GLIPANG, Kabupaten Probolinggo
SEJARAH KESENIAN Kesenian Glipang merupakan kesenian tradisional kerakyatan yang tumbuh dan berkembang di daerah Kabupaten Probolinggo, tepatnya di Desa Pendil….
SEJARAH KESENIAN
Kesenian Glipang merupakan kesenian tradisional kerakyatan yang tumbuh dan berkembang di daerah Kabupaten Probolinggo, tepatnya di Desa Pendil. Secara administratif, Desa Pendil termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Banyuanyar.
Ketinggian wilayah Banyuanyar mencapai 89 meter di atas permukaan air laut. Suhu udaranya berkisar 27°C sampai dengan 32° C. Dengan demikian, Banyuanyar termasuk dataran rendah.
Jarak antara pusat pemerintahan Banyuanyar dengan desa yang paling jauh mencapai 8 km. Sedangkan jarak antara Banyuanyar dengan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur (Surabaya) sekitar 113 km. Wilayah Banyuanyar terdiri dari tanah sawah (+ 1.784 hektar) dan ladang kering (+ 2.476 hektar). Jumlah desa yang ada di wilayah Kecamatan Banyuanyar sebanyak 14 desa, termasuk Desa Pendil.
Desa Pendil terletak di sebelah timur pusat pemerintahan Kabupaten Probolinggo. Luas wilayah Desa Pendil sekitar 169.170 hektar. Ketinggian daerahnya mencapai 14 meter di atas permukaan air laut. Jarak Desa Pendil dengan pusat pemerintahan Kecamatan Banyuanyar sekitar 7 km. Sedangkan jarak Banyuanyar dengan Probolinggo sekitar 13 km.
Batas-batas wilayah Desa Pendil, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pikatan. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Desa Alassapi. Sebelah Selatan berbatasan
dengan Desa Klenang Lor. Sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tarokan. Desa-desa yang berbatasan dengan Desa Pendil tersebut semuanya termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Banyuanyar.
Sifat kegotongroyongan pada masyarakat Desa Pendil masih tampak dalam kehidupan sehari-hari. Hidup rukun dan gotong royong merupakan sifat masyarakat pedesaan yang masih melekat di Desa Pendil. Sebagian besar penduduk Desa Pendil bermatapencahariaan sebagai petani dan pedagang.
Kecamatan Banyuanyar memiliki beberapa jenis kesenian tradisional yang hampir punah keberadaannya. Kesenian Glipang merupakan salah satu kesenian milik masyarakat Desa Pendil. Dan sekarang kesenian Glipang sudah diakui menjadi ciri khas kesenian Kabupaten Probolinggo. Kesenian Glipang ini memiliki corak dan nilai estetis tersendiri sebagai pancaran kebudayaan masyarakat tersendiri.
Kesenian Glipang ini berlatar belakang pada kebudayaan Madura yang beragama Islam. Pada waktu itu, sekitartahun 1912, banyak orang Madura melakukan migrasi lokal ke Pulau Jawa. Tepatnya di sepanjang pantai Pulau Jawa bagian timur. Alasan migrasi yang mereka lakukan itu adalah untuk mencari pekerjaan. Mereka ingin memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pak Saritruno termasuk orang yang melakukan migrasi tersebut, la kemudian menetap di Desa Pendil. Di Desa Pendil Pak Saritruno telah mendapat pekerjaan. Pekerjaan Pak Saritruno adalah sebagai mandor tebang tebu di Pabrik Gula Gending. Pada waktu itu Pabrik Gula Gending masih dikuasai Belanda. Jadi, Pak Saritruno bekerja di bawah kekuasaan Belanda. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai mandor tebang tebu, Pak Saritruno sering terjadi konflik. Hal ini disebabkan oleh tingkah laku para sinder Belanda. Mereka dianggap bertindak sewenang-wenang terhadap penduduk pribumi.
