Putri Cempo
Menanti Istri Setia di Makam Putri Cempo, Banyak orang berharap mendapat jodoh yang setia di Makam Putri Cempo. Karena berasal…
Menanti Istri Setia di Makam Putri Cempo, Banyak orang berharap mendapat jodoh yang setia di Makam Putri Cempo. Karena berasal dari Campa, makamnya juga sangat dihormati oleh orang-orang Tionghoa.
Bersama lima kawannya, Ahmad Muslih (25) terlihat khusyuk berdoa di serambi cungkup Makam Putri Cempo, Rabu (29/8) siang. Sudah dua hari, santri-santri Pondok Pesantren Darussalamah, Lampung Timur itu berada di makam yang terietak di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang tersebut. Sebeiumnya mereka telah betziarah ke beberapa makam wali yang ada di Jawa Timur dan Jawa-Tengah.
Mereka menjadikan wali atau tokoh yang dimakamkan di tempat-tempat itu sebagai wasilah (perantara) untuk menggapai cita-cita. Karena sebagai manusia merasa punya banyak dosa, mereka membutuhkan wali yang lebih dekat dengan Allah sebagai perantaranya. Dalam menjalankan perannya sebagai wasilah itu, masing-masing wali atau tokoh memiliki kelebihannya sendiri-sendiri.
Orang yang memohon wasilahnya, melihat kelebihan itu dari cerita, sejarah, bahkan legenda sang tokoh. Seperti Ahmad Muslih dan kawan-kawan yang ingin mendapat wasilah dari Putri Cempo agar suatu saat memperoleh jodoh yang baik. “Istri yang ideal, baik dalam segala hal, cantik dan setia. Layaknya kesetiaan Puteri Cempo tertiadap Sunan Bonang,” jelas Ahmad Muslih yang diamini Mudzakir dan kawan- kawannya yang lain.
Cerita tentang Puteri Cempo memang menyiratkan pesan kesetiaan itu. Menurut
H. Abdul Wahid, juru kunci makam, Puteri Cempo adalah nama salah satu murid wanita Sunan Bonang. Dia berasal dari sebuah kerajaan di kawasan Vietnam sekarang. Setelah beberapa lama menjadi murid, sang putri diangkat menjadi pengajar di pesantren salah satu anggota walisongo itu.
“Perjalanan waktu rupanya membuat sang putri jatuh cinta pada Kanjeng Sunan dan ingin menjadi istrinya,” papar Wahid . Mendengar keinginan tersebut, keluar sebuah jawaban mengambang dari mulut Sunan Bonang. “Entenono,” kata Wahid menirukan jawaban Sunan Bonang. “Tunggu saja”, sebuah jawaban yang mem- beri makna tidak mengiyakan atau menolak permintaan sang putri.
Sang putri pun setia menunggu keputusan Sunan Bonang untuk menjadikannya sebagai istri. “Walau pada kenyataannya, keinginan itu tidak pernah tercapai hingga Sunan Bonang meninggal dunia,” jelas Wahid. Sunan Bonang sendiri selama hidupnya tidak pernah menikah, hingga dikerral dengan nama Sunan Wadat Anyakrawati.
IBU RADEN PATAH
Lepas dari pesan kesetiaan di atas, beberapa catatan sejarah mengungkap versi lain tentang cerita Puteri Cempo. Dalam “Tionghoa dalam Pusaran Politik”, Benny G. Setiono menulis Puteri Cempo adalah Dewi Kiem yang didatangkan oleh Sunan Ampel dari Cemboja untuk dihadiahkan kepada Prabu Kertabumi. Tujuannya untuk membobol benteng pertahanan Majapahit yang menjadi penghalang bagi perjuangan para wali.
