Sunan Giri, Gresik
Al-Kisah Prabu Brawijaya V penguasa kerajaan Majapahit diserbu oleh Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Prabu Brawijaya gugur dalam pertempuran sengit mempertahankan…
Al-Kisah Prabu Brawijaya V penguasa kerajaan Majapahit diserbu oleh Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Prabu Brawijaya gugur dalam pertempuran sengit mempertahankan ibukota Majapahit. Sementara itu Ratu Dwarawati mengungsi ke Ampeldenta.
Karena penguasa Majapahit yang sah telah tiada, sedang Prabu Girindrawardhana dari Kediri bukanlah dari keturunan Raden Wijaya pendiri Majapahit, maka Sunan Giri memproklamasikan daerah bukit Giri sebagai kerajaan yang berdaulat. Kabar itu terdengar pula oleh Prabu Girindrawardhana. Sang Prabu kemudian mengirimkan dua senopati Telik Sandi yang telah terlatih untuk datang ke bukit Giri untuk membunuh Sunan Giri.
Kedua Senopati itu ialah Lembusura dan Keboarja. Keduanya memiliki kesaktian tinggi dan berpengalaman dalam tugas-tugas rahasia menumpas musuh negara. Keduanya segera berangkat ke Giri Kedaton atau kerajaan Giri. Untuk memasuki keraton Giri keduanya membutuhkan waktu yang lama. Mereka harus memperoleh keterangan- keterangan lengkap mengenai kebiasaan Sunan Giri. Untuk itu keduanya menyamar sebagai penduduk biasa dan bertanya kepada para santri tentang kebiasaan Sunan Giri.
Pada suatu malam, setelah memperoleh cukup data, kedua Senopati pilihan itu telah berhasil menyusup ke wilayah Giri Kedaton. Keduanya bersembunyi di sebuah kolam yang biasa dipergunakan Sunan Giri untuk mengambil air wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud. Langkah beliau terhenti manakala melihat dua orang menghadangnya di tepi kolam. Senopati Lembusura dan Keboarja telah siap dengan keris terhunus. Tapi sungguh aneh, kedua Senopati itu mendadak tubuhnya menggigil ketakutan. Ada perbawa agung yang keluar dari pribadi Sunan Giri. Perbawa aneh yang melumpuhkan otot dan tulang- tulang mereka.
‘Kalian ini mau apa?’, tanya Sunan Giri.
Aneh, Keboarja sedianya hendak berbohong tapi justru lidahnya mengatakan hal yang sebenarnya, demikian pula Lembusura.
‘Kami adalah utusan Prabu Girindrawardana yang ditugaskan untuk membunuh Andika’, jawab keduanya dengan gemetar .
“Kalau begitu laksanakanlah’, ujar Sunan Giri dengan tenangnya.
“Am….ampun Kanjeng Sunan….tubuh kami gemetaran, kami merasa takut kepada Andika. Mohon ampun….kami mohon jangan dibunuh’.
‘Lho?. Kalian ini aneh. Bukankah kalian bermaksud membunuhku?. Mengapa justru kalian yang takut kepadaku’, tanya Sunan Giri
‘Kak….kami.. .mohon ampun….’, kata kedua Senopati itu tersendat- sendat.
‘Baiklah, kalian sebaiknya pulang ke Majapahit.Beritahukan hal ini kepada rajamu’, kata Sunan Giri.
Dengan hati lega kedua orang itu segera ambil langkah seribu, berlari menuju kota raja Majapahit. Prabu Girindrawardhana heran melihat kedua Senopati yang sangat diandalkan itu lari terbirit-birit bagai dikejar hantu. Lebih heran lagi manakala mendengar penuturan pengalaman keduanya saat berada di Giri Kedaton.
‘Gila !’, pekik Prabu Girindrawardhana. ‘Sudah di hadapan orangnya kalian ternyata tak mampu membunuhnya?’
‘Beb…benar, Gusti Prabu….tubuh kami gemetar. Kami merasa ketakutan teramat sangat’
‘Aneh ? Benar-benar aneh….’gumam Prabu Girindrawardhana.
Tapi usaha sang Prabu tidak berhenti sampai di situ saja. Segera sesudah mendengar laporan Lembusura dan Keboarja sang Prabu memerintahkan Mahapatih Majapahit untuk mengumpulkan bala tentara ke Giri Kedaton. Ribuan tentara Majapahit bergerak menuju Giri. Penduduk di sekitar Giri Kedaton ketakutan melihat jumlah tentara Majapahit yang besar itu. Mereka berlarian menuju puncak gunung. Sementara itu Sunan Giri juga sudah mengetahui datangnya pasukan Majapahit dalam jumlah yang besar. Namun beliau hanya bersikap tenang-tenang saja. “Bukan aku yang mencari perkara, tapi mereka sendiri yang menyerang lebih dahulu ke Giri Kedaton”, ujar Sunan Giri sambil memperhatikan pasukan Majapahit dari atas bukit.
Sementara itu laskar Majapahit sudah hampir mendekati kaki gunung, Sunan Giri bersabda: ‘Dimen kelede-leden segara disik, aja nganti bisa munggah ing arga….’. Mendadak sawah-sawah di depan dan di kanan-kiri serta di belakang lasykar Majapahit berubah menjadi lautan. Lasykar Majapahit yang berjumlah ribuan orang tak mampu bergerak. Mereka hanya berdiam diri di tempatnya.
Keadaan itu berlangsung hingga berhari-hari sehingga para prajurit Majapahit banyak yang menderita kelaparan. Sunan Giri tiada sampai hati melihat penderitaan para prajurit itu. Dari atas bukit tiba-tiba berjatuhan umbi- umbian semacam ketela, bentul, dan lain-lain. Lautan yang tadinya mengepung lasykar itu pun akhirnya lenyap, berubah kembali menjadi sawah. Para prajurit Majapahit yang tadinya patah semangat dan lumpuh karena kelaparan itu sekarang bersorak-sorai. Mereka melahap makanan yang seperti didatangkan dari atas bukit.
Setelah prajurit-prajurit itu segar kembali mereka bermaksud kelanjutkan perjalanan ke atas bukit. Rencana menyerang Giri Kedaton mereka lanjutkan.
Ayo, serbu…. hancurkan Giri Kedaton….!’, demikian pekik Mahapatih Majapahit memberi komando. Lasykar dalam jumlah besar itu pun mulai bergerak menaiki bukit.
‘Hem, benar-benar tidak tahu diri’, ujar Sunan Giri
dari atas bukit. ‘Diberi hati meminta rempela ….’
‘Sunan Giri kemudian melemparkan kalarnnya (sejenis pena tulis). Ajaib. Kalam itu berubah menjadi keris, namanya Kalamunyeng. Keris itu melayang-layang dan menusuk prajurit-prajurit Majapahit, sehingga satu per satu prajurit Majapahit berguguran.
Meski demikian Mahapatih Majapahit masih belum jera. Dia masih memerintahkan lasykarnya untuk mendaki bukit dan menghancurkan Giri Kedaton.
‘Hem, benar-benar keras kepala’, ujar Sunan Giri.
Lalu Sunan Giri mengambil segenggam pasir, dilemparkan ke bawah bukit. Pasir itu tiba-tiba berubah menjadi ribuan tawon ganas, menyengat para prajurit Majapahit, sehingga mereka cerai-berai, berlarian tunggang-langgang. Akhirnya lasykar Majapahit kembali ke ibukota dengan menderita kekalahan”.
M.B. Rahimsyah, hlm. 50-56. dalam Makam-makam wali songo