Sunday, December 8, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Upacara Saat Mendirikan Bangunan, Kabupaten Blitar

Upacara ini sudah jarang dilakukan, namun de­mikian masyarakat desa Plasarejo : di Kabupaten Blitar, masih menjalankannya. Upacara ini dimaksud untuk…


Upacara ini sudah jarang dilakukan, namun de­mikian masyarakat desa Plasarejo : di Kabupaten Blitar, masih menjalankannya.

Upacara ini dimaksud untuk mengantarkan doa selamat kepada para tukang-tukang dan pengagrap lainnya dalam pembangunan nantinya agar tidak mendapat keselamatan,  Termasuk kedalam tahapan ini adalah kegiatan-kegiatan :

  • Duduk pondasi (menggali untuk  pondasi) rumah
  • Adek Cagak (Saka Guru atau Saka Panitis) (mendirikan tiang-tiang utama).
  • nyetel (membuat dan memasang)
  • adek kudo-kudo ( mendirikan Kuda-kuda, segi tiga bagian atas rumah), termasuk memasang gentingnya.
  • Duduk sumur (menggali sumur)

Nama Upacara

Pada setiap tahap kegiatan diatas selalu didahului de­ngan mengadakan suatu upacara kecil atau besar yang pada umumnya disebut : Slametan ; Wilujengan ataupun Kenduren. Demikianlah maka ada beberapa Slametan/Wilujengan yang besar-kecilnya bergantung kepada tahap kegiatan yang diupacarainya

Wilujengan membuat pondasi rumah.

Kegiatan ini didahului upacara kecil mengadakan Slametan Jenang Sengkala (of : 6.1.2, diatas). Selesai upacara ini diadakan, maka kegiatan dimulai dengan menggali tanah untuk membangun pondasi rumah. Sebagian dari jenang Sengkala tersebut ikut ditanam bersama batu/bata fondasi dan dilakukan oleh pemimpin upacara.

  1. Menegakkan tiang-tiang rumah, istimewanya tiang besar (bhs. Jawa : Saka guru; Saka Panitis). Kegiatan ini didahului dengan penyelenggaraan wilujengan yang lebih besar dan tata carapun agak “rumit” (diuraikan pada “Alat-alat upacara”, 6.2.7).
  2. Wilujengan untuk mendahului kegiatan membersih- kan, membentuk dan memasang bahan kayu bangun­an bagian atas rumah. (diuraikan lebih lanjut pada 6.2.7; “Alat-alat Upacara”). 

Tujuan Upacara

Semua tahap kegiatan dalam mendirikan bangunan ru­mah, selalu didahului suatu Upacara. Upacara-upacara tersebut seluruhnya bertujuan menolak bahaya, mencari selamat dan berharap agar seluruh kegiatan pembangunan rumah dapat berjalan lancar. Tujuan upacara yang demikian itu dalam ujud dan maksudnya dapat diperinci, menurut jenis upacara dan alat-peralatan upacara yang diutamakan pada tahap kegiatan tertentu.

Tempat dan Waktu Upacara

Seluruh upacara pada tahapan ini, sudah “dipusatkan” ditempat bangunan yang sedang dibangun. Kenyataan ini dapat sesuai dengan jalan pikiran mereka, bahwa senyatanya yang diharapkan “selamat dan lancar proses pembangunannya” adalah bangunan rumah baru yang akan ditegakkan itu.

Berbeda dengan waktu diadakannya upacara-upacara pada sore dan malam hari pada tahap “sebelum mendiri­kan bangunan”, upacara diadakan pada pagi hari. Hal ini dapat dilaksanakan, karena pada prinsipnya, para peserta utama dalam upacara tersebut adalah tukang-tukang dan kerabat-kerabat sendiri, ditambah beberapa tetangga dekat yang sebagian besar merupakan tenaga pelaksana pembangunan rumah termaksud.

Penyelenggara

Tidak berbeda dengan tahap-tahap kegiatan sebelumnya maka penyelenggara seluruh upacara pada tahap “Se­dang mendirikan bangunan”, tetap menjadi konsekuensi siempunya hajat/pemilik bangunan yang akan dibangun atau keluarganya). Untuk memberi kejelasan pengertian kalimat terakhir ini, maka perlu disini diberikan contoh konkritnya.

Bila seseorang belum (tidak) mampu mendirikan ba­ngunan rumah baru bagi keluarganya, ada kemungkinan orang tersebut dibuatkan rumah oleh orang tua atau kerabatnya secara gotong royong.

Dalam hal begini sudah barang tentu merekalah yang menjadi penyelenggara seluruh upacara yang diperlukan.

