Makam Syekhlbrahim Asmoroqondi, Kabupaten Tuban
Makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi, disebut juga Syekh Ibrahim Asmoro atau Sunan Gesik, karena berada di Desa Gesikharjo Palang. Untuk mencapai…
Makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi, disebut juga Syekh Ibrahim Asmoro atau Sunan Gesik, karena berada di Desa Gesikharjo Palang. Untuk mencapai makam itu, peziarah bisa menggunakan kendaraan pribadi maupun umum melalui jalan utama yang membentang di pantai utara – jalan Raya Daendels – dari arah Tuban ke timur jurusan Paciran – Sedayu – Gresik. Makam kuno yang banyak yang diziarahi umat Islam itu tidak jauh letaknya, di selatan jalan raya, sekitar 200 meter.
Dahulu jalan utama menuju ke makam Syekh Ibrahim Asmoro ialah jalan kecil bergapura di sebelah kanan arah jalan utama Tuban- Gresik.Jalan itu sekarang tidak lagi digunakan sebagai jalan utama menuju ke makam melainkan jalan di sebelah timurnya, yang bertuliskan makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi dalam bahasa Indonesia.Jalan di sebelah barat itu sudah jarang digunakan.
Ketika masuk ke gapura depan makam, tertulis di situ untaian kata yang berbunyi: “sabar, nariman, dan ngalah (di sebelah kiri gapura) dan tulisan loman, akas, dan temen (di sebelah kanan gapura)”. Tulisan ini dibuat kira-kira pertengahan tahun 1900-an. Di sebelah selatan masjid dijumpai pintu menuju ke makam bagi kaum lelaki.Di pintu dalam terdapat tulisan berhuruf Jawa, tapi sudah tidak terbaca lagi. Di depan pintu terdapat gentong berisi air yang biasanya digunakan oleh peziarah untuk minum.
Di kompleks makam Syekh Ibrahim Asmoro terdapat tiga gapura (paduraksa). Gapura ini memiliki bentuk dan corak yang sama. Pertama gapura di serambi masjid.Gapura ini memiliki ornamen garis-garis sebanyak sembilan garis di kakinya.Kayu jati di dalam gapura, lawang kayu berornamen garis sebanyak tujuh garis. Bagian tengah ke atas terdapat lima ornamen dan kemudian kepala gapura. Jika disatukan, maka membentuk kaki, bad an, dan kepala. Jadi membentuk angka 9, 7, dan 5.
Di bagian dalam halaman masjid menuju lokasi makam juga terdapat gapura yang juga berornamen kayu.Di pintu gapura kedua didapati tulisan pahatan yang sudah mulai rusak karena aus dan lapuk. Tulisan itu menggambarkan bahwa pintu gapura dibuat dari pecahan kayu perahu.Menurut kajian Soekarto K. Atmodjo (1982: 18-19) bahwa prasasti singkat itu berbunyi:
jung pecah kinaryo lawang (jung pecah dijadikan pintu) atau
jung pecah kinaryo rana (jung pecah dipakai penutup).
Kalimat jung pecah kinaryo lawang atau jung pecah kinaryo rana bisa berarti sebuah kronogram, jung bernilai 4, pecah berarti 0, kinaryo berarti 3, dan rana berarti 1. Angka itu jika dibalik menjadi 1304 Hijriyah dan kira-kira bertepatan dengan 1816 M. Dipandang dari segi paleografi memang tulisan tersebut berasal dari sekitar abad 18-19.Tahun itu sangat mungkin tahun Hijriah sebab jika tahun Saka berarti berasal dari zaman Majapahit.
Tulisan terakhir juga memang tepat dibaca ‘rana’ yang memang bernilai 1, sebab lawang bernilai 9.Namun demikian, kalimat tersebut mungkin juga bukan kronogram dan hanya kalimat biasa. Selain itu juga terdapat prasasti di bagian kayu pengeret paseban di dalam kompleks makam yang berbunyi: kang amangun pasiban kiyahi …. Sayangnya, tulisan itu sudah tidak terbaca karena aus.
