M.T. Harjono
M.T. Harjono dilahirkan tanggal 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. ayahnya bernama Mas Harsono dan ibunya bernama Alimah. Keluarga…
M.T. Harjono dilahirkan tanggal 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. ayahnya bernama Mas Harsono dan ibunya bernama Alimah. Keluarga Mas Harsono dikenal sebagai keluarga yang taat beragama dan cukup terpandang dikalangan masyarakat.
Horjono memperoleh pendidikan pertama di ELS (Europese Lagere School) di Jakarta. Murid-murid yang diterima di sekolah yang setingkat Sekolah Dasar ini terbatas pada anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia yang orang tuanya mempunyai kedudukan penting dalam pemerintahan atau dalam masyarakat Pada masa itu tidak semua anak Indonesia memasuki sekolah yang disukainy a.
Setelah menamatkan ELS, Harjono melanjutkan pelajarannya ke HBS (Hoogere Burger School) setingkat Sekolah Menengah Atas. Pendidikan umum tertinggi yang diperoleh Harjono ialah di Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran) dalam zaman Jepang. Tetapi sekolah ini tidak sampai diselesaikannya. la hanya belajar di Ika Daigaku selama tiga tahun.
Rupanya minat Harjono beralih kebidang lain, yakni bidang militer. Dalam tahun 1943 Pemerintah Pendudukan Jepang membuka kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk dilatih menjadi tentara Peta (Pembela Tanah Air). Sebenarnya Jepang bermaksud untuk memakai pemuda-pemuda ini membantu Jepang dalam perang menghadapi Sekutu. Tetapi golongan nasionalis Indonesia berhasil menanamkan rasa kebangsaan di kalangan anggota tentara Peta, sehingga mereka menyiapkan diri untuk menjadi tentara di negara sendiri. Dalam kenyataannya, tentara Peta inilah yang kelak menjadi inti dari Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI) di samping kesatuan-kesatuan militer lainnya yang dibentuk oleh Jepang maupun Belanda. Seperti halnya dengan pemuda lainnya, M.T. Harjono pun memasuki Peta.
Sejak saat itulah kehidupan Harjono mulai terkait dengan kehidupan militer sampai akhir hayatnya. Sesudah kemerdekaan diproklamasikan, Harjono bersama teman-temannya turut mengambil bagian dalam kegiatan merebut senjata dari tangan Jepang. Ketika pemerintah mengumumkan pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) Harjono segera memasukinya. BKR inilah yang kemudian berganti nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), lalu TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan akhirnya ABRI.
Sejak bersekolah di- HBS, Harjono sudah menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Kemahiran berbahasa asing itu menyebabkan ia diberi kepercayaan untuk memangku jabatan sebagai Kepala Kantor Penghubung terhitung mulai 1 September 1945. Tugasnya yang utama ialah mengadakan kontak dengan perwira-perwira Inggris yang datang ke Indonesia atas nama Sekutu untuk melucuti pasukan Jepang dan memulangkan mereka ke tanah airnya. Jabatan sebagai Kepala Kantor Penghubung tidak lama dipangkunya, sebab dalam bulan Desember 1945 ia dipindahkan ke Sekretariat Keamanan.
Strategi diplomasi yang dijalankan pemerintah pada masa-masa awal kemerdekaan, menyebabkan seringnya diadakan perundingan dengan pihak Inggris dan Belanda. Pemerintah berusaha memperoleh pengakuan Internasional terhadap kedaulatan Indonesia melalui jalan diplomasi. Dalam perundingan-perundingan seperti itu diperlukan orang-orang yang mahir berbahasa asing. Karena itulah tenaga Harjono terpakai. Dalam bulan Maret 1946 ia ditunjuk sebagai sekretaris delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda di Jakarta.
Selama dalam perundingan itu Harjono memperlihatkan kemampuannya sebagai tenaga administrasi yang baik. Pemerintah kemudian mempercayainya untuk memegang jabatan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara di Yogyakarta. Jabatan itu mulai dipangkunya bulan Juli 1946, tetapi empat bulan kemudian ia diangkat sebagai wakil tetap Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Tugas itu bukanlah tugas yang ringan. Walaupun resminya sudah tercapai gencatan senjata antara RI dan Belanda, namun pelanggaran-pelanggaran sering diadakan oleh kedua pihak. Mau tak mau Harjono terlibat dalam mencari penyelesaiannya.
Karir Harjono sebagai perwira staf terus meningkat. Akhir tahun 1947 diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Pekerjaan Istimewa pada Markas Umum Angkatan Darat. Dalam bulan Desember 1948, menjelang terjadinya Agresi Militer II Belanda, ia diserahi jabatan sebagai Kepala Bagian Pendidikan Staf Angkatan Perang merangkap sebagai juru bicara Staf Angkatan Perang.
Agresi Militer II Belanda diakhiri dengan KMB (Konferensi Meja Bundar) dalam konferensi ini Angkatan Perang mengirimkan delegasi yang akan membicarakan kedudukan Angkatan Perang RI sesudah Belanda mengakui kedaulatan RI. Delegasi ini dipimpin oleh Kolonel T.B. Simatupang, sedangkan Mayor M.T. Harjono diangkat sebagai sekertaris.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Hubungan antara kedua negara dipulihkan dengan cara membuka perwakilan masing-masing. RI menempatkan atase militer di Negeri Belanda, begitu pula sebaliknya. Bulan Januari 1950 M.T. Harjono diangkat sebagai atase militer pertama RI untuk Negeri Belanda. Tugas ini di pangkunya selama empat tahun dan sementara itu, pada bulan Agustus 1951, pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel.
