Friday, December 8, 2023
Semua Tentang Jawa Timur


Museum Trinil

Menelusuri Kehidupan Manusia Purba di Museum Trinil Mengunjungi Museum Trinil, mengajak kita kembali ke dalam kehidupan jutaan tahun yang lalu….

By Pusaka Jawatimuran , in Ngawi Sejarah Th. 2013 Wisata Sejarah , at 07/11/2013 Tag: , , , ,

Menelusuri Kehidupan Manusia Purba di Museum Trinil TRINIL0003
Mengunjungi Museum Trinil, mengajak kita kembali ke dalam kehidupan jutaan tahun yang lalu. Melihat lamanya waktu, sejarah ini pasti menceriterakan tentang kepurbakalaan. Satu-satunya situs kepurbakalaan berada di Ngawi Jawa Timur adalah Museum Trinil Di museum ini banyak sekali tersimpan fosil-fosil purba, mulai dari tengkorak manusia, gajah serta peralatan yang digunakan untuk mempertahankan diri pada zaman itu.Museum Kepurbakalaan Trinil terletak di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kec. Kedunggalar, Kabupaten Ngawi dengan jarak tempuh sekitar 14 km ke arah barat dari pusat kota Ngawi.Sepanjang perjalanan menuju museum kita bisa menikmati indahnya pemandangan desa yang sangat rimbun yang dipenuhi pohon bambu serta rumah penduduk yang memiliki ciri khas pedesaan terbuat dari bambu.TRINIL0004Pintu gerbang museum yang sangat sederhana terlihat setelah masuk ke dalam, sekitar satu kilometer dari jalan raya utama. Memasuki wilayah museum kita harus melapor ke pos penjagaan. Situs Trinil, menurut penelitian, merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba pada zaman Pleistosen Tengahsekitar 1,5 juta tahun yang lalu. Situs Trinil ini amat penting sebab di situs ini selain ditemukan data manusia purba juga menyimpan bukti konkrit tentang lingkungannya, baik flora maupun faunanya. Museum ini dikelola bersama oleh Pemda Kabupaten Ngawi dan Dirjen Kebudayaan, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jatim yang berada di Trowulan, Mojokerto. Isi Museum Trinil Menginjakkan kaki di halaman museum, wisatawan disambut dengan bangunan gapura museum dengan latar belakang patung gajah purba. Patung gajah ini cukup besar untuk ukuran gajah sekarang, dengan gading yang sangat panjang, dan anatominya lebih mirip Mammoth tetapi tanpa bulu. Selain patung gajah, juga terdapat monumen penemuan Pithecan­thropus erectus yang dibuat oleh Dubois. Pada mo­numen, tertulis: P.e. 175m (gambar anak panah), ONO serta di bawahnya tertera 1891/95. Artinya Pithecanthropus erectus (P.e.) dite­mukan sekitar 175 meter dari monu­men itu, mengikuti arah tanda panah (arah barat daya), pada ekskavasi yang dilakukan dari tahun 1891 hingga 1895. Begitu masuk museum jajaran redaksi Prasetya menemui Pak Sujono juru kunci yang juga cucu dari Wirodihardjo atau Wiro Balung, tokoh yang peduli pada fosil pada jaman Belanda. Setelah cukup menikmati patung gajah dan monumen, wisatawan bisa menggali informasi lebih jauh dengan melihat koleksi museum yang jumlahnya mencapai 1.200 fosil terdiri dari 130 jenis. Di dalam Museum dipamerkan beberapa replika fosil manusia purba berupa replika Phitecantropus Erectus yang ditemukan di Karang Tengah (Ngawi), Phitecantropus Erectus yang ditemukan di Trinil (Ngawi), serta fosil-fosil yang berasal dari Afrika dan Jerman, yakni Australopithecus Afrinacus dan Homo Neanderthalensis. Kendati hanya berupa replika, namun fosil tersebut dibuat mendekati bentuk aslinya. Sementara fosil-fosil yang asli disimpan di beberapa museum di Belanda dan Jerman.Di dalam museum pengunjung bisa menyaksikan diorama manusia purba serta tulang-tulang manusia purba seperti fosil tengkorak manusia purba (Phite­cantropus Erectus Cranium Karang Tengah Ngawi), fosil tengkorak manusia purba (Pithecantropus Erectus Cranium Trinil – Trinil Area), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon Trigonocephalus Upper Molar Trinil Area), fosil tulang paha manusia purba (Phitecantropus Erectus Femur Trinil Area), fosil tanduk kerbau (Bubalus Palaeokerabau Horn Trinil Area), fosil tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus Horn Trinil Area) dan fosil gading gajah purba (Stegodon Trigonocephalus Ivory Trinil Area). Selain itu terdapat beberapa fosil tengkorak beserta peta sebarannya di seluruh dunia dilengkapi