermaga kecil Desa Banra’as, terasa sekali menghirup udara begitu ri- ngan. Ditambah hempasan angin sepoi yang membelai
halus rambut dan kulit. Suasana ini sangat berbeda dibanding ketika bernapas di wilayah perkotaan yang terasa cukup berat. Bahkan udara perkotaan seperti Surabaya terkadang membuat sesak napas, Kadar oksigen dalam udara perkotaan rata-rata berkisar antara 16-17 % saja, sementara di Gili Iyang bisa mencapai 21%.
Ketika tim liputan Majalah Potensi berjalan menyusuri jalan setapak pedesaan, terasa langkah kaki begitu ringan. Berjalan sepanjang 2-3 km pun seakan tanpa beban, kondisi udara yang cukup bagus itu tak membuat napas tersengal-sengal, meski berjalan jauh.
Pantauan Satelit
Carik Desa Banraas, Mutawajih, menuturkan, keistimewaan udara di pulau ini diketahui tahun 2006 lalu. Saat itu, peneliti di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mendapati dari pantauan satelit bahwa kandungan oksigen di pulau tersebut cukup tinggi. Akhirnya LAPAN melakukan penelitian selama tiga bulan di tempat itu dengan menebar delapan alat pengukur kandungan oksigen di udara.
Selama tiga bulan, penelitian dilakukan terus menerus, sampai akhirnya LAPAN benar-benar mendapati bahwa kandungan udara di Gili Iyang cukup tinggi. Bahkan sekali waktu, ketinggian kandungan oksigen di tempat itu mengalahkan Laut Mati di Yordania.
Penelitian itu diperkuat lagi dengan temuan Balai Besar Tekhnik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jawa Timur.
Temuan tim juga mengejutkan, mengingat peneliti mengambil sampel glukosa secara acak di dua desa, yakni Desa Ban. Hasilnya, berdasarkan sunvey sementara, kadar oksigen di pulau itu mencapai 21,5 persen. Hal itu tak jauh berbeda dengan hasil survey Badan Lingkungan Hidup (BLH) jatim 2011 silam.
Munculnya kandungan oksigen yang cukup tinggi itu karena pengaruh perputaran udara dari laut sekitar pulau itu. “Kawasan Pulau Gili Iyang itu masih belum banyak pencemaran udara, kawasannya masih alami dan bersih,” katanya.
Masih menurut Mutawajih, kualitas udara di desanya itu sudah terbukti dan dirasakan masyarakat setempat. Salah satu bukti adalah kualitas kesehatan masyarakatnya yang jarang terserang penyakit. Usia warga juga relatif lebih panjang.
Di Gili Iyang, kebanyakan yang lebih dulu meninggal laki-laki. Sebab mayoritas mereka itu perokok, sedangkan yang perempuan tidak. “Di sini perempuan usianya bahkan bisa sampai 100 tahun lebih,” katanya.
Ya, berdasar pengamatan, di pulau ini memang terlihat banyak perempuan yang usianya sudah sangat lanjut. Namun yang mengherankan, kondisi mereka cukup sehat untuk beraktivitas, seperti bercocok ta nam hingga mencari rumput untuk ternak. Sedangkan kaum laki-laki, terutama yang masih muda dan kuat, lebih memilih bekerja sebagai nelayan.
Satu hal menyenangkan mengunjungi pulau ini adalah masyarakatnya yang ramah menyambut ke- datangan tamu. Warga dengan suka rela bukan saja menyambut, namun juga baramai-ramai mengantar menuju lokasi-lokasi yang menjadi pendukung wisata di Pulau Gili Iyang, seperti Gua Mahakarya yang baru saja ditemukan warga dan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Sumenep.
Rumah Tinggal
Diceritakan oleh Akhya, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Gili Iyang, konon Gili Iyang merupakan pulau tempat diasingkannya salah seorang selir raja Sumenep. Sebab itulah dalam sejarah raja-raja Sumenep cerita tentang selir dan pulau ini tidak pernah ada, karena selir dianggap sesuatu yang tidak baik bagi lingkungan kerajaan. Waktu itu pulau ini dikenal dengan sebutan Pulau Aulia. Konon kemudian ada seorang raden yang mengetahui dan tergila-gila pada selir yang tinggal di pulau ini. Akhirnya mereka pun hidup bersama dan menetap.
Menurut Akhya, karena begitu tergila-gilanya sang raden dengan putri dari pulau Aulia itulah sehingga pulau ini disebut dengan pulau Gili Iyang. Kini jalanan di pulau itu dinamakan Jalan Potre.
Akhya bertutur, saat ini warga Gili Iyang sudah mulai menyadari akan potensi wisata di kawasannya. Warga pun sudah mulai membuat buah karya atau kerajinan yang bisa dijadikan oleh-oleh. Antara lain, berbagai ikan yang diasinkan, mainan khas warga, hingga souvenir gelang, kalung dan kaos bertulis Pu¬lau Gili Iyang.
Setiap bulan, dipastikan selalu ada wisatawan yang berkunjung, antara 5-10 orang, Bahkan, kata Akhya, wisatawan beretnis china dari Jakarta berkunjung dengan tujuan agar kondisi kesehatannya semakin membaik. Pemkab Sumenep kini berminat mengembangkan. Rencana lokasi ini akan dijadikan wisata kesehatan dengan dibangun beberapa rumah tinggal agar ada swadaya dari warga setempat. (sti) •*•
majalah POTENSI, Edisi 44 / Agustus 2014, halaman 42-45