Singo Ulung, Tradisi Kabupaten Bondowoso
Setiap daerah mempunyai kebanggaan tentang leluhurnya, sebab leluhur biasanya dapat memberi manfaat terhadap pembentukan identitas dan kepuasan batin. Bagi generasi…
Setiap daerah mempunyai kebanggaan tentang leluhurnya, sebab leluhur biasanya dapat memberi manfaat terhadap pembentukan identitas dan kepuasan batin. Bagi generasi penerus, warisan leluhur ini akan diabadikan dan dilestarikan dalam berbagai bentuk ungkapan, di antaranya dalam wujud tari-tarian. Di desa Blimbing, Kecamatan Klabang, terdapat tari-tarian yang berdasarkan legenda, yaitu Tradisi Singo Ulung. Singo Ulung adalah sebuah gelar terhadap seseorang yang bernama asli Juk Seng.
Singo Ulung adalah seorang bangsawan dari Blambangan Banyuwangi yang suka mengembara. Suatu saat dalam pengembara- annya ke arah barat, secara tidak sengaja memasuki hutan yang dipenuhi tumbuhan belimbing. Kedatangan Singo Ulung ke hutan belantara menarik perhatian seorang tokoh yang hidup di wilayah hutan tersebut, yakni Jasiman. Sudah merupakan kebiasaan dalam masyarakat tradisional, seseorang yang dipandang tokoh mesti diuji dengan berbagai tantangan dan adu kesaktian.
Hal ini dimaksudkan apakah tokoh tersebut mampu menjaga dirinya dengan baik. Kalau sang tokoh sendiri tidak mampu menjaga dan membela dirinya sendiri, tentu juga tidak akan mampu menjaga dan membela rakyatnya. Apalagi dalam masyarakat tradisional, seseorang pemimpin akan berwibawa dan memiliki kharisma apabila memiliki berbagai kelebihan lahir dan batin.
Melihat kedatangan Singo Ulung, Jasiman terpanggil untuk menjajal kesaktian Singo Ulung. Dengan bersenjata tongkat andalan- nya, Jasiman siap bertarung dengan Singo Ulung yang bersenjata keris. Tanpa basa-basi, keduanya terlibat dalam pertarungan. Kedua pendekar itu berusaha keras saling menjatuhkan lawan secepat mungkin. Tetapi karena keduanya sama-sama sakti, setelah pertarungan berjam-jam, belum tampak ada yang kalah. Tampaknya pertarungan berjalan seimbang. Keduanya lalu berhenti. Setelah itu, saling menatap dan tersenyum. Mereka lalu sepakat untuk bersahabat. Singo Ulung pun diterima berdiam di wilayah hutan.
Beberapa saat kemudian keduanya beristirahat di bawah sebuah pohon. Singo Ulung bertanya kepada Jasiman, “Pohon apa ini?” Jasiman menjawab, “Ini adalah pohon Belimbing.” Sejak saat itu daerah hutan belantara diberi nama Belimbing. Kini bekas pohon yang bernilai sejarah ini dibangun sebuah sanggar yang setiap tahun disakralkan dengan acara istigasah.
Singo Ulung dan Jasiman lalu bersepakat membangun desa sebaik mungkin. Ulung sendiri diangkat sebagai Demang yang ber- kuasa tunggal di Desa Blimbing. Pengalaman dan kesaktian keduanya digunakan untuk berbagi kebaikan demi kemaslahatan Desa Blimbing. Air yang semula sulit, berkat sebilah tongkat berhasil memancarkan air, yang lalu dapat dibuat bendungan besar di daerah itu. Dengan adanya bendungan itu, dalam waktu relatif singkat Desa Blimbing menjadi subur makmur. Jasiman yang memfokuskan kerjanya sebagai ulu-ulu banyu, sudah menampakkan hasilnya. Ia berusaha mengatur air sawah secara maksimal sesuai dengan ilmu pengairan yang ia miliki.
Kesuburan dan kemakmuran membuat masyarakat Blimbing sangat percaya kepada kedua tokoh tersebut. Jasiman sebagai orang kepercayaan Singo Ulung, melaporkan suasana dan hasil yang ditanganinya secara teratur kepada Singo Ulung di tempat per- istirahatannya di sanggar. Jasiman selain ahli dalam pertanian, juga sebagai guru yang mengajari murid ilmu kanuragan.
Tidak heran semua murid Jasiman selain ahli dalam ilmu pertanian, juga ahli dalam ilmu kanuragan. Ketika mereka berada di tengah sawah, banyak murid Jasiman mengisi waktu luangnya dengan melatih ke- terampilan kanuragan dengan kegiatan yang disebut “ojung”. Keterampilan ojung adalah ilmu keterampilan yang mengasah ke- saktian berupa saling mencambuk dengan sebuah rotan yang telah diisi dengan magis.
Bagi masyarakat Blimbing, memelihara warisan leluhur mengenang Singo Ulung direfleksikan dengan bentuk tarian Tradisi Singo Ulung. Tradisi ini dilakukan bersama upacara adat setiap tanggal 15 Sya’ban, yaitu kala purnama di langit, menjelang bulan Ramadan. Masyarakat Blimbing sendiri sangat antusias dalam menyambut tradisi tahunan itu. Mereka menganggap sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyangnya yang dibanggakan itu.
Tak heran jika masyarakat dengan suka cita dan rela mengorbankan apa saja yang diminta, mulai dari berbagai jenis bumbu masakan sampai kepada uang. Masakan yang biasa disediakan adalah ayam bakar, tape bakar, tape ketan putih, daging, dan sebagian dari tubuh hewan berupa teli- nga, bibir, dan lidah. Selain itu juga segelas kopi, nasi kuning dan kemenyan. Semuanya itu diletakkan dalam wadah yang disebut dengan “ancak”.
Dalam refleksi tarian Singo Ulung, biasanya dilakukan dua orang, satu di depan untuk menggerakkan kepala Singo Ulung dan satu lagi di belakang sebagai kaki. Dengan iringan gamelan khas Blimbing, penampilan Singo Ulung sangat apresiatif dan atraktif.
Pementasannya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu pementasan Singo Ulung dalam upacara bersih desa dan pementasan Singo Ulung sebagai tontonan untuk umum. Pementasan Singo Ulung untuk bersih desa dilakukan dengan persyaratan pementasan harus dilakukan di tempat berlangsungnya upacara. Selain itu juga, waktunya harus tepat pada tanggal 15 Syaban. Demikian juga sesa- jennya harus lengkap, berupa nasi tumpeng, nasi rasul, biddenggulu, lembur/degan, dudul, tetel jenang panca warna, dan ikan 9 macam. Untuk pementasan tontonan umum tidak perlu persyaratan khusus, seperti tempat, waktu dan macam makanan yang disajikan [::]
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Drs. H. Mashoed, MSi. Sejarah dan Budaya Bondowoso,Papyrus, Surabaya, 2004, hlm. 180-183