dengan lampu-lampu kecil seperti : Australopithecus Afrinacus Cranium Taung Bostwana Afrika Selatan, Homo Neanderthalensis Cranium Neander Dusseldorf Jerman dan Homo Sapiens Cranium. Yang tak kalah menarikny adalah adanya sebuah tugu tempat penemuan manusia purba. Selain fosil manusia. Di dalam museum juga dipamerkan fosil tulang rahang bawah macan (Felis Tigris), fosil gigi geraham atas gajah (Ste­godon Trigonocephalus), fosil tanduk kerbau (Bubalus Palaeokerabau), fosil tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus), serta fosil gading gajah purba (Stegodon Trigonocephalus). Fosil-fosil hewan ini umumnya lebih besar dan panjang daripada ukuran hewan sekarang. Misalnya saja fosil gading gajah purba yang panjangnya mencapai 3,15 meter—bandingkan dengan gajah sekarang yang panjang gadingnya tak lebih dari 1,5 meter. Cikal-bakal Museum Trinil Wirodihardjo atau Wiro Balung (60 tahun) dari Kelurahan Kawu Adalah seorang sukarelawan yang menyadari bahwa tugu itu mempunyai makna besar dan sangat berguna bagi penelitian selanjutnya. Wajar jika dia berpendapat begitu, karena ia telah ikut ekspedisi yang dilakukan oleh ilmuwan Eugene Dubois dan Salenka. Kedatangan orang asing tersebut adalah mahasiswa yang datang silih berganti untuk melakukan ekspedisi dengan biaya yang mahal. Oleh karena itu, sebagai putra daerah, ia merasa ikut bertanggungjawab atas kelestarian tempat itu, dan melanjutkan eksplorasi. Kehadiran Wirodiharjo di Trinil sangat berarti, karena ia menjadi tempat untuk bertanya bagi para pengunjung tentang fosil di Trinil. Pada awalnya, walaupun tempat tersebut sekarang terkenal sebagai daerah fosil, namun waktu itu tidak satupun fosil ia temukan di Trinil. Untuk itu ia mengumpulkan setiap fosil yang ditemukan warga di Sungai Bengawan Solo dengan cara membeli atau ditukar dengan barang atau beras sesuai permintaan warga. Dari hari ke hari, fosil yang dikumpulkan dari tiga desa, sebelah barat Desa Kawu, sebelah utara Desa Gemarang dan sebelah timur Desa Ngancar semakin bertambah banyak. Setelah ditinjau oleh Kepala Seksi Kebudayaan Depdikbud Ngawi, Mukiyo, ia mendapat bantuan tiga almari untuk menyimpan fosil-fosil yang terkumpul. Sejak saat itulah, Wirodiharjo terkenal dengan sebutan Wiro Balung, yang berarti Pak Wiro yang suka mengumpulkan tulang (balung-balung). Pada tahun 1980/1981 Pemprov Jatim mendirikan museum untuk menampung fosil-fosil di atas lahan Wiro Balung yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jatim “Soelarso” pada 20 Nopember 1991. Namun sayang, Wiro Balung tidak bisa menyaksikan peiesmian karena dia telah meninggal dunia pada 1 April 1990 akibat kecelakaan. Setelah Wiro Balung meninggal dunia, keahliannya diteruskan anaknya. Wajah Museum MendatangTRINIL0002 Nama museum Trinil telah dikenal oleh dunia kepurbakalaan. Tapi sayang, masyarakat Ngawi yang notabene sebagai tuan rumah sangat jarang berkunjung ke museum ini. Hal ini terlihat saat tim Prasetya berbincang dengan siswa Sekolah Kesehatan Ngawi, bernama Siska mengungkapkan, Museum ini sangat berguna bagi ilmu pengetahuan, agar kita tahu kehidupan jaman purba. Namun sayang, kondisinya kurang terawat. “Saya berharap museum ini mempunyai fasilitas pendukung yang lain agar lebih banyak masyarakat yang mau berkunjung,” ujarnya. Untuk kembali menarik pengunjung, pihak pengelola telah menata secara rapi taman-taman di sekitar areal museum terlihat bersih, indah, dan asri. Di depan museum juga terdapat pendopo yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat. Untuk wisata sejarah, yang mengurus bukan Pemkab tapi Pemprov. Jadi pemkab hanya menvediakan lahan dan kemudian Pemprov membangunnya,” pintanya. Kita semua pasti berharap, Museum Trinil bisa segera dibenahi, dan menjadi tempat favorit wisata agar wilayah museum menjadi ramai dan geliat ekonomi masyarakat setempat dapat dapat terangkat. ❖

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾ Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Prasetya, Volume V, No. 53, Mei 2013

Comments


  • ya,saya setuju sekali.karena suatu aset harus dan wajib kita jaga dan klta lestarikan.

Leave a Reply

%d blogger menyukai ini: