Kawin Angkat- Angkat, Kabupaten Banyuwangi
Jenis perkawinan yang dilaksanakan di daerah Kabupaten Banyuwangi ini, karena kehendak orang tua dari kedua belah fihak (fihak laki-laki dan…
Jenis perkawinan yang dilaksanakan di daerah Kabupaten Banyuwangi ini, karena kehendak orang tua dari kedua belah fihak (fihak laki-laki dan fihak perempuan), sebelum pernikahan dilangsungkan terlebih dahulu dilakukan acara lamaran oleh keluarga calon pengantin laki-laki kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan.
Pada umumnya, lamaran dilakukan pada waktu sore hari sekitar pukul 17.00. Dalam acara lamaran ini, pihak laki-laki membawa penganggo komplit “pakaian dan perhiasan lengkap” seperti gelang, cincin, baju, kain panjang (sewek), sabun, wiski maupun anggur. Penganggo komplit ini tidak boleh dikenakan sebelum perkawinan disahkan, sebab apabila pernikahan batal, benda-benda tersebut harus dikembalikan kepada pihak laki-laki (dalam kasus-kasus tertentu pihak laki-laki terkadang menolak pengembalian penganggo bukan karena alasan menolak pembatalan perkawinan, melainkan karena persoalan harga diri).
Pihak laki-laki juga membawa peras suwun yakni perlengkapan berupa:
- gedang sri,
- kembang andong,
- kembang macan,
- godhong ketirah,
perlengkapan ini mempunyai makna tertentu. Gedang sri mempunyai makna sebagai simbol orang yang masih jejaka. Kembang andong mempunyai makna pihak yang mengadakan perhelatan. Kembang macan mempunyai makna agar pihak yang dilamar tidak marah. Sementara godong ketirah mempunyai makna agar gadis yang dilamar bersedia mengikuti pihak laki-laki.
Sebelum upacara pernikahan berlangsung, biasanya baik di rumah laki-laki maupun di rumah perempuan diadakan “ngersaya“, yaitu kerja gotong royong dari para kerabat dan tetangga untuk mempersiapkan tempat dan
perlengkapan upacara. Kedua calon pengantin dilarang bepergian. Agar calon pengandn perempuan kelihatan segar dan candk pada waktu pesta, maka diadakan upacara “ngasap” (meratakan gigi) dan badannya “dilurus” (luluran). Pada malam harinya, sebelum pesta pernikahan dihelat diadakan acara melek-melekan “tidak tidur” semalam suntuk oleh keluarga dan tetangga.
Menurut kepercayaan orang Using melek-melekan ini merupakan sarana untuk memohon keselamatan dan terhindar dari gangguan dari roh-roh jahat. Setelah melangsungkan akad nikah atau ijab secara Islam di hadapan penghulu, kedua mempelai melakukan upacara makan bersama dengan sajian hidangan berupa kokoh kelor dan keluthuk jagung (brondong).
Kokoh kelor mengusung pesan agar kedua mempelai dapat menjalani kehidupan dan dapat berkembang dengan mudah seperti tanaman kelor. Sementara brondong jagung mempunyai makna agar kedua mempelai dapat dengan gampang mencari sumber penghidupan bagi kelangsungan bahtera rumah tangga dan keluarga yang baru dibangun.
Pelaksanaan upacara perkawinan biasanya berlangsung pada senja hari setelah warga selesai bekerja di sawah. Upacara ini dimulai dengan upacara “surup” yaitu upacara mempertemukan kedua mempelai di kursi pelaminan, di rumah orang tua mempelai perempuan.
Pada umumnya mempelai wanita mengenakan pakaian gaya Sritanjungan dengan gelung melingkar ala Damarwulan. Mempelai kemudian diarak dari tempat rias menuju ke tempat penyelenggaraan pesta. Dalam arak-arakan tersebut mempelai laki-laki biasanya naik kuda sedangkan mempelai perempuan ditandu.
Prof. Dr. Ayu Sutarto, M.A.: Kamus Budaya dan Religi Using, Lembaga Penelitian Universitas Jember, Jember, 2010. Hlm113-114