Diperlakukan seperti itu, Pak Saritruno merasa tidak puas. Rasa kebangsaannya tergugah, la ingin melakukan perlawanan, la mengumpulkan orang-orang pribumi. Tujuannya untuk membentuk suatu perkumpulan. Sedangkan tujuan lainnya adalah untuk menyusun sebuah kekuatan untuk melawan penjajah Belanda. Mereka sangat jengkel terhadap tindakan penjajah Belanda. Tindakannya selalu sewenang- wenang terhadap bangsa pribumi. Kegiatan yang dikembangkan dalam perkumpulan ini adalah latihan ilmu bela diri pencak silat.
Pak Saritruno mengajarkan berbagai jurus silat. Awalnya, kegiatan latihan ini dilakukan secara sembunyi- sembunyi. Karena bila latihan bela diri itu dilakukan secara terang-terangan akan mengundang kecurigaan Belanda.
Untuk menghilangkan kecurigaannya, Pak Saritruno menciptakan musik. Musik yang diciptakannya itu digunakan untuk mengiringi gerak-gerak pencak silat. Sehingga kegiatannya seakan tampak seperti kegiatan seni.
Dari latar belakang inilah, maka terciptalah musik ciptaan Pak Saritruno. Musik yang diciptakan Pak Saritruno itu dinamakan musik Gholiban. Kata gholiban berasal dari bahasa Arab, artinya kebiasaan.
PakSaritruno menamakannya demikian, karena beliau tidak senang dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Belanda. Akhirnya perkumpulan pencak silat itu lebih dikenal sebagai kesenian gholiban. Kata gholiban berubah
menjadi glipang. Hal ini dikarenakan pengaruh dari dialek orang Jawa. Karena penduduk asli Desa Pendil adalah Jawa. Maka, kata gholiban diucapkan gliban. Akhirnya, gliban menjadi glipang.
Dalam memilih alat musik Glipang, Pak Saritruno mengalami kesulitan. Penduduk Desa Pendil tidak mau menggunakan alat musik gamelan. Mereka menganggap alat musik gamelan merupakan alat musik yang kurang cocok dengan lingkungannya.
Akhirnya, Pak Saritruno memilih alat musik lain. Alat- alat musik tersebut adalah jidor, hadrah atau terbang, ketipung, dan terompet.
Bentuk kesenian Glipang, pada awalnya berbentuk jurus-jurus silat utuh. Dalam perkembangan selanjutnya dibuat sebuah tarian. Tarian ini dinamakan tari Kiprah Glipang. Tari Kiprah Glipang menggambarkan seorang pemuda pribumi yang gagah perkasa. Mereka melakukan uji ketangkasan bela diri. Pada tahun 1920-an, kesenian Glipang terkenal dengan tari Kiprah Glipangnya. Kesenian Glipang semakin lama semakin berkembang. Berkat kreativitas Pak Saritruno, terciptalah beberapa tarian, yaitu tari Baris Glipang, tari Papakan, dan tari Teri.
Oleh masyarakat pada waktu itu, kesenian Glipang banyak dimanfaatkan sebagai hiburan. Selain itu, kesenian Glipang dijadikan sebagai media dakwah tentang ajaran- ajaran agama Islam. Lagu-lagu yang dilantunkannya pun berisi tentang rukun Islam, rukun Iman, kebesaran Tuhan, dan tentang ajaran kebajikan lainnya. Ada hal yang menarik dalam pertunjukkan kesenian Glipang ini. Yaitu adanya tari Papakan dan tari Teri. Kedua
tarian ini merupakan tarian pasangan putra dan putri. Tetapi penari putri dimainkan oleh orang laki-laki. Mereka memakai tata rias dan busana putri.
