Mohammad Noer
Mohammad Noer lahir di Kampung Beler, Desa Rong Tengah Kabupatern Sampang, 13 Januari 1918, beragama Islam. Pendidikan: Tahun 1932, Lulus…
Mohammad Noer lahir di Kampung Beler, Desa Rong Tengah Kabupatern Sampang, 13 Januari 1918, beragama Islam.
Pendidikan:
Tahun 1932, Lulus HIS di Bangkalan,
Tahun 1936 MULO di Blitar,
Tahun 1939 MOSVIA di Magelang.
Mengawali karir di kantor Kabupaten Sumenep (1939-1940), di Kantor Kawedanan Ambunten (1940- 1941) dan jadi Mantri Kabupaten Bangkalan (1941-1943).
Tahun 1950 sebagai Penjabat Sementara Patih Pamekasan, Bupati Bangkalan (1960-1965), Pembantu Guber- nur (Residen) Jatim Wilayah Madura (1965-1967), Penjabat Sementara Gubernur Jatim (tahun 1967), Penjabat Gubernur Jatim (1967-1971) dan Gubernur Jatim (1971-1976).
Tahun 1973-1978 dan 1985-1992 terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, menjadi Duta Besar di Prancis (1976-1980), anggota Dewan Pertimbangan Agung (1981-1983,1983-1988), Rektor Universitas Bangkalan (1985 1988) dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989). Saat ini diantaranya menjabat sebagai Ketua Konsor- sium Pembangunan Jembatan Surabaya – Madura, Ketua Yayasan Jantung Sehat Jatim dan Ketua Yayasan Ajidarma.
Banyak memperoleh penghargaan, diantaranya Bintang Mahaputera Utama III, Bintang GrandOfUcier d’Ordre du Merite dari pemerintah Prancis, Lencana Manggala Karya Kencana BKKBN, serta Bintang Legiun Veteran.
Menikah dengan Mas Ayu Siti Rachma dan dikaruniai 8 putra. Kini tinggal di Jl. Ir. Anwari 11, Surabaya, telepon 65458.
Jawa Timur agaknya sudah tidak bis dipisahkan dengan namanya. Moharn mad Noer begitu dikenal oleh warga Jatim karena berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan yang dilakukannya. Meski tak lagi, menjabat sebagai Gubernur Jatim, namun masyarakat masih menganggapnya sebagai salah seorang sesepuh yang patut untuk dimintai pendapat.
Tak heran kalau rumahnya tak pernah sepi dari tamu. Karena jadwal kegiatannya cukup padat, ia harus mengatur waktu kun jungan tamunya dengan cermat. “Saya punya buku agenda yang mengatur jadwal kegiatan sehari-hari. Selain itu juga ada papan tulis yang berisi kegiatan saya. Kita memang harus berdisiplin soal waktu,” ungkapnya, sembari memperlihatkan buku agendanya. Dalam buku itu, bahkan aktivitas yang akan dilakukan sebulan kemudian sudah tercatat rapi.
Ia berupaya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, agama, dan keluarga. Maka dalam mewujudkan tugas, ia selalu berusaha meningkatkan taraf hidup ma¬syarakat, khususnya masyarakat kecil. Sewaktu menjabat sebagai Gubernur Jatim ia telah bertekad agawe wong cilik gumuyu membuat rakyat kecil tertawa.
Ada beberapa peristiwa yang sangat berkesan di hatinya, sewaktu masih men¬jabat sebagai orang pertama di Jatim. Peristiwa pertama adalah saat mefighadapi kasus carok yang berkepanjangan antara sebagian warga Bangkalan dan Sampang Karena kedua kelompok masyarakat itu saling dendam kesumat untuk melakukan ca¬rok, maka peristiwanya jadi berlarut-larut dan sukar diatasi, sehingga meresahkan mayarakat lainnya.
Bagaimana tindakannya untuk menyelesaikan kasus gawat itu? “Sayatahu bahwa orang Madura sangat menghormati Sunan Ampel. Maka saya mengumpulkan kedua pihak yang bertikai di halaman Mesjid Sunan Ampel untuk membaca ikrar dan sumpah bahwa mereka tidak akan melakukan carok lagi. Dan sesudah itu syukurlah carok tak terjadi lagi,” ungkapnya.