Peserta Upacara

Para peserta upacara Slametan pada tahapan ini terdiri dari para kerabat dan tetangga dekat ditambah dengan tenaga-tenaga tukang dan tenaga sukarela tertentu (Bhs. Jawa : tenaga sambatan”. Tetangga dekat disini dapat terdiri dari 2 pihak :

a)  tetangga dekat lama : terdiri dari orang-orang di sekitar rumah tempat tinggal si empunya hajat.

b)  tetangga dekat baru : terdiri dari orang-orang di sekitar lokasi bangunan rumah yang akan ditegakkan.

Pimpinan Upacara

Pimpinan upacara tetap dipegang oleh salah seorang dari ketiga jenis pimpinan desa (of: 6.1.6. diatas). Namun pada umumnya masyarakat setempat, dalam hubungan ini lebih mantap untuk mempercayakannya kepada seorang dukun. Seorang dukun pada masyarakat perdesaan dan lebih-lebih pada masyarakat “pedalaman” sangat dipercayai oleh masyarakatnya “menguasai” ilmu gaib (bhs. Jawa : ngelmu).

Pada masyarakat yang telah meresapi ajaran dan memeluk agama Islam secara khusuk — seperti halnya ma­syarakat Madura di desa Larangan Luar khususnya dan masyarakat Madura di Pamekasan pada umumnya, tentulah kedudukan sosial religieus seorang kyai (ulama) sangatlah menonjol. Berbagai upacara dalam mendiri­kan bangunan rumah baru, dipimpin oleh seorang kyai. Seorang “dukun kejiman” di Madura lebih berperanan dalam urusan “sakit/penyakit”.

Seseorang yang menderita suatu penyakit keras atau suatu penyakit luar biasa” (atau suatu penyakit anak, menurut kepercayaan setempat), biasanya orang ter­sebut berobat ke dukun atau memanggil dukun ke rumahnya untuk diobati.

Kasus terakhir inipun masih sering kita jumped di desa- desa di Jawa Timur, masa sekarang ini.

Alat-alat Upacara

Sebagai telah disebutkan dimuka, maka upacara Slametan Jenang Sengkala diadakan lagi pada saat orang mau menggali tan ah untuk membangun fondasi rumah. Sebuah wilujengan/slametan lain yang agak besar dan banyak alat-peralatannya, diselenggarakan bila pem­bangunan rumah sudah mulai menginjak pada kegiatan menegakkan tiang-tiang rumah, terutama pendirian saka guru yang biasanya 4 buah itu.

Alat-alat upacaranya adalah sbb. :

  1. Untuk slametan jenang sengkala keadaannya seperti diuraikan pada 6.1.7.
  2. Untuk slametan berikutnya, alat-alat upacara adalah:

a)      Jenis wadah :

  1. nyiru (bhs. Jawa : Tampah/tempeh)
  2. takir (wadah terbuat dari daun pisang)
  3. cowek (terbuat dari tembikar)
  4. kemarang (anyaman lidi)
  5. gelas, piring, baki dsb.

b)      Jenis makan an untuk dihidangkan/dibagikan dalam upacara slametan.

  1. Sega gurih atau sega wara (nasi putih yang gurih rasanya, karena dalam proses pengolah- annya, nasi tersebut lebih dahulu direbus dengan santan kelapa yang kental (bhs. Jawa Santen kanil). Atau juga sega golong yaitu nasi putih yang telah dibungkus, menjadi beberapa bungkusan yang “sama besar”.
  2. Ingkung (masakan daging seekor ay am utuh. Artinya daging tersebut seolah-olah masih berujud “seekor ayam” karena hanyadiambil isi perut (bhs. Jawa : Jerohan) nya saja.
  3. Pala kependem : yaitu ubi-ubian yang terpendam didalam tan ah, seperti misalnya : suweg bote, uwi, ketela, ganyong, garut dsb.
  4. Pisang Raja : Jenis pisang ini sangat dominan sebagai “alat upacara”, sedang jenis pisang lainnya kurang berperanan dalam sistem upacara suku Jawa.
  5. Cengkir kuning gading, buah ini diambil dari pohon kelapa gading.
  6. Bunga-bungaan, dari jenis ini banyak digunakan bunga-bunga melati, mawar dan kenanga, yang ketiga-tiganya sering disebut “Kembang setaman”. Menurut kepercayaan masyarakat kultur Jawa semua bunga dapat digunakan sebagai “alat upacara” pendirian bangunan rumah, kecuali bunga “kantil” yang rupanya hanya dipakai pada upacara-upacara kematian.
  7. Padi (pari. Jw) buah pohon yang menghasilkan beras.
  8. Tebu, Jenis tumbuhan ini, mudah tumbuhnya sifat pohon itulah ditambah rasa airnya yang manis menimbulkan cara berpikir asosiatif dan analogis – sehingga tumbuhan ini banyak dipakai sebagai “alat upacara” dalam berbagai kepentingan (upacara).
  9. Daun beringin. Untuk benda/alat upacara ini digunakan se-ranting atau beberapa ranting daun beringin — dalam arti tidak dipetik daun daunnya.
  10. Daun kelapa muda (bhs – Jawa : Janur kuning)
  11. Daun puring.
  12. Selendang atau kain panjang (bhs. Jawa : jarik atau sewek).
  13. Mata uang logam (Duwit cring. Jw).
  14. Cok-bakal. Cok bakal adalah gabungan beberapa benda/alat upacara : misalnya sejumput beras, gula, tembakau, bumbu empon-empon, garam, daging kelapa, kembang boreh dan daun suruh (semuanya serba “sedikit”).
  15. Brabon : sepotong kain merah, yang diletakkan diatas ke-empat saka guru se­bagai simbol penolak bahaya. Di- bawahnya ada kain putih berpinggir warna biru.

Jadi “Cok bakal” adalah sebuah wadah, biasanya terbuat dari takir dan berisi benda-benda tersebut diatas.

Catatan khusus: mengenai arti simbolis dari alat-alat upacara tersebut di­atas, arti simbolis yang tersirat pada pemakaian benda-benda tersebut didasarkan pada prinsip cara berpikir analogi ataupun “proses ke-rotabana” dari nama atas sifat-sifat benda tersebut.«

1. Sega gurih.

Sega berarti nasi yang dalam masyarakat kul- tua Jawa sinonim dengan beras. Beras merupa- kan sumber daya kekuatan hidup dan kehidup an. Jelas kiranya maksud simbolis dipakainya nasi (beras, padi) dalam beberapa upacara mendirikan bangunan rumah (rumah adalah tempat tinggal manusia-manusia satu keluarga. Yang masing-masing memerlukan kekuatan dan sumber hidup).

2. Ingkung.

Arti simbolis “ingkung” adalah “keutuhan” wujud “.

Demikian maka keluarga yang akan menempati nanti serta rumahnya menjadi “kesatuan ujud”.

Arti simbolis “alat Upacara” ini memberi sugesti kepada si empunya hajat, tentunya juga masyarakat sekitar lewat, para peserta upacara slametan bahwa rumah yang akan dibangun itu pasti terujud dan dapat mendatangkan rasa kerasan-tenteram kepada penghuninya nanti

3. Pala Kependem.

Semua jenis ubi-ubian dan beberapaumbi- umbian termasuk kedalam kategori ini. Mereka antara lain : Suweg, Bote, ketela, ganyong, garut, uwi, dsb. Ubu-ubian tersebut pada kenyataannya merupakan akar dari pohonnya masing-masing. Dalam hubungan ini proses berpikir analogis sangat diutamakan sehingga membuat fondasi rumah harus didahului dengan upacara yang menggunakan juga “Pala Kependem” sebagai salah satu alatnya. Bukankah fondasi rumah sangat analogis dengan akar tumbuhan (pala kependem).

4. Pisang Raja.

Pisang dalam bahasa Jawa adalah “gedang”. Kata gedang bersajak bunyi bila diucapkan dengan “padang” (bhs. Indonesia berarti terang). Demikianlah secara keretabasa pemakaian “gedang” dalam suatu upacara pendirian bangunan rumah, meihiliki arti simbo­lis “membawa suasana terang” kepada proses kegiatan yang diupacarainya.

5. Cengkir kuning gading.

Cengkir adalah buah kelapa yang masih muda Pohon kelapa disini harus dari jenis kelapa ga­ding, yaitu pohon kelapa yang kerdil namun mud ah berbuah yang wamanya kuning me- nonjol sebagai ciri khasnya Kuning seperti warna gading. Menurut kepercayaan tradisi Jawa lama, warna “kuning” diberi arti simbo­lis” kegembiraan, keriangan dan semacamnya. Dengan demikian pemakaian cengkir kuning gading dalam upacara mendirikan rumah. Jelas berharap akan memperoleh kegembira­an dalam menggunakan rumah tersebut se­bagai tempat tinggal, nanti.

