Mitologi Candi Pari, Kabupaten Sidoarjo
Mitologi Candi Pari, Salah satu cagar budaya yang bisa dikatakan utuh sampai sekarang adalah Candi Pari. Candi yang terletak di kecamatan…
Mitologi Candi Pari, Salah satu cagar budaya yang bisa dikatakan utuh sampai sekarang adalah Candi Pari. Candi yang terletak di kecamatan Porong ini di bangun pada jaman Majapahit atau seperti yang tertulis pada 1293 C (1371 M ). Candi Pari yang terletak di ketinggian 4,42 meter di atas permukaan air laut ini memiliki area luas mencapai 1310 meter persegi.
Sementara bangunan induknya terletak di sisi timur area. Ada dua versi cerita tentang Candi Pari yang saling bertolak belakang. Di satu versi Candi Pari di sebut sebagai bangunan persembahan untuk Ratu Campa, atau lebih tepatnya sebagai tempat persinggahan sang ratu bila ingin mengunjungi saudaranya di Majapahit.
Sedangkan di versi kedua, Candi Pari menjadi simbol pembangkangan rakyat sekitar candi terhadap penarikan upeti dari Majapahit yang saat itu diperintah Hayam Wuruk (Rajasa Negara). Menurut versi ini kondisi daerah di Candi Pari adalah hutan rimba. Adalah Jaka Pandelegan (konon masih anak Prabu Brawijaya dari perselingkuhannya dengan seorang gadis desa bernama Ni Jinjingan) yang berjasa menyulap daerah hutan menjadi daerah pertanian yang makmur.
Kemakmuran itu membuat Majapahit menuntut upeti dengan jumlah yang tinggi. Jaka Pandelegan yang merasa tidak berhutang budi dengan Majapahit menolak tuntutan itu.
Hasil pertanian tidak diserahkan ke Majapahit tetapi untuk kepentingan masyarakat di daerah itu. Majapahit yang sedang jaya itu menganggap sikap Jaka Pandelegan sebagai tantangan terhadap bala tentaranya. Untuk itu Majapahit kemudian mengirim pasukan untuk menangkap dan menghukum Jaka Pandelegan.
Singkat cerita pasukan itu sampai di desa Jaka Pandelegan. Mereka bergerak cepat untuk menangkap tokoh yang dianggap pembangkang itu. Jaka Pandelegan lari menghindari tangkapan prajurit Majapahit dan melompat di tumpukan padi, di sana ia muksa.
Merasa tidak bisa menangkapnya, prajurit Majapahit bergerak untuk menangkap istri Jaka Pandelegan yang bernama Nyi Walang Angin. Sama dengan suaminya, wanita itu berlari dan menceburkan diri di sebuah sumur di sebelah selatan tumpukan padi itu, disana ia juga tidak pernah ditemukan. Untuk mengenang suami istri yang berjasa pada daerah itu maka didirikanlah Candi Pari di bekas tumpukan Padi dan Candi Sumur di daerah itu.
Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa kedua versi itu saling bertolak belakang. Salah satu versi melambangkan Candi Pari sebagai persembahan bagi penguasa, sedangkan versi satunya menjadikan Candi Pari sebagai simbol bagi perlawanan terhadap penguasa. Walaupun berbeda setidaknya kedua versi itu akan saling melengkapi, apalagi jika mau kita menggali, mengumpulkan dan mendokumentasi kejadian masa lampau. ***
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: JEJAK SIDOARJO dari Jenggala ke Suriname, Ikatan Alumni Pamong Praja Sidoarjo, Maret 2006, hlm.