Pelabuhan Muncar Kabupaten Banyuwangi
Pelabuhan Muncar di Kabupaten Banyuwangi, merupakan pelabuhan ikan terbesar kedua setelah Bagan Siapi-api di Sumatera. MUNCAR yang yang menghadap selat…
Pelabuhan Muncar di Kabupaten Banyuwangi, merupakan pelabuhan ikan terbesar kedua setelah Bagan Siapi-api di Sumatera.
MUNCAR yang yang menghadap selat Bali ini zamak saja kalau kemudian menarik banyak pendatang. Sejak ratusan tahun lalu suku Madura, Bugis, Mandar, Melayu, China, Jawa, hingga kongsi dagang Inggris dan pasukan Belanda datang untuk mencari kekayaan dari bumi Blambangan: berdagang dan merebut kekuasaan.
Kedatangan para pelaut Bugis dan Madura ke Muncar pada zaman dulu tercatat dalam buku Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan yang ditulis oleh sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana.
Dikisahkan, pernah ada kapal besar milik English East India Company, kompeni dagang Inggris, yang merapat ke Blambangan Agustus 1766. Mereka membawa pelaut Bugis dan Madura di dalam ratusan perahu kecil. Peda- gang Inggris itu menukar opium, senjata api, dan 2 ton bubuk mesiu dengan 10 koyan beras dan kerbau.
Perdagangan yang dibuka oleh Inggris itu membuat orang- orang China, Melayu, dan Mandar tertarik da¬tang. Sebelum Inggris, pasukan dari Mataram, Bali, dan Belanda. Pada masa silam orang merujuk Muncar sebagai pelabuhan di Teluk Pangpang, bagian dari Kerajaan Blambangan. Kini Muncar berkembang sebagai salah satu pelabuhan ikan terbesar di Nusantara.
Awalnya mereka menetap sementara, tetapi akhirnya hidup turun-temurun di pesisir, menikmati melimpahnya kekayaan laut Selat Bali. Selama berabad-abad, Selat Bali memanjakan nelayan Muncar dengan ikan, terutama ikan lemuru.
Dalam kondisi normal, setiap hari ikan yang dibongkar mencapai 500 ton dan sekitar 90 persen di antaranya dipasok ke industri pengolahan ikan di sana. Hasil ikan olahan ini diekspor ke Eropa, Jepang, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Kanada.
Potensi ekonomi ini sebenarnya bisa ditingkatkan bila daya dukung dan kualitas perairan Muncar tetap dapat dipertahankan dari kemungkinan terjadinya overfishing dan pencemaran. Sayangnya, banyak perusahaan perikanan di Muncar dalam melakukan aktivitas produksinya kurang memperhatikan pengelolaan limbahnya.
Kapal Tradisional
Nelayan di Muncar masih setia memakai perahu tradi¬sional, seperti jukung dan slereg. Jukung biasanya dipakai oleh nelayan kecil. Slereg atau perahu ganda bisa berlayar jauh hingga ke Samudra Indonesia. Slereg memang perahu pengejar ikan. Sekali berangkat, slereg bisa memuat 40 awak kapal dengan kapasitas angkut ikan 25 ton. “Era 2000-an, slereg hampir selalu pe- nuh ikan saat merapat di pelabuhan,” kata Nahkoda Kapal Bintang Mutiara, Zaini (45).
Melimpahnya lemuru menarik para investor membangun pabrik pengolahan ikan di Banyuwangi. Jadilah Muncar sebagai pusat industri pengalengan ikan di Nusantara. Industri pengolahan ikan skala kecil pun turut berkembang. Pabrik tepung ikan, minyak ikan, hingga gudang pendingin dan pemindangan memadati kawasan. Data Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, produksi ikan lemuru dapat dilihat dalam data lima tahun terakhir.
Pada tahun 2010 dari produksi ikan di pelabuhan Muncar sebesar 22.042.289 kg dengan nilai produksi Rp 98.394.406.500 produksi ikan lemuru sebesar 80%, tahun 2011 produksi ikan 16.526.715 kg dengan nilai produksi Rp 84.956.896.500 produksi ikan lemuru sebesar 10%, tahun 2012 produksi ikan 11.459.005 kg nilai produksi Rp 107.374.808.500 produksi ikan lemuru 24,7%, 2013 produksi ikan 8.010.771 kg dengan nilai produksi Rp 87.546.170.500 produksi ikan lemuru 50,9% dan pada ta¬hun 2014 hingga periode Juli produksi ikan 462.770 de¬ngan nilai produksi Rp 4.278.230.000 produksi ikan lemu¬ru sebesar 90,4%. Pada tahun 2009 produksi ikan lemuru sebesar 28,446,134 kg, 2010 sebesar 17,717,764 kg, 2011 sebesar 1,651,381 kg, 2012 sebesar 2,839,271 kg dan 2013 sebesar 4,082,081 kg.
