Saturday, December 7, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Kesenian atau tari Mung Dhe, Kabupaten Nganjuk

Kesenian atau tari Mung Dhe , adalah salah satu dari berbagai kesenian khas Nganjuk yang berasal dari Kabupaten  Nganjuk. tari…


Kesenian atau tari Mung Dhe , adalah salah satu dari berbagai kesenian khas Nganjuk yang berasal dari Kabupaten  Nganjuk. tari Mung Dhe menggambarkan gerakan perjuangan.

Sejarah kelahiran Kesenian Mung Dhe tidak dapat dilepaskan dari kejadian di Jawa Tengah pada awal abad kel9, yaitu terjadinya Perangan Diponegoro 1825 – 1830. Kegagalan perjuangan Diponegoro di Jawa Tengah mengakibatkan pengikutnya tersebar ke seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di tempat yang baru ini ada diantara mereka yang sekedar mengungsi untuk menyelamatkan diri, dan ada juga yang terus melanjutkan perjuangan walau dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang melalui dakwah keagamaan, lewat kesenian tertentu dan ada juga yang terang-terangan.

Seperti halnya kesenian Mung Dhe yang ada sekarang ini, semula diciptakan oleh sisa-sisa Prajurit Diponegoro yang menetap di Desa Termas Kecamatan Patianrowo. Kesenian ini diciptakan secara bersama-sama oleh 14 orang yang kesemuanya masih ada hubungan keluarga. Ke 14 orang itu adalah : Kasan Tarwi, Dulsalam, Kasan War, Kasan Taswut, Mat Khasim, Suto, Samido, Rakhim, Mat Ngali, Mat Ikhsan, Mat Tasrib, Baderi Mustari dan Soedjak.

Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Dengan gerakan-gerakan yang khas (menggambarkan gerakan perjuangan), yaitu latihan baris berbaris dan adegan perang, tari ini memang sarat dengan nilai perjuangan. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabuhi Belanda yang selalu mengikuti dan mengintai kemana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada, ternyata penyamaran mereka tidak diketahui oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung Dhe tersebut adalah para prajurit yang sedang berlatih baris berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit itu menyamar (menutupi wajahnya) dengan memakai topeng, dengan gerakan-gerakan yang lucu sebagai penthul dan tembem. Kesenian ini kemudian keliling (mengamen) dari suatu tempat ke tempat lainnya, sehingga akhirnya menjadi tontonan rakyat yang digemari dan berkembang pesat tidak hanya di Desa Termas saja tetapi terus berkembang di daerah sekitarnya.

Seni sebagai alat komunikasi yang halus atau sebagai alat penghubung antar jiwa manusia, semua orang tentu sudah maklum. Demikian juga seni tari. Sebagai alat komunikasi seni tari menggunakan gerakan-gerakan anggota tubuh tertentu dengan penuh makna sebagai ungkapan jiwa. Sebagai salah satu alat penyampai pesan gerakan tari harus komunikatif, agar mudah diterima oleh penerima pesan atau penonton. Ungkapan gerakan tari dari awalnya hingga akhir memiliki suatu kesatuan makna dan sekaligus nama. Misalnya : Tari Merak, Tari Tani, Tari Perjuangan, Tari Pergaulan dan lain-lainnya gerakan tarinya tentu menggambarkan gerakan yang diwakilinya. Dalam mengekpresikan suatu tarian yang diwakilinya dituntut kesesuaian tema, makna serta karakter dari tarian yang dibawakannya, sehingga tuntutan kaidah suatu komposisi tari dan ciri khas dari tarian itu sendiri bisa terpenuhi.

Pemeran dan Musik Kesenian Mung Dhe.

Semula secara keseluruhan kesenian ini melibatkan 14 orang pemain dengan masing-masing peran, 2 orang prajurit, 2 orang pembawa bendera, 2 orang botoh dan 8 orang pemain musik dan pengiring. Alat musik sebagai pengiring yang digunakan :

penitir (semacam kempul dalam ukuran kecil yang berbunyi Mung),

Bendhe (semacam kempul yang berbunyi Dhe),

Jur (semacam kempul yang agak pipih yang berbunyi Jur/Gur),

Derodog (semacam tambur),

kempyang (kencer),

Timplung,

Kendang,

Suling.

Dalam perkembangan sekarang ini kesenian Mung Dhe tidak melibatkan 14 pemain, tetapi 12 pemain saja. Pengurangan 2 pemain itu disesuaikan dengan jumlah alat pengiring yang meliputi 6 macam, yaitu penitir, timplung, bendhe, jur, kempyang dan derodog. 

Tata Rias dan Busana

Tata rias muka para pemain kesenian Mung Dhe menggambarkan seorang prajurit bangsawan yang gagah, yakni hanya penambahan atau mempertebal bagian tertentu pada wajah, seperti alis mata, kumis, godhek dan jawas. Tetapi untuk peran botoh yaitu Penthul memakai topeng warna putih dan Tembem menggunakan topeng warna hitam.

Tata busana semua pemain pada dasarnya sama, yaitu berbusana seorang prajurit, sedangkan letak perbedaannya pada masing-masing peran. Warna busana banyak didominasi oleh perpaduan warna hitam, merah dan putih.

Busana asli yang berperan sebagai prajurit adalah irah- irahan merah agak tinggi, sumping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, keris, selendang merah, setagen hitam, epek timang, berkain kuning, jarit parang putih dan celana panji hitam. Busana sekarang memakai blangkon hitam bervariasi kuning keemasan dengan diikat udheng gilig (merah putih), kain merah, selendang merah, baju putih, memakai keris, setagen hitam, sampur merah dan sampur putih, jarit parang kuning dan celana panji hitam.

Busana asli yang berperan sebagai pembawa bendera, memakai irah-irah merah agak pendek dengan variasi kuning keemasan, sumping, kace berwarna merah, baju putih. memakai klat bahu, selempang merah, setagen hitam, epek hitam, kain kuning. jarit parang putih dan celana panjang putih. Busana sekarang sama dengan busana baru peran prajurit, bedanya tidak memakai sampur merah dan sampur putih.

Busana asli peran pengiring, memakai udheng cadhung hitam yang diikat udheng gilig merah putih, kace berwarna merah, baju putih, keris, selempang merah, setagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panji hitam. Busana baru sama dengan busana pembawa bendera.

Busana asli peran botoh (Penthul), memakai udheng cadhung hitam dengan diikat udheng gilig merah putih, kace merah, sampur merah dikalungkan pada leher, baju lengan panjang putih, keris, setagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang warna putih. Busana baru hampir sama dengan busana baru pembawa bendera ditambah memakai topeng warna putih dan sampur putih yang dikalungkan pada leher.

Busana asli peran botoh (Tembem), hampir sama dengan busana asli peran botoh (Penthul) bedanya topeng hitam tidak memakai keris dan celana panjangnya berwarna hitam. Busana baru peran Tembem memakai blangkon ikat kepala warna merah putih, topeng hitam, sampur hijau dikalungkan pada leher, baju lengan panjang hitam dan celana kombor hitam.

Karena kesenian ini juga menggambarkan peperangan, maka bagi mereka yang berperan kalah memakai kace hitam, sampur hijau dan topeng hitam, sedangkan pihak yang menang memakai kaca merah dan sampur putih dan topeng putih.

Gerak Kesenian Mung Dhe.

Sebagai kesenian keprajuritan kesenian ini tidak memerlukan ragam gerak yang banyak dan hanya memiliki 8 ragam gerak. Jadi walaupun dipentaskan cukup lama para pemeran hanya akan melakukan gerakan tertentu saja yang diulang-ulang. Delapan (8) ragam gerak tersebut secara ringkas tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :

  1. Kirapan, jalan berbaris diiringi musik Mung Dhe.
  2. Jalan berpedang, jalan dengan pedang diputar-putar didepan dada, tangan kiri dipinggang (malang kerik).
  3. Maju – mundur, gerakan seperti jalan berpedang dengan gerakan maju mundur.
  4. Gontokan, adu kekuatan di tempat saling merapatkan bahu dikanan kiri dengan pedang.
  5. Perangan Lombo Rangkep, pedang ditepiskan pada tanah, saling serang lamba rangkep (lambat – cepat).
  6. Perangan rangkep, saling berhadapan adu kekuatan pedang saling serang maju mundur.
  7. Perang Berhadap, berhadapan adu pedang atas – bawah secara cepat, lalu pedang ditepiskan pada tanah diadu.
  8. Srampangan, penari saling menyerang (melempar pedang) pada kaki lawan secara bergantian dan saling menangkis.
  9. Tangkisan,  gerakan saling menyerang dan menangkis bergantian yang pertama diatas kepala dan yang kedua didepan dada. 

Upaya Melestarikan Kesenian Mung Dhe.

Sebagai salah satu aset budaya daerah jenis kesenian ini perkembangannya kurang menggembirakan. Untuk waktu yang lama kesenian ini tenggelam oleh kesenian lain, namun sejak tahun 1982 kesenian ini digali dan dikembangkan terutama di daerah asalnya, yaitu oleh SDN Garu II, Kecamatan Baron. Berawal dari SDN ini kesenian Mung Dhe kemudian mulai dikenal kembali oleh masyarakat luas di Kabupaten Nganjuk.

Pada tahun 1985 atas prakarsa Bapak Bupati Drs. IBNU SALAM dikumpulkan para tokoh seni tari di Nganjuk, disamping mendatangkan seniman dari Yogyakarta untuk mengadakan pembaharuan seperlunya dengan tanpa mengurangi keasliannya, ternyata dapat menghasilkan gerak tari yang enak untuk ditonton. Dalam rangka untuk lebih dikenal oleh masyarakat luas, kesenian ini pernah dipentaskan secara massal oleh siswa SDN Kecamatan Nganjuk dalam acara pembukaan PORSENI se Kabupaten Nganjuk. Dalam kesempatan lain kesenian ini diikutsertakan dalam festival tari tradisional di Surabaya dan mendapat penghargaan 10 besar.

Selanjutnya agar kesenian ini tidak tenggelam oleh waktu dan kesenian lain yang baru, perlu diambil langkah demi perkembangan dan kelestariannya, antara lain:

v   Menumbuhkan rasa dan sikap memiliki, turut mengembangkan dan melestarikan, kepada masyarakat terutama tokoh masyarakat, tokoh seni anak sekolah dan organisasi pemuda.

v   Mengusahakan agar kesenian Mung Dhe senantiasa ikut ditampilkan dalam setiap acara yang memerlukan hiburan, diikut sertakan lomba/festival atau acara budaya lainnya.

v   Dalam rangka menunjang kegiatan pariwisata kiranya keseniaan ini bisa ditawarkan sebagai salah satu alternatif kepada wisatawan domestik maupun asing.

v   Mementaskan kesenian Mung Dhe pada kawasan wisata, akan dapat lebih banyak mengundang wisatawan datang ke tempat tersebut. perhatian untuk memperkenalkan kesenian ini.

Dalam kesempatan demikian wisatawan dapat menikmati beberapa jenis kesenian sekaligus pada tempat yang sama, yaitu wisata alam dan wisata budaya. Kesenian Mung Dhe yang merupakan kesenian khas Nganjuk, jika lebih sering ditampilkan pada acara budaya akan dapat mendatangkan keuntungan ganda, yaitu disamping dalam upaya melestarikan kesenian tradisional, menambah semaraknya acara budaya dan juga dapat menambah penghasilan para pemainnya. Dengan bertambahnya penghasilan yang mereka dapatkan tentu akan dapat menimbulkan hasrat dan semangat untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian ini.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Nganjuk dan Sejarahnya
, (Th. 1994).  hlm. 216-222

Comments


Leave a Reply