6. Bunga-bungaan.

Pemakaian bunga-bungaan dalam suatu upaca­ra mendirikan rumah, arti simbolis diambil secara keseluruhan bunga. Artinya tidak di­ambil arti simbolis satu demi satu jenis bunganya. Dalam pandangan hidup masyarakat Jawa, bunga-bungaan diambil arti simbolis dari hal baunya. Harum atau wangi menimbulkan rasa kebanggaan tersendiri apalagi bila dihubungkan dengan “moral” atau nama baik seseorang. Tidak heran kiranya bila dalam sejarah bangsa Indonesia (Jawa) ada dua periode dinasti Mataram Nama kedua dinasti tersebut mengandung pengertian “bau harum”. Tidak heran kiranya bila sasterawan-sasterawan Jawa membuat sinonim kata “Mataram” dengan “Ngeksiganda” (yang berbau harum). Pemakai bunga-bungaan dalam upacara pendirian rumah, beranalogi dengan menanam bu­nga-bungaan, agar rumah tempat tinggal yang sedang dibangun itu, nantinya merupakan “sumber keharuman” (kebajikan) bagidaerah daerah sekitarnya, sebagai sebuah taman bunga laiknya.

7. Padi

Pada pandangan hidup masyarakat Jawa-lama, padi dapat berarti sinonim dengan beras. Yang merupakan sumber dan kekuatan hidup serta kehidupan manusia. Fungsi simbolis pemakaian “padi” dalam upacara-upacara pendirian rumah – sama persis dengan pemakaian beras sebagai “alat” upacara (of : No. 1 “Sega gurih”).

8. T e b u

Tebu sebagai tumbuhan mempunyai sifat mudah tumbuh hidup, seraya dengan sifat itu, tebu memiliki juga “air manis”. Demikian maka tebu memiliki arti simbolis dalam kultur Jawa, dan banyak diekpresikan dalam Upacara-Upacara tertentu, sebagai “alat Upacara”.

Dalam upacara penganten tebu dipakai se­cara spektakuler digunakan sebagai lambang “kesuburan” (penganten). Pada upacara men­dirikan bangunan rumah, tebu diambil arti simbolisnya : “kenikmatan hidup dan kehi­dupan” manusia. Dalam kontek ini maka pemakaian tebu dalam upacara tersebut : dimaksud dapat memberi ketenteraman dan ke­nikmatan hidup kepada para penghuninya nanti. Dengan pendek; agar dapat diciptakan “suasana kerasan” pada bangunan rumah yang sedang dibangun – sebagai tempat hidup dan kehidupan keluarga — analogi dengan rasa manis tebu.

9. Daun beringin

Pohon beringin adalah pohon yang tumbuh rindang dan dapat mencapai umur panjang., Pohon ini seolah-olah dapat memberi perlindungan/pengayoman kepada daerah sekitarnya. (of : lambang korp pengadilan R.I.). Dengan demikian maka pemakaian daun ber­ingin dimaksud agar rumah yang dibangun itu, nantinya dapat dipakai sebagai tempat berlindung yang aman dan tenteram bagi para penghuninya.

10. Janur

Daun-muda kelapa (daun kelapa muda). Istilah bahasa Jawa untuk daun ini adalah Janur, yang biasanya berwarna kuning. Janur sebagai halnya pohon tebu, sangat populer digunakan sebagai alat upacara. Namun, karena sesuatu hal – khususnya demi efisiensi pohon kelapa dalam peningkatan hasil maupun pencegahan pengrusakan lingkungan oleh pemerintah dinyatakan sebagai tindakan pemborosan. Demikianlah maka untuk beberapa daerah misalnya : Trenggalek, Tulungagung dsb. pemakaian janur sebagai alat upacara mengalami “pengurangan” atau menggantinya sama sekali dengan “janur plastik” yang ber­warna kuning. Jelasbahwayang menonjol pada Janur sebagai alat upacara adalah warna kuning, seperti pada “cengkir kuning gading”. Rupanya janur disini mempunyai arti lambang lain yaitu lebih panjang umurnya daripada cengkir.

Sesuai dengan jalan pikiran tradisi kultur Jawa bahwa pemakaian janur kuning dalam upacara : agar secara simbolis dapat mendatangkan “Kebahagiaan abadi”.

11. Daun puring.

Puring adalah tanaman hias. Tanaman ini banyak didapati di halaman-halaman rumah. Menurut beberapa informan, pemakaian daun ini sebagai alat upacara pendirian rumah, adalah diharapkan dapat menghindarkan sifat amarah atau hal suka marah, kepada penghuni rumah tersebut. Setidak-tidaknya memberikan peringatan kepada calon penghuni agar tidak suka “muring-muring” (marah). Jalan pikiran yang demikian didasarkan pada proses keratabasa, yaitu persamaan bunyi (sajak) antara kata “puring” dengan “muring- muring”.

12. Selendang atau kain panjang (jarik/sewek).

Selendang dan kain-panjang adalah busana kaum wanita Indonesia (Jawa). Keduanya dapat “disampirkan” (diletakkan bergantung), pada hampir setiap tempat.

Pemakaian kedua benda tersebut dalam upa­cara mendirikan bangunan rumah berdasar jalan pikiran analogi masyarakat Jawa-lama; agar keluarga penghuni rumah-baru tersebut (nantinya) dapat “menyisihkan atau menabung” sebagian dari penghasilannya : yang dalam bahasa Jawa diucapkan “bisaa semampir utawa cemantel” (semoga dapat berhemat)

13. Mata uang logam.

Pada zaman dahulu pemakaian uang kertas belum ada. Dengan demikian pemakaian uang logam adalah sesuai dengan proses pertumbuhan tradisi kultur Jawa dalam menggunakan mata uang logam sebagai alat upacara. Uang merupakan sarana dan milik utama ma­nusia dalam hidup bermasyarakat. Orang Yunani pun pada zaman purba menggunakan mata uang logam sebagai alat upacara dalam merawat orang mati. Sebelum dikuburkan, maka mayat seseorang dibekali sebuah mata uang logam, dengan car a dimasukkan ke mulutnya. Menurut kepercayaan orang Yunani kuno – uang tersebut digunakan sebagai ongkos tambang (perahu penyeberangan se­buah sungai) agar almarhum dapat sampai diseberang sana, untuk dapat masuk surga (3,25, 26).

Dalam kultur Jawa : mata uang logam diguna­kan dalam upacara mendirikan bangunan rumah-baru : yaitu dengan meletakkan uang tersebut diatas ke-empat saka gurunya. Maksud yang tersirat pada pemakaian uang tersebut adalah : berharap dapat mendatangkan banyak rejeki (bagi penghuninya, nanti).

14. Cok-bakal.

Unit ini terdiri dari gabungan beberapa benda dalam satu wadah (takir). Wadah ini terbuat dari daun pisang ‘Takir” tersebut berisi :

  1. beras
  2. bumbu empon-empon
  3. gar am
  4. gula
  5. tembakau
  6. sekeping daging kelapa
  7. kembang boreh
  8. seikat daun sirih (bhs Jawa : “Suruh”)

Semua benda tersebut dalam jumlah sedikit- sedikit, artinya : sejumput beras; sejumput gar am; sejumput gula dsb. Demikianlah maka secara rasional-simbolis, cok bakal berisi (menggambarkan) : segala macam kebutuhan hidup rumah tangga dalam kultur masyarakat Jawa-lama. Cok-bakal mengandung pengertian “raau jadi” atau “Pasti jadi”. Arti kata “bakal” adalah : mau; akan; calon atau pun “kain tekstil”.

Namun disini : arti kata “bakal” lebih dekat dengan arti kata “arep” (akan) : keduanya adalah kata-kata dalam bahsa Jawa. Kedua kata tersebut adalah sinonim, namun ada perbedaan besar antara keduanya. Kata “bakal” mengandung pengertian “kepastian yang sangat positif” ; sedang “arep” belum tentu positif. Contoh kongkritnya sbb. :

a) Manungsa bakal mati berarti manusia pasti akan mati.

b) Si Giman mau arep mati berarti si Giman tidak jadi mati.

dengan uraian dan contoh diatas, maka kiranya dapat direkonstruksi-logiskan mengapa ada ”Cok bakal” dalam upacara mendirikan bangunan rumah.

Demikianlah “Cok bakal” melambangkan bahwa harapan mendirikan bangunan rumah dapat dan pasti jadi kenyataan. Serta merta harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga (dilambangkan dengan “benda-benda isi cok-bakal”), dapat dan pasti terpenuhi. Itulah sebabnya jumlah cok-bakal ada 5 buah: yang empat ditaruh dibagian atas kerangka rumah (bhs. Jawa “Kuda-kuda”) sedang yang sebuah, ditaruh ditanah (lantai rumah).

Brabon :

Brabon adalah 2 potong kain  yang diletakkan secara bersusun diatas masing-masing saka guru, yang diatas adalah kain merah yang dibawahnya kain putih yang dilingkari wama biru. Untuk memberi kejelasan tentang ujud kain terakhir ini; baiklah kita “gambarkan” saja. Warna biru lubang : untuk dimasuki pasak; bila dipasang di­atas saka guru (ujung atas saka guru ada pasak).

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm

Comments


Leave a Reply