Muncar tak habis-habisnya memanjakan nelayan. Saat musim ikan reda, muncul ubur-ubur. Biasanya diekspor ke Korea. Harganya tak kalah dengan ikan, Rp 10.000 per kilogram. Mudahnya mendapatkan hasil laut di Pantai Muncar tidak lepas dari kondisi geografis Muncar. Kuatnya arus di Selat Bali membawa serta ikan dan biota laut lainnya ke Teluk Pangpang. Di sinilah nelayan menjaring ikan yang terseret arus dan terjebak ke teluk.
Masa Paceklik
Sayangnya, potensi itu tak selamanya bisa dinikmati. Pada 2009-2011 lalu menurut Zaini, perdagangan Muncar sempat lumpuh total karena paceklik berkepanjangan. Paceklik yang biasanya hanya 1-2 bulan terus mendera hingga dua tahun. Hasil tangkapan ikan merosot drastis dari 80.000 ton menjadi sekitar 20.000 ton.
Tak hanya lemuru yang langka. Tongkol dan layar pun menghilang. Industri perikanan terpukul. Pabrik pengalengan menyusut dari 15 unit menjadi 7 unit. Sebagian
bertahan dengan menggunakan lemuru impor. Untunglah masa paceklik itu mulai terlewati. Namun persoalan kerusakan lingkungan tetap membelit.
Di Muncar terdapat banyak unit usaha. Ini magnet bagi pengusaha yang mau berinvestasi, di antaranya pengeringan atau penggaraman, pindang, terasi, peda, kecap, pengasapan, pendinginan atau cool room, pembekuan atau cold storage dan tepung ikan.
Kerusakan
Tak jauh dari kapal-kapal yang bersandar, Samsul Ari- fin (37) Anak Buah Kapal (ABI) memperbaiki jala di hadapannya. Dengan teliti dia memperhatikan setiap jengkal tali yang akan dikaitkan dan diikat tahap demi tahap.
Samsul hanya satu dari ribuan ABK Muncar yang kerap mengisi kesibukan saat kapal mereka berhenti melaut. “Setiap bulan pasti ada waktu libur karena kondisi alam, waktu senggang ini biasanya kami gunakan untuk memperbaiki kapal dan jala, supaya saat waktunya me- laut tiba, peralatan kami telah siap,” kata Samsul.
Jika kondisi normal, atau saat tangkapan ikan bagus, selama tujuh hari melaut Samsul berserta timnya bisa mendapatkan 6-10 ton ikan sekali melaut. Sejak perte- ngahan 2013 hingga 2014 sekarang, hasil tangkapannya menurun hingga 50%
“Kami pernah mendapatkan ikan hanya 2-3 kuintal saja, padahal pengeluaran untuk melaut cukup banyak,” kata bapak tiga anak ini sambil sesekali menyeka keringat dikeningnya.
Jika tangkapan lagi bagus, kata Samsul jalan utama sepanjang 800 meter menuju laut, hingga jalur masuk ke dermaga hingga pasar, sesak dengan orang-orang yang mengangkut ikan, es balok, keranjang bambu, dan jeriken bahan bakar minyak. “Riuh pedagang, pembeli, dan anak buah kapal bercampur jadi satu saat tangkapan lagi bagus. Tapi belakangan ini pemandangan itu jarang ter- jadi, akibat kondisi alam yang kurang baik dan juga laut mulai kotor,” katanya.
Untuk melaut per hari kapal memerlukan solar Rp 200 ribu. Jika dikali tujuh, maka dalam sekali berangkat rata- rata membutuhkan BBM Rp 1,4 juta. “Kalau lagi ramai masing-masing awak bisa mengantongi Rp 500-800 ribu, kalau sepi hanya RplOO ribu,” ujar Zaini yang sudah 10 tahun menjadi Nahkoda.
Karena itu ia berharap memerintah turut memperhatikan nasib nelayan Muncar, jangan sampai pelabuhan ikan kebanggaan Jawa Timur ini semakin terpuruk, aki¬bat kurang perhatian pemerintah. Memang menurutnya, sejak empat tahun terakhir pembangunan di Muncar terus dilakukan, tetapi itu ha¬nya dermaga dan kawasan perdagangan saja. Sedang- kan solusi untuk mengatasi kebersihan dermaga tetap menjadi persoalan yang mengganggu. “Saya tidak tahu bagaimana mengatasinya. Saya yakin pemerintah punya solusi mengatasi masalah kebersihan perairan dan tepi laut Muncar,” tuturnya. (hjr) ###
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: majalah POTENSI, Edisi 44 / Agustus 2014, halaman 14-15