Pada tahun 1935, Pak Saritruno meninggal dunia, karena sakit. Kedudukannya digantikan oleh Kartodirjo, menantunya. Mulai tahun 1950, kesenian Glipang di bawah kepemimpinan Pak Kartodirjo. Dengan mendapat dukungan dari Bu Asiah, istrinya atau putri dari Pak Saritruno, kesenian Glipang terus berkembang pesat. Bentuk tampilannya banyak dipengaruhi oleh kesenian ludruk. Agar seni pertunjukkan ini tetap jaya dan digemari masyarakat, akhirnya Pak Kartodirjo beserta para pengurusnya memberi variasi pertunjukkan. Pada awalnya hanya tari-tarian saja, lalu penyajiannya ditambah lawakan dan drama.
Cerita yang digunakan dalam drama tersebut berkisar tentang Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam. Selain itu, ceritanya kadang-kadang juga disesuaikan dengan perkembangan masyarakat saat itu. Misalnya menceritakan tentang pencurian dan perampokan. Judul ceritanya adalah “Banteng Solo”. Lakon ini menceritakan tentang pencurian dan perampokan. Pesan pada akhircerita, masyarakat diharapkan agar berhati-hati dan tenang dalam menghadapi situasi seperti ini. Kesenian Glipang benar-benar sangat digemari masyarakat. Baik masyarakat Pendil maupun di luar Desa Pendil. Bahkan terkenal sampai di luar wilayah kabupaten, seperti Pasuruan, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.
Sekitar tahun 1964, kesenian Glipang pentas di Banyuwangi. Tetapi naas bagi rombongan kesenian Glipang. Sepulang dari pentas itu kendaraan yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Kendaraan yang ditumpanginya jatuh terperosok ke jurang. Akibat dari kecelakaan itu, Pak Kartodirjo meninggal dunia.
Sejak saat itulah perkumpulan kesenian Glipang bubar. Bahkan hampir mengalami kepunahan. Baru setelah pada tahun 1970-an, kesenian Glipang mulai bangkit kembali.
Bu Asiah dan Soeparmo, putranya, berupaya untuk mendirikan kembali. Berkat kerja keras Bu Asiah dan Soeparmo, kesenian Glipang mulai bangkit kembali. Mereka mulai mengadakan pementasan-pementasan. Soeparmo, selaku pimpinan perkumpulan seni Glipang, berusaha untuk menggali seni Glipang yang pernah jaya pada masa itu.
Saat itu kesenian Glipang belum mendapat perhatian dari pemerintah. Berkat kerja keras Soeparmo dan kawan- kawannya, mereka berhasil mengumpulkan orang-orang yang mempunyai jiwa seni. Mereka diajak untuk membentuk suatu wadah organisasi kesenian. Akhirnya berdirilah sebuah sanggar seni yang diberi nama Sanggar Andhika Jaya.
Kesenian Glipang semakin lama semakin berkembang. Tepatnya tanggal 5 Februari 1985, Sanggar Andhika Jaya secara resmi telah terdaftar di Kanwil Depdikbud Provinsi Jawa Timur, dengan nomor induk kesenian: 031/111.0416/104.28/1993.
Kini kesenian Glipang telah diakui sebagai seni asli daerah Probolinggo. Kesenian ini memiliki tarian khas, yaitu tari Kiprah Glipang. Karena tarian ini memiliki sejarah perjuangan.
Mulai tahun 1985, kesenian Glipang lebih leluasa untuk mengembangkan potensinya. Pementasan sering dilakukan di mana-mana, baik atas permintaan masyarakat maupun pemerintah. Maraknya perkembangan musik dangdut, karaoke, televisi, film, dan video, kesenian Glipang hampir tersisih. Masyarakat lebih banyak memilih hiburan musik dangdut, karaoke, film, dan video. .Untuk mengatasi persaingan ini, maka seni pertunjukkannya diselingi musik dangdut dan karaoke. Dengan demikian kesenian Glipang tidak lagi ditinggalkan masyarakat.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: “GLIPANG” Seni Tradisional Probolinggo/ Suyitno; Irvi Jaya, 2011. hlm. 1-7, (CB-D13/2011-694)