Kembali ke tanah air dalam tahun 1954, Letnan Kolonel M.T. Harjono diangkat sebagai perwira diperbantukan pada KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Setelah selama kurang lebih satu tahun ditempatkan di Inspektorat Infanteri, mulai bulan Juli 1956 kembali M.T. Harjono diperbantukan pada KSAD. Itupun tidak lama, sebab bulan Oktober 1956 ia diperbantukan pada Deputy III KSAD.
Dalam tahun 1957 Harjono memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada kelas senior SSKAD (Sekolah Staf Dan Komando Angkatan Darat) di Bandung. Selesai dari pendidikan ini, untuk beberapa waktu lamanya ia dikembalikan ke Deputy II KSAD. Namun mulai Desember 1958 ia diserahi tugas sebagai wakil Direktur CIAD (Corps Intendans Angkatan Darat) dan sekaligus merangkap sebagai Pejabat Sementara Direktur CIAD. Jabatan terakhir ini kemudian diserahkanya kepada Kolonel Ashari D. yang telah diangkat sebagai Direktur CIAD.
Kenaikan pangkat menjadi Kolonel diterima Harjono tanggal 11 Januari 1959 dan dua puluh bulan kemudian pangkatnya naik lagi menjadi Brigadir Jenderal. Dengan pangkat Brigadir Jenderal ia diserahi jabatan sebagai Inspektur Jenderal Angkatan Darat. Kenaikan pangkat terakhir sebagai Mayor Jenderal diterimanya dalam bulan Juli 1964, sedangkan jabatan yang di pangkunya ialah Deputy III Men/Pangad (Menteri/Panglima Angkatan Darat). Dalam pangkat dan jabatan itulah ia meninggal dunia akibat penghianatan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Dalam tahun 1960-an PKI berhasil menanamkan pengaruhnya di hampir setiap dibidang kehidupan kenegaraan. Mereka melakukan intrik untuk melumpuhkan partai-partai politik yang melawan mereka. Tujuan akhir PKI ialah merebut kekuasaan negara dan mengganti idiologi negara Pancasila dengan idiologi komunisme. Pimpinan Angkatan Darat yang menyadari bahaya yang akan timbul dari ambisi PKI itu berusaha menghalang-halanginya. Karena itulah PKI menilai Angkatan Darat sebagai lawan utama.
Dengan berbagai cara PKI mencoba mendiskreditkan Angkatan Darat. Mereka menyebar isu bahwa dalam Angkatan Darat terdapat sebuah dewan yang menilai kebijaksanaan Presiden Sukarno. Diisukan pula bahwa Angkatan Darat akan merebut kekuasaan negara, bahkan dikatakan Angkatan Darat bekerjasama dengan sebuah negara asing untuk melakukan pemberontakan.
Untuk memperkuat dirinya, PKI mengajukan gagasan untuk membentuk angkatan Kelima yang akan terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Gagasan untuk membentuk Angkatan Kelima ini dengan tegas ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat, termasuk Mayor Jenderal M.T. Harjono. Karena itulah Harjono dianggap PKI sebagai lawan yang harus dibunuh.
Pada hari tanggal 1 Oktober PKI memulai gerakannya menculik dan membunuh pejabat-pejabat teras Angkatan Darat. Gerakan itu dikenal dengan nama G-30-S/PKI (Gerakan 30 September/PKI). Pasukan yang ditugasi menculik Mayor Jenderal Harjono terdiri atas 16 orang. Mereka berhasil memasuki rumah dan mendobrak secara paksa pintu kamar tidur Harjono sambil melepaskan tembakan. Harjono berusaha merebut senjata gerombolan, namun gagal. Beberapa peluru melukai tubuhnya dan meninggal saat itu juga. Mayatnya diangkut gerombolan ke Lubang Buaya dan dimasukan kedalam sumur tua bersama mayat perwira-perwira lain yang diculik dan dibunuh PKI. Barulah tanggal 4 Oktober, setelah Daerah Lubang Buaya dibersihkan dari pasukan pemberontak, Mayat Harjono dan lain-lainnya dikeluarkan dari sumur. Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965, jenazah mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pemerintah menghargai jasa dan pengabdian M.T. Harjono kepada bangsa dan tanah air, terutama dalam mempertahankan kemurnian Pancasila. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 11l/Koti/1965 tanggal 5 Oktober 1965 M.T. Harjono ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Letnan Jenderal.
Harjono meninggalkan seorang istri dan lima orang anak. Istrinya bernama Mariatin. Mereka menikah pada tanggal 2 Juli 1950. Dua orang anak mereka lahir di Negeri Belanda, yakni Bob Hariyanto dan Haryanti Mirya. Anak-anak lainya ialah Rianto Nurhadi, Adri Prambarto, dan Endah Marina.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, Sumber:
http://pahlawancenter.com/pahlawancenterbaru/?p=1821