Nuansa Tiongkok Kuno di Kota Pasuruan
Angan seakan dibawa ke masa 2 abad silam ketika penjelajahan saya sampai di Kota Pasuruan. Hampir di setiap jalan, gedung-…
Angan seakan dibawa ke masa 2 abad silam ketika penjelajahan saya sampai di Kota Pasuruan. Hampir di setiap jalan, gedung- gedung tua dengan nuansa arsitektur Tiongkok memamerkan kekunoannya. Di Jalan Hasanudin, yang memang dikenal sebagai perkampungan Tionghoa lama, terdapat dua bangunan kuno cukup megah. Satu yang sangat terkenal adalah Rumah Singa, bangunan cagar budaya yang menjadi kebanggaan Kota Pasuruan. Disebut Rumah Singa, karena di depan rumah tersebut terdapat dua patung singa yang sama tuanya den¬gan rumah yang ‘dijaganya’. “Gedung ini adalah rumah keluarga Kwee,” jelas Yamin Sastradipura, salah satu tokoh masyarakat Tionghoa Pasuruan. Keluarga Kwee konon merupakan pengusaha paling kaya di kota yang berjarak sekitar 75 kilometer dari Surabaya itu. Hampir segala jenis usaha dan bisnis penting di Kota Pasuruan pernah dimiliki oleh keluarga ini. Status sosialnya, terlihat dari megah bangunan dengan skala yang cukup besar.Ada bangu¬nan utama dan bangunan penunjang yang dