Sunday, September 8, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Jayenggrana Adipati Pembangkangan, Surabaya

  Adipati Jayenggrana adalah putra dari Onggowongso, Tumenggung Surabaya yang masih saudara kandung dari Tumenggung Onggojoyo di Pasuruan. Jayenggrana (atau…


 

Adipati Jayenggrana adalah putra dari Onggowongso, Tumenggung Surabaya yang masih saudara kandung dari Tumenggung Onggojoyo di Pasuruan. Jayenggrana (atau juga di sebut Janggrana) selain merupakan cucu langsung dari Ki Ageng Brondong dan juga masih paman tokoh pemberontak Sawunggaling.

Sejak awal adipati muda ini mengambil jarak dengan pihak Keraton Kasuhunan Surakarta.Hal ini karena Sunan Paku Buwono bersikap lemah terhadap Belanda. Karenanya ia juga bersikap lemah kepada setiap pemberontakan yang ditujukan

ke Surakarta. Ketika Untung Surapati mengamuk dan menguasai Pasuruan, Adipati Jayenggrana tidak ambil pusing, bahkan cenderung membiarkan. Juga ketika pemberontakan ini menguncang kedudukan Tumenggung Onggojoyo yang tak lain adalah paman dari Adipati Jayenggrana sendiri.

Sikap Adipati Jayenggrana yang non kooperatif ini membuat Belanda dan Kasuhunan kerepotan. Apalagi dengan lemahnya sikap Jayenggrana kepada pemberontakan Untung Surapati yang terang-terangan menantang kekuasaan Surakarta dan Belanda dengan mendirikan kerajaan di Pasuruan. Kedua pihak itu menganggapnya sebagai orang yang pantas disingkirkan.

Tahun 1706,  pemberontakan Untung Surapati berakhir dengan tewasnya tokoh tersebut dalam perangan melawan Pasuruan Kraton Kasunanan Surakarta Hadinigrat sebagai titik awal pemberontakan Jayenggrana. Kawasan pantai Pasuruan, pernah dikuasai Untung Suropati, Belanda di daerah Bangil. Dengan tumpasnya pemberontakan itu, tiga tahun  kemudian, tepatnya pada 7 Februari 1709 Kompeni Belanda memaklumatkan dua tuntutan kepada Adipati Jayenggrana, yaitu; Pertama, Penyerahan kekuasaan atas daerah Wirosobo dan Japanan. Kedua, pencabutan hak atas daerah Sedayu dan Jipang (Bojonegoro).

Adipati Jayenggrono menolak dua tuntutan itu. Karena ia tahu tujuan dari Belanda adalah mempersempit daerah kekuasaan Surabaya atas wilayah-wilayah diatas. Karena dengan luasnya daerah Surabaya akan menimbulkan kesulitan bagi Belanda untuk mengontrolnya selain juga bertujuan memperkecil peran Adipati Jayenggrana secara politis.

Penolakan ini dianggap sebagai sebuah pembangkangan terhadap Kasuhunan dan Belanda. Dengan demikian Belanda membariskan serdadunya untuk menggempur Surabaya.

Jika Belanda ingin menghukum Adipati Jayenggrana dengan kekerasan, tidak demikian dengan Keraton Surakarta.

Karena jika memahami tipikal orang pesisir, penyikapan dengan kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru. Pada tanggal 26 Februari 1709 Adipati Jayengrana di panggil untuk menghadap Sunan Pakubuwono.

Ternyata ini adalah taktik Kasuhunan untuk menyingkirkan Sang Adipati. Di kisahkan oleh Dukut Imam Widodo dalam buku Surabaya Tempo Doeloe, Adipati Jayenggrana memenuhi panggilan itu dengan berpakaian putih-putih dan berpengiringkan sekitar empat puluh orang saja. Sesampai di keraton, Adipati Jayenggrana memasuki keraton seorang diri

setelah memerintahkan para pengiringnya menunggu di alun-alun. Pada jam sembilan pagi saat Jayenggrana akan melintasi gerbang tiba-tiba muncul belasan perajurit Kasunanan yang mengepung dan menyerangnya hingga menemui ajal.

Bersamaan dengan itu ratusan prajurit lain mengepung pengiring Jayenggrana yang ketahuan mulai beringas melihat junjungannya mati. Adipati Jayenggrana terbunuh pada usia 34 tahun. ***

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: JEJAK SIDOARJO dari Jenggala ke Suriname, 
Ikatan Alumni Pamong Praja Sidoarjo, Maret 2006, hlm. hlm 35