Menurut kajian Soekarto K. Atmodjo (ibid: 18-19) bahwa prasasti singkat itu berbunyi: jung pecah kinaryo lawang (jung pecah dijadikan pintu) atau jung pecah kinaryo rana (jung pecah dipakai penutup). Kalimat jung pecah kinaryo lawang atau jung pecah kinaryo rana bisa berarti sebuah kronogram, jung bernilai 4, pecah berarti 0, kinaryo berarti 3, dan rana berarti 1. Angka itu jika dibalik menjadi 1304 Hijriyah dan kira-kira bertepatan dengan 1816 M. Dipandang dari segi paleografi memang tulisan tersebut berasal dari sekitar abad 18-19.Tahun itu sangat mungkin tahun Hijriah sebab jika tahun Saka berarti berasal dari zaman Majapahit.Tulisan terakhir juga memang tepat dibaca ‘rana’ yang memang bernilai 1, sebab lawang bernilai 9.
Namun demikian, kalimat tersebut mungkin juga bukan kronogram dan hanya kalimat biasa. Selain itu juga terdapat prasasti di bagian kayu pengeret paseban di dalam kompleks makam yang berbunyi: kang amangun pasiban kiyahi …. Sayangnya, tulisan itu sudah tidak terbaca karena aus.
Demikian pula di kompleks makam utama juga terdapat gapura dengan ornamen yang sama. Bangunan makam juga berpola tiga, bangunan bawah, tengah dan atas.Bangunan bawah terbuat dari bata, tengahnya terbuat dari kayu jati dan bagian atas atapnya terbuat dari atap kayu.Paling puncaknya atau mestaka atau mustika terbuat dari bahan perak dengan membentuk kuncup bunga, sebagaimana yang terlihat di makam Sunan Bonang.Selain bangunan utama makam, juga terdapat sebuah bangunan di sisi selatan di dalam kompleks makam utama ialah bangunan bersegi empat, bertiang empat, dengan atap terbuat dari kayu, yang diyakini oleh masyarakat lokal sebagai tempat peristirahatan Syekh Ibrahim Asmoro.
> Riwayat Syekh Maulana Ibrahim Asmoroqondi.
Syekh Ibrahim Asmoroqondi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), makamnya terletak di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.Syekh Ibrahim Asmoroqondi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh kedua abad ke-14.Babad Tanah Jawi menyebut namanya dengan sebutan Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro.Sebutan itu mengikuti pengucapan lidah Jawa dalam melafalkan as-Samarqandi, yang kemudian berubah menjadi Asmoroqondi. Menurut Babad Cerbon, Syekh Ibrahim Asmoroqondi adalah putera Syekh Karnen dan berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini otentik, berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand, melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tyulen, kepulauan kecil yang terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya dia arah barat Laut Samarkand.
Dalam sejumlah kajian historiografi Jawa, tokoh Syekh Ibrahim Asmoroqondi acapkali disamakan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga menimbulkan kerumitan dalam menelaah kisah hidup dan asal-usul beserta silsilah keluarganya, yang sering berujung pada penafian keberadaan Syekh Ibrahim Asmoroqondi sebagai tokoh sejarah. Padahal, situs makam dan gapura serta mihrab masjid yang berada dalam lindungan dinas purbakala menunjuk lokasi dan era yang beda dengan situs makam Maulana Malik Ibrahim.
Menurut Babad Ngampeldenta, Syekh Ibrahim Asmoroqondi yang dikenal dengan sebutan Syekh Molana adalah penyebar Islam di negeri Champa, tepatnya di Gunung Sukasari.Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan berhasil mengislamkan Raja Champa dan diambil menantu.Dari isteri puteri Raja Champa tersebut, Syekh Ibrahim Asmoroqondi memiliki putera bernama Raden Rahmat. Di dalam Babad Risakipun Majapahit dan Serat Walisana Babadipun Parawali, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan datang ke Champa untuk berdakwah dan berhasil mengislamkan raja serta menikahi puteri raja tersebut. Syekh Ibrahim Asmoroqondi juga dikisahkan merupakan ayah dari Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmoroqondi disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti dalam sumber historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel.
Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa.Raja Champa murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmoro beserta semua orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut. Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa.Raja Champa murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmara beserta semua orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut.Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel.
Menurut urutan kronologi waktu, Syekh Ibrahim Asmoroqondi diperkirakan datang ke Jawa pada sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi, bersama dua orang putera dan seorang kemenakannya serta sejumlah kerabat, dengan tujuan menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya, yaitu Dewi Darawati. Sebelum ke Jawa, rombongan Syekh Ibrahim Asmoroqondi singgah dulu ke Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati Palembang, Arya Damar.Setelah berhasil mengislamkan Adipati
Palembang, Arya Damar (yang namanya diganti menjadi Ario Abdullah) dan keluarganya.Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta putera dan kemenakannya melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa. Rombongan mendarat di sebelah timur bandar Tuban, yang disebut Gesik (sekarang Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban).
Pendaratan Syekh Ibrahim Asmoroqondi di Gesik dewasa itu dapat dipahami sebagai suatu sikap kehati-hatian seorang penyebar dakwah Islam.Mengingat Bandar Tuban saat itu adalah bandar pelabuhan utama Majapahit.Itu sebabnya Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta rombongan tinggal agak jauh di sebelah timur pelabuhan Tuban, yaitu di Gesik untuk berdakwah menyebarkan kebenaran Islam kepada penduduk sekitar. Sebuah kitab tulisan tangan yang dikenal di kalangan pesantren dengan namaUsui Nem Bis, yaitu sejilid kitab berisi enam kitab dengan enam bismillahirrahmanirrahim, ditulis atas nama Syekh Ibrahim Asmoroqondi. Itu berarti, sambil berdakwah menyiarkan agama Islam, Syekh Ibrahim Asmoroqondi juga menyusun sebuah kitab.
Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan tidak lama berdakwah di Gesik. Sebelum tujuannya ke ibukota Majapahit terwujud, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikabarkan meninggal dunia.Beliau dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai.Karena dianggap penyebar Islam pertama di Gesik dan juga ayah dari tokoh Sunan Ampel, makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikeramatkan masyarakat dan dikenal dengan sebutan makam Sunan Gagesik atau Sunan Gesik. Dikisahkan bahwa sepeninggal Syekh Ibrahim Asmoroqondi, putera-puteranya Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah beserta kemenakannya, Raden Burereh (Abu Hurairah) beserta beberapa kerabat asal Champa lainnya, melanjutkan perjalanan ke ibukota Majapahit untuk menemui bibi mereka Dewi Darawati yang menikah dengan Raja Majapahit. Perjalanan ke ibukota Majapahit dilakukan dengan mengikuti jalan darat dari Pelabuhan Tuban ke Kutaraja Majapahit.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: TUBAN BUMI WALI; The spirit of harmoni, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban, 2013, hlm.
183 – 191
Comments
Pada alinea ke 7 tentang kronogram, penafsiran penulis bahwa tahun yang digunakan adalah kemungkinan tahun Hijriyah, sehingga bertepatan dengan tahun Masehi.1816. Ini kontradiksi dengan Babad Cerbon, Babad Ngampeldento, maupun Babad Tanah Jawi. Karena dalam babad tersebut dijelaskan sebagai ayah Sunan Ampel, hidup pada zaman Majapahit. Sedangkan angka Tahun 1816 adalah masa penjajahan Barat, peralihan masa Inggris ke masa penjajahan Belanda lagi. Mohon dicermati.
Mohon dicermati Mas, tahun 1816 M itu menunjukkan tahun penulisan digapura. Bukan berarti yg menulis itu beliau.