Jihad di Gedangan, Kabupaten Sidoarjo
Sebuah Kasus Perlawanan Fisik yang paling terkenal adalah jihad di Gedangan yang dipimpin oleh Kiai Hasan Mukmin. Sebab-sebab pemberontakan berakar…
Sebuah Kasus Perlawanan Fisik yang paling terkenal adalah jihad di Gedangan yang dipimpin oleh Kiai Hasan Mukmin. Sebab-sebab pemberontakan berakar dari gerakan agama yang berbasis masyarakat tani. Karenanya tipikal gerakan itu menjadikan
permasalahan petani sebagai isu sentral. Gerakan ini mengalami radikalisasi ketika Belanda memaksakan peraturan yang ketat mengenai efektifitas produksi pertanian.
Peraturan itu adalah penanaman paksa palawija yang berupa jagung dan ubi kayu. Selain itu juga dipaksakannya pemakaian weluku (bajak) model Hindu. Sementara di industri gula, Belanda menentukan secara sepihak harga sewa tanah sawah untuk ditanami tebu. Belanda juga memaksa petani menjadi tanaga kerja di pabrik-pabrik gula pada waktu masa giling. Semetara kebutuhan utama petani, irigasi, berjalan dengan pembagian yang buruk.
Setiap habis shalat Magrib, anggota tarekat selalu mengadakan pertemuan di rumah Kiai Hasan Mukmin di Samentara. Pertemuan-pertemuan ini membahas tentang
peraturan Belanda yang dirasa sangat memberatkan bagi petani. Semakin lama pertemuan para anggota tarekat itu bukan lagi pertemuan untuk membahas permasalahan petrani.
Tetapi sudah mengarah pada rencana pemberontakan terhadap peraturan Belanda di Sidoarjo. Kiai Hasan Mukmin adalah putra seorang ulama di Yogyakarta. Sebelum menjadi guru tarekat Qadiriyah-Naqsyabandia di Samentara, Beliau pernah belajar di di Kairo, tetapi tidak sampai tamat karena ayahnya meninggal dunia. Pengikut kumpulan tarekat ini sangat besar, selain Sidoarjo, anggotanya juga berasal dari Mojokerto dan Jombang.
Akhirnya para anggota tarekat sepakat untuk melakukan sebuah pemberontakan. Tanggal pelaksanaannya adalah Hari kedua belas bulan Maulud tahun Wawu atau 27 Mei 1904. Pada hari itu pemberontakan di mulai setelah shalat Magrib. Sebelum melaksanakan aksinya kaum pemberontak mengambil air wudhu lebih dulu. Kemudian mereka berkumpul di sebuah sawah yang terbuka, dimana berkibar
sehelai bendera berwarna putih-biru-putih sebagai symbol dari kemandulan, kepiluan dan kefanaan. Sebagai symbol lain pemberontakan, mereka meyelempangkan Klaras (daun Pisang kering) seraya berdzikir. Kemudian seorang pembicara membakar semangat pemberontak dengan mendakwahkan konsep Jihad (perang suci).
Para pemberontak itu berasal dari Samentara, Taman dan Damarsi. Sementara pengikut dari kota lain tidak ikut. Ketika Wedana Gedangan menerima informasi tentang konsentrasi massa pemberontak di Keboan Pasar (Keboan Sikep), ia langsung mendatangi mereka dengan membawa anggota Polisi yang bersenjata. Tetapi karena jumlah yang kalah banyak, akhirnya Wedana dan Mantri Polisi tertawan. Melihat kejadian itu pemerintah di Sidoarjo mengerahkan kekuatan militer untuk menindas pemberontakan.
Melihat barisan tentara, pemberontak yang berjumlah tiga ratus orang itu bukannya takut. Mereka maju membuat provokasi dengan menari gaya pencak silat sambil menggenggam keris dan mengucap La ilaha ilallah. Tentara mulai menyemburkan pelor panas ke arah pemberontak. Pertempuran itu berjalan singkat. Tetapi menelan cukup banyak korban jiwa. Tiga puluh tiga pemberontak mati terbunuh, tiga puluh tujuh lainnya terluka termasuk Kiai Hasan Mukmin. Walaupun terluka, tetapi Kiai Hasan Mukmin berhasil melarikan diri kerumahnya. Namun tak lama kemudian tentara Belanda mengepung dan membakar rumah itu setelah membunuh Kiai Hasan Mukmin. Pemberontakan Gedangan padam bersama dengan kematian sang Kia
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: JEJAK SIDOARJO dari Jenggala ke Suriname, Ikatan Alumni Pamong Praja Sidoarjo, Maret 2006, hlm 73-74