Cara-cara religius memang dipakainya untuk menyelesaikan masalah. Seperti se- waktu terjadi musibah penerbangan di Srilanka, 4 Desember 1974 yang menewaskan 184 jemaah haji dari berbagi daerah di Jatim. Masalahnya adalah bagaimana mengirimkan kembali jenazah itu kepada keluarganya, karena kesulitan identifikasi jenazah. Kembali halaman Mesjid Sunan Ampel menjadi jawabannya. Dengan dimakamkan di tempat itu, segenap keluarga yang ditinggalkan akhirnya mengikhlaskan jenazah parasyuhada itu dikuburkan di satu tempat.
Peristiwa lain yang berkesan adalah sewaktu menghadapi kasus jaring ikan di Muncar tahun 1974. Saat itu bupati setempat merasakan taraf hidup masyarakatnya, yang sebagian besar nelayan, belum begitu menggembirakan. Hasil mereka menangkap ikan belum seperti yang diharapkan.
Maka bupati lalu berinisialif membuat jaring baru yang ditarik dua kapal. Dan hasilnya sangat menggembirakan, karena berhasil menangkap bertonton ikan, padahal dengan jaring biasa yang hanya menggunakan satu kapal, cuma diperoleh sekitar 25 kg.
Kesulitan timbul, ketika nelayan di daerah lain merasa cara penjaringan ikan seperti itu akan cepat menghabiskan ikan dilautan. Lalu terjadi insiden pembakaran perahu-perahu nelayan Muncar. la kemudian mengumpulkan para demonstran yang ti¬dak menyetujui pemakaian jaring baru itu.
“Saya katakan pada mereka, apakah ka¬lian ingin maju apa tidak? Kalau ingin hidup lebih baik lagi, maka sistem yang baru itu harus diterapkan,” tegasnya. Tampaknya para nelayan bersedia mengikuti sarannya. Namun timbul problem berikutnya, bagai¬mana mengadakan kapal yang lebih banyak buat mereka, karena jaring ini ditarik dua kapal.
Masalah terpecahkan setelah ia menghadap PresidenSoeharto. Hasilnya, Pemda Jatim mendapat kredit untuk pengadaan kapal. Ini hanya beberapa contoh keberhasilannya dalam membangun Jatim, yang ditandai dengan perolehan anugerah Parasamya Purnakarya Nugraha.
Sebagai atasan ia berusaha untuk memberi contoh pada bawahannya. Kepada pa¬ra stafnya ia selalu menekankan rasa cinta tanah air dan menanamkan sikap agar bekerja tidak hanya atas dasar perintah. “Sewaktu saya menjadi Bupati Bangkalan, saat itu tak tersedia dana yang cukup untuk melakukan pembangunan. Namun dengan swadaya masyarakat akhirnya kami bisa membangun jalan-jalan. Sekolah-sekolah di desa terpencil kami bangun. Dengan adanya guru di desa tersebut diharapkan bisa memacu perkembangan desa,” ung-kapnya.
Saat menjabat Wedana Arosbaya, Ma¬dura, tahun 1947, ia merasakan pahit getirnya perjuangan melawan Belanda. la bergabung dengan pasukan gerilya, sehingga harus berpisah dengan keluarganya. Saat itu istrinya sedang hamil tua, mengandung anaknya yang ketiga. Bersama kedua anaknya yang masih kecil-kecil, sang istri terpaksa mengungsi ke luar kota Arosbaya, menuju Desa Karang- duwak. Di desa ini anak ketiganya dilahir-kan.
Serangan Belanda itu terjadi setelah Belanda melanggar persetujuan Linggarjati. Ketika itu Madura akan dikuasai untuk dijadikan negara boneka Namun dengan tegas ia menolak ajakan Belanda mendirikan Negara Madura. Karena itu tawaran Belanda untuk mengakhiri permusuhan tidak digubris olehnya. Waktu itu kelompok gerilya mulai terdesak, sehingga akhirnya diputuskan untuk hijrah ke Jawa dan membentuk pemerintahan Madura di pengasingan.
Untuk meninggalkan Madura waktu itu tidak mudah, karena laut di sekitar Madura sudah dikuasai Belanda. Namun akhirnya ditemukan sebuah tempat penyebrangan paling baik untuk menghindari kemungkinan disergap patroli Belanda, yaitu di muara sungai Desa Klampis. Dari desa inilah, sekitar 20 dari 22 perahu peng’ungsi dapat mendarat dengan selamat di suatu pantai daerah Tuban. “Demi membela nusa dan bangsa, saat itu kami harus rela berpisah dengan keluarga,” ungkapnya.
Sewaktu menjadi Duta Besar Prancis, ia selalu memacu mahasiswa Indonesia yang sedang sekolah di sana, agar bisa berprestasi. Dan menurutnya kemampuan ma¬hasiswa Indonesia tidak kalah dengan mahasiswa dari negeri lainnya. Tak jarang ada mahasiswa yang lulus cumlaude
“Dalam soal ilmu, kita tidak kalah dengan ilmuwan Prancis. Pernah pada suatu seminar, ilmuwan Prancis terpukau oleh presentasi yang dibawakan delegasi kita, meski menggunakan Bahasa Indonesia. Soal bahasa memang tidak ada masalah, karena kami menyediakan penerjemah,” jelasnya.
Menyinggung soal potensi utama Jatim, menurutnya terletak pada sumber daya manusianya. Jangan sampai kepadatan penduduk justru menjadi beban. “Lihat saja Je-pang, meski sumber daya alamnya terbatas, namun karena manusianya urv ggul, bi-sajadi bangsa yang maju. Untuk itu kita harus menanamkan patriotisme dan nasi-onalisme kepada para pemuda kita. tegasnya.
Industrialisasi di Madura menurutnya sudah saatnyadijalankan untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan. Bayangkan saja, saat ini hanya 12% siswa SD yang bisa meneruskan ke SMP, sebelum ada Wajib Belajar 9 tahun. Dan 64% wilayah Madura mendapat Inpres Desa Tertinggal “Dengan adanya industrialisasi, rakyat Madura bisa meningkatkan kesejahteraannya Lagipula mereka juga sudah biasa kerja di pabrik-pabrik. Nanti direncanakan Madura akan jadi tempat industri hitech, seperti elektronika. Tentu kita harus mencegah agar hal-hal yang maksiat tidak terjadi,” tegasnya.
Dalam mendidik ke delapan anaknya, ia mengadakan pendekatan secara kekeluar gaan. Diusahakannya untuk selalu bisa makan malam bersama keluarga. Tak heran kalau meja makan keluarganya sampai berisi 14 kursi. Dalam kesempatan itulah ia berkomunikasi dengan anak-anaknya, mem berikan petuah dan nasehat.
“Saya tekankan pada anak-anak, agar jangan tergantung pada siapapun, kecuali Allah SWT. Mereka jangan tergantung kepa¬da saya, karena suatu saat pasti saya akan pensiun sebagai pejabat. Saya mendiiplinkan mereka agar bisa menuntut ilmu dengan sebaik- baiknya. Sehingga mereka mau belajar dengan kesadarannya sendiri. tanpa harus diperintah,” paparnya.
Untuk menjaga kesehatan, dulu setiap pagi ia rajin jogging. Namun oleh dokter ia tak diperbolehkan olahragayang bertumpu pada kaki. Akhirnya ia berganti dengan olah raga renang. Hampir setiap hari ia berenang di salah satu hotel berbintang di Surabaya. Kalau sedang berada di Jakarta, ia juga menyempatkan diri untuk berenang.
“Kalau pikiran ruwet harus segera dihilangkan dengan menghibur diri. Misalnya bermain dengan cucu, melihat ayam bekisar dan kate. Sesudah itu biasanya pikiran tenang kembali,” ungkapnya. (AS-3)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: editor Setyo Yuwono Sudikan: Apa & Siapa Orang Jawa Timur Edisi 1995-1996., Semarang: Citra Almamater 1996. hlm. 86-89 (CB-D13/1996-…)