Temyata Kertabumi langsung menjadikan Dewi Kiem sebagai istrinya. Ketika Dewi Kiem mengandung tiga bulan, ahli nujum kerajaan meramalkan bahwa bayi yang dikandung Dewi Kiem kelak akan menjadi raja besar di Jawa. Namun karena keamanannya tidak terjamin (waktu itu Majapahit tengah berperang melawan Kediri), Dewi Kiem diserahkan
kepada putranya, Arya Damar, yang menjadi adipati di Palembang. Beberapa bulan kemudian lahirlah dari rahim Dewi Kiem seorang putra yang diberi nama Raden v Hasan atau Pangeran Jin Bun. Kelak, Jin Bun yang dikenal dengan nama Raden Patah menjadi Raja Demak dan berhasil mengalahkan Majapahit.
H J. de Graff dkk. dalam “Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI – Antara Historisitas dan Mitos”, menyebutkan, Putri Cempa berjasa membawa keponakannya, Bong Swie Hoo alias Sunan Ampel, dari Campa ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Dia meninggal dan dimakamkan di Trowulan pada 1448. Kemudian hari, kerangkanya dipindahkan oleh Sunan Bonang, putra Sunan Ampel, ke Karang Kemuning, Bonang. Ini dilakukan Sunan Bonang untuk menghormati nenek bibinya itu.
Satu hari menarik yang patut dicatat dari versi – versi cerita di atas; bahwa orang- orang keturunan Tionghoa juga berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa. Disebut keturunan Tionghoa, karena dari sisi etnis, orang-orang Campa mempunyai kemiripan dengan penduduk asli Tiongkok. Dari sisi geografis, letak Kerajaan Campa juga berbatasan dengan Tiongkok. Pada masa Ialu, kawasan Vietnam, tempat Kerajaan Campa itu berdiri, yang terpecah antara daerah Tonkin di utara dan Annam di selatan, juga pernah menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Tiongkok.
Pada masa Kaisar Gia Long dari Dinasti Nguyen, negeri ini pernah meminta petunjuk Kekaisaran Tiongkok untuk memberi nama bam. Gia Long mengajukan nama gabungan An Nam dan Viet Thuong. Gabungan nama itu mengerucut menjadi Nam Viet, yang akhirnya menjadi Viet Nam sejak awal abad ke-19, hingga sekarang.
Marco Polo yang tiba di pantai Vietnam pada 1292, mencatat negeri itu bernama Caugigu. Nama ini berasal dari kata Giao Chi Quan yang diduga sebagai nama kaisar Tiongkok kuno dari Dinasti Han. Nama itu terus mengalami perubahan, sampai ahli geografi Denmark, Konrad Malte-Bume, pada awal 1800-an, menganggap kawasan di semenanjung itu terpengaruh dua kebudayaan, India dan Tiongkok (Cina). Sehingga semenanjung itu disebut Indocina. Nama ini sampai sekarang tetap dipakai untuk menyebut gabungan tanah Vietnam, Laos, dan Kamboja Dengan sejumlah fakta di atas, tak mengherankan bila Makam Puteri Cempo di Bonang maupun petilasannya yang ada di Trowulan juga sangat dihormati oleh orang- orang Tionghoa. Di waktu-waktu tertentu, akan terlihat asap hioswa berpadu dengan menyan dan kembang di dua tempat tersebut. “Beberapa tahun lalu, peziarah dari luar Jawa yang kebingungan mencari – mencari makam ini, justru bertanya di Klenteng Lasem,” ungkap Abdul Wahid. • hk
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: LIBERTY, EDISI 2316, 11 – 20 September 2007, hlm. 6-9
Comments
sejarah wali yg seakan-akan turunan etnis thionghoa itu tdk berdasar,hanya orang bayaran yg mngarang mlakukn pembnaran seakan2etnis china brjasa kepada umat islam di indonesia meminjam kata sejarawan jerman sejarah milik pemenang,etnis china menang secara ekonomi hingga bisa mmpengaruhi kebijakan politik indonesia diantaranya jg membelokkan sjarah.ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Muslim.[6] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Siapa keturunan putri cempo