Trimarjono
Trimarjono Lahir di Ngawi, 14 April 1933, beragama Islam. Pendidikan: Tahun 1944, Menamatkan pendidikan dasar di Lumajang, Tahun 1947, Menamatkan…
Trimarjono Lahir di Ngawi, 14 April 1933, beragama Islam.
Pendidikan:
Tahun 1944, Menamatkan pendidikan dasar di Lumajang,
Tahun 1947, Menamatkan pendidikan SMP di Probolinggo,
Tahun 1950, Menamatkan pendidikan Sekolah Guru B di Madiun,
tahun 1955, Menamatkan pendidikan SMA di Madiun,
Tahun 1962, Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Gajah Mada
Karirnya diawali dengan menjadi perwira Angkatan Laut dengan pangkat letnan, sambil menjadi Sekretaris Wakil Ketua DPRGR (1963), Wakil Ketua OPRGR (1964), Kepala Kejaksaan KODAMAR VIII Semarang, Sekwilda Tk. I Jawa Timur hingga tahun 1967-1985, Wakil Gubernur Jawa Timur (1985-1990). Sekarang menjabat sebagai Ketua DPRD Tk. I Jawa Timur dengan pangkat Laksamana Pertama TNI AL (Purnawirawafi).
Selain itu ia menjadi anggota kehormatan PWI Jawa Timur, Dewan Penyantun IKIP Negeri Surabaya, Ketua Umum KAGAMA dan Ketua Umum KONI Jawa Timur, Ketua Umum Perkumpulan Epilepsi indonesia Cabang Jawa Timur Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Timur, Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan Iain-Iain.
Bersama istrinya, Harnani dikaruiai tiga orang anak. Masing-masing Astini, Andriyanto dan Avianti. Sekarang tinggal di Jl. Jemursari Selatan 1/30 A Surabaya, telepon 814130. Sehari-hari berkantor di Gedung DPRD Tingkat I Jawa Timur Jl. Indrapuri No. 1 Surabaya, telepon 338750.
Pria yang pernah menjadi guru sekolah Dasar pada tahun 1950-1953 ini memang sebagai pekerja keras. Tanggung jawab dalam mengemban tugas dan kegi- gihan serta keuletannya dalam menjalankan prinsip-prinsipnya selalu dipadukan dengan gayanyayang blakblakan. “Semua itu harus dipadukan, baru dijadikan gerakan,” tandasnya.
Konsep itu digali berdasarkan pengalaman-pengalamannya jauh sebelum menjabat sebagai Ketua DPRD. Semenjak menjalani pendidikannya sudah hidup di lingkungan para pejuang yang mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan aspriasi rakyat kecil. “Maklum saya ini orang desa, jadi harus berani mengadakan terobosoan-terobosan,” katanya. Maka tak heran kalau di usia senja ini ia masih tetap eksis dan konsisten terhadap apa yang menjadi kebijaksanaannya. Sehingga tenaga dan pikirannya masih saja dimanfaatkan di berbagai tempat.
“Sebenarnya resepnya mudah saja. Kita harus menyenangi tugas yang dipercaya- kan dan menjalankannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Kepercayaan harus disyukuri disertai rasa pengabdian,” tambah- nya.
Meski begitu ia menyadari setiap lem- baga apapun pasti ada saja permasalahan- nya. Hanya saja sejauh mana permasalahan dapat segera diredam, ini yang menjadi tanggung jawab pemimpin yang bersangkutan. Untuk itu, menurutnya pemimpin harus berani mengambil resiko. Permasalahan di saring sedemikian rupa sehingga bisa dengan mudah mengambil keputusan. Makanya seorang pemimpin harus selalu me-ngontrol anak buahnya.
Dalam hal ini Trimarjono lebih senang memakai manajemen by beras kencur. Artinya harus diubleg, di bolak-balik sehingga tidak menep dan rasanyapun tidak berubah. “Jadi apa yang saya pimpin itu selalu saya ubleg, saya gerakkan terus melalui kontak ataupun komunikasi. Dengan begitu banyak hal yang akan bisa diketahui. “Suatu contoh kalau ada kunjungan kerja komisi saya selalu ikut, tapi bukan sebagai ketua melainkan sebagai pengikut. Lha yang memimpinya ketua komisi itu sendiri,” katanya.
Malah ia juga pernah menghadap sekaligus memberikan laporan kepada Komisi E Bidang Kesejahteraan Rakyat. “Selaku ketua yayasan orang tua, kusta juga epilepsi saya menghadap komisi yang bersangkutan bersama para ahli kusta, psikologi dan pakar-pakar lainnya, hampir sehari pe- nuh. Padahal Ketua DPRD nya juga saya. Ini bukan show, tapi benar-benar saya lakukan dan saya tak merasa canggung, biasa saja,” jelasnya.
Nampaknya Jawa Timur yang semakin pesat pembangunannya ini membutuhkan figur sepertinya. Terbukti sudah enam kali pergantian gubernur namun ia masih tetap difungsikan di pos-pos penting Pemerintahan Daerah Tingkat I Jawa Timur. “Memang kepemimpinan itu harus terbuka, meskipun tidak seluruhnya. Dengan memberitahu tugas dan kewajiban anak buah, beban pimpinan akan berkurang. Sehingga kalau sudah menjadi sistem kita tinggal mengontrol,” tambahnnya.
Menurut peraih bintang kehormatan Jalasena Nararnya dan Satya Lencana Kesetiaan XXIV tahun ini, pimpinan itu ibarat barang dagangan harus dijaga bagaimana agar tetap laku. Tidak usah ikul kroyokan, memberi kesempatan pada stafyang lain, bersikap bijak, berani mengambil keputusan dan Iain-Iain. Dan dalam posisi yang terjepit, seorang pemimpin harus memiliki tempat bertahan. “Seperti cerita kucing yang dikejar macan. Pada keadaan ke- pepet kucing memanjat pohon. Lha si- macan nggak bisa mengejar, Cuma melihat dari bawah. Ini ilmu perlambang. Menafsirkannya terserah,” lanjutnya.
Yang tak kalah menariknya dari pria asli Jawa Timur ini adalah konsepnya dalam menangkal pendapat sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa wakil rakyat (DPR) biasanya hanya duduk, diam dan dapat duit.” Itu masih sayatambah dengan dengkur dan dableg,” tandasnya.
Selanjutnya dijelaskan, sebagai waikil rakyat, mereka seharusnya memumpuk diri agar bisa memenuhi konsep ABCD (Aspiratif, Berani bicara, Control dan Demokratis). “Bagaimanapun juga sekarang ini masyarakat cenderung lebih kritis menilai tugas dan tanggung jawab para wakil rakyat,” ungkapnya. (AS-8)