Kampung-Kampung di Surabaya pada Masa Kolonial
Letak Surabaya yang stategis sebagai kota dagang dengan daerah pedalamannya kaya akan hasil bumi sudah diketahui sejak dahulu. Arti kota…
Letak Surabaya yang stategis sebagai kota dagang dengan daerah pedalamannya kaya akan hasil bumi sudah diketahui sejak dahulu. Arti kota Surabaya bagi perdagangan menjadi bertambah penting dengan meningkatnya ekspoitasi perkebunan pembukaan pabrik-pabrik gula di daerah pedalaman. Jelaslah dengan semakin meningkatnya perdagangan di Surabaya, proyeksi kota ini sebagai kota dagang semakin cerah. Keadaan ini ditunjang dengan diberlakukannya Undang-undang Gula dan Undang- undang Agraria pada tahun 1870. Kedua undang-undang ini memberikan kesempatan kepada pihak swasta (terutama pengusaha dari Belanda) untuk menanamkan modalnya di daerah Hindia Belanda. Undang-undang ini juga memberi kesempatan kepada pengusaha swasta untuk menyewa tanah-tanah di daerah pedalaman yang akan digunakan untuk usaha-usaha perkebunan dengan bebas. Maka di Surabaya timbullah kantor-kantor dagang serta bank-bank untuk mendukung kegiatan perkebunan tersebut. Bank-bank yang membuka cabang di Surabaya diantaranya adalah: Ned Handel Mij , De Javasche Bank, Ned Indische Escompto Mij, Ned Ind. Handelsbank, Rotterdamsche Bank, de Internationale Credit en handels Vereniging Roterdam, dan Firma Fraser Eaton & Co ber.1931 dalam Handinoto. 1996:70-71).
Dengan tumbuhnya cabang-cabang perusahaan serta kantor-kantor dagang di Surabaya tersebut, maka pertumbuhan penduduk juga menjadi pesat sekali, bahkan sulit dikendalikan. Untuk mengatasi hal ini maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pernah :ngeluarkan suatu undang-undang yang dikenal dengan nama Wijkenstelsel (Undang- undang Wilayah) yang mengatur pengelompokan tempat tinggal bangsa atau etnis tertentu. Dengan diberlakukannya undang-undang ini maka di Surabaya muncul pemukiman-pemukiman sesuai dengan daerah asal penghuninya, seperti: Kampung Cina (Chinese Kamp) Kampung Arab (Arabische Kamp), Kampung Melayu, dan sebaganya. Pemukiman orang-orang asing ini kebanyakan berada di sekitar jalan-jalan utama, sedang penduduk asli Surabaya berada di kampung-kampung yang berlokasi masuk dari jalan- jalan besar.
Meskipun wijkenstelsel ini sudah tidak berlaku lagi setelah tahun 1900-an, tetapi bekas-bekas pembagian wilayah ini masih terlihat jelas pada waktu-waktu kemudian, sebelah barat Jembatan Merah terdapat tempat kediaman orang-orang Eropa, sedang disebelah timur dari Jembatan Merah terdapat daerah pemukiman orang-orang Cina , Melayu, dan Arab.
Pertumbuhan penduduk Surabaya yang pesat pada awal abad ke-20 mulai nenimbulkan masalah di dalam kota. Meskipun ada larangan, banyak orang Eropa yang nengambil tanah luas dan membangun rumah-rumah yang besar, kantor-kantor, dan toko-toko. Mereka berlomba-lomba membeli tanah baik di tengah kota , dipinggiran atau didekat persimpangan jalan. Dengan demikian pola pembangunan yang seperti pita memanjang merupakan ciri yang ada di kota Surabaya sejak masa itu. Jarak pusat kota (daerah Jembatan Merah pada waktu itu) dengan daerah-daerah pinggiran (sekitar daerah Kayon dalam tahun 1905) menjadi amat jauh. Bentuk yang memanjang ini bertalian erat dengan hadirnya kendaraan-kendaraan bermotor yang pada waktu itu mulai banyak perasi. Orang-orang asing ini bertempat tinggal di tepi jalan-jalan utama dengan bangunan tempat tinggal yang megah bergaya barat dan asing lainnya. Sementara itu duduk asli Surabaya tinggal di dalam kampung-kampung yang masuk ke dalam dari jalan-jalan besar Rumah-rumah penduduk asli ini tertutup dengan bangunan-bangunan milik orang asing sehingga tidak kelihatan dan jalan-jalan utama tersebut dan biasanya dihubungkan dengan jalan kecil atau gang yang amat sempit.
Kondisi kampung saat itu juga memprihatinkan. Sampah dibuang kemana-mana, saluran air tidak tersedia, tak ada udara bersih dan sinar matahari yang masuk rumah, Akibatnya meledaklah penyakit menular. Gambaran seperti ini bukan saja berlaku untuk masa peralihan dari abad ke-19 ke abad 20, tetapi gambaran tersebut merupakan gambaran yang khas bagi seluruh periode zaman kolonial. Baru sesudah tahun 1920-an pemerintah Hindia Belanda dengan biaya ala kadarnya mencoba untuk memperbaiki keadaan kampung-kampung di Surabaya (Handinoto. 1996:49).
Saat kota Surabaya berkembang makin intensif, pola segregatif (pemisahan berdasarkan etnik) semakin melebar, mau tidak mau harus menginvasi dan mencaplok kampung-kampung. Prosesnya, bangsa Belanda dan etnis lainnya menguasai lahan-lahan di tepi jalur transportasi seperti jalan raya, sungai, dan jalan kereta api. Di lahan-lahan itu dibangun bangunan bertembok berupa pertokoan dan permukiman. Jalan-jalan diaspal halus dan sangat berbeda dengan jalan masuk kampung yang becek saat musim hujan.
Semua itu menjadikan batas fisik antar kampung menjadi semakin menguat. Batas fisik seperti ini memberi dampak psikologis bagi warganya. Selain itu juga memberi dampak psikologis antar komunitas kampung dengan budaya urban yang modernis di tepian jalan beraspal. Orang kampung sendiri merasa rikuh dan sukar menyesuaikan diri dengan budaya perkotaan modern. Malah Belanda menganggap kampung sebagai “desa yang salah letak”. Pandangan sebelah mata Belanda ini mewariskan istilah-istilah: budaya kampung, arek kampung, kampungan, dan semacamnya.
Selain pola segregatifnya yang meluas dalam situasi perkembangan kota yang pesat ini, secara bertahap memunculkan zone pusat bisnis yang semakin melebar. Pelebaran ini memakan perkampungan yang padat penduduknya, sehingga budaya penggusuran di zaman Belanda sudah ada. Salah satu contohnya adalah di tahun 1929 ketika Belanda berusaha menempatkan gedungnya di Kampung Keputran. Karena warga merasa dirugikan maka mereka ketika itu berusaha menolaknya (Surabaya Post, 30 Mei 1992).