Upacara Selapan, Kabupaten Bondowoso
ISTILAH “selapan” (Jawa) berasal dari gabungan bentuk “sa+alap+an”, satu alapan, yaitu satu kali daur ulang dari kelahiran tiga puluh lima…
ISTILAH “selapan” (Jawa) berasal dari gabungan bentuk “sa+alap+an”, satu alapan, yaitu satu kali daur ulang dari kelahiran tiga puluh lima hari. Pada upacara selapan itu bertemulah nama hari dan “pasaran” ketika bayi dilahirkan. Di Madura upacara ini dikenal dengan istilah molang are (mengulang hari kelahiran). Hanya saja di daerah Madura, termasuk di Bondowoso, tidak dikenal hari pasaran (legi, pahing, pon, wage, kliwon) sebagaimana dalam budaya Jawa.
Sepekan di Madura sama dengan sepekan di Melayu yaitu tujuh hari. Hal ini dapat dibuktikan dengan hari daur ramainya pasar di Bondowoso, seperd Pasar Senin, Pasar Selasa, dan sebagainya, sama dengan di Jakarta (Pasar Minggu, Pasar Senen, dan sebagainya). Akhir-akhir ini perhitungan limaan {manes, paeng, pon, bagi, kalebun) itu mulai terpakai juga dalam menghitung hari di daerah Bondowoso. Jadi “selapan” bayi lamanya sama dengan sekali daur dari hari kelahiran, yaitu lima minggu atau tujuh kali lima pasaran yaitu tiga puluh lima hari.
Di Bondowoso ada kepercayaan hari selamatan molang are dga puluh lima hari jika bayi yang dilahirkan adalah perempuan. Maksudnya supaya kelak lekas mendapatkan jodoh. Namun jika anaknya lelaki, maka selamatan molang are itu dijatuhkan pada hari keempat puluh. Ini merupakan isyarat bahwa anak lelaki kelak harus bekerja keras untuk memberi nafkah istrinya. Jadi dibutuhkan masa muda yang lebih panjang untuk belajar dan bekerja.
Dalam budaya Jawa, ada juga upacara selapan bayi namun bukan upacara menyambut kelahiran bayi yang pertama karena upacara kelahiran bayi sebenarnya jatuh pada hari kelima yang lazim disebut “sepasaran bayi”. Biasanya jatuh pada saat si bayi “lepas dari pusarnya” (pupak pusar).
Pada malam sepasaran bayi diadakan acara macapat, yaitu membaca sastra Jawa yang mengandung pelajaran atau filsafat dari para pujangga seperd dari buku Wulang Keh, Wedatama,Serat Piwulang, Serai Kidungan, dan sebagainya. Kemudian setelah zaman Islam, buku-buku bercorak Islam ditulis dengan huruf Arabpegon, dikarang dalam bentuk tembang bahasa Jawa, seperti Lajang Ambiya (Surat Nabi-Nabi).
l^i Bondowoso, upacara molang are atau selapanan dimeriahkan dengan pembacaan selawat nabi (pembacaan diba’ atau barzanji). Ketika hadirin berdiri membacakan selawat nabi, sang bayi di- gendong oleh salah seorang keluarganya (lelaki) untuk diperkenalkan kepada seluruh majelis agar dimintakan restu dengan “mengusapkan air bunga” di kepala bayi, selain itu juga diminta menggunting dua atau tiga helai rambut sang bayi.
Upacara selapanan di Bondowoso ini mengingatkan kita pada upacara akikah (mencukur rambut) bayi. Adapun mengusap air bunga di kepala sang bayi dan membacakan selawat nabi harus di- pandang sebagai upacara menyambut kelahiran sang bayi muslim atau muslimah, yang kelak akan menjadi penganut agama Islam, umat Nabi Muhammad SAW.
Upacara molang are itu kemudian ditutup dengan pembacaan doa. Pesta kenduri pun dimulai, pulangnya tamu diberi berkat, tanda bahwa hajatnya semoga mendapatkan berkah dari Allah SWT. Dalam budaya Jawa, berkat atau lebih dikenal dengan “nasi brokoharT (dari istilah barokahan), dibagikan pada waktu upacara sepasaran (lima harinya) [::]
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Dr. H. Mashoed MSi. Sejarah dan Budaya Bondowoso. Surabaya, Papyrus, 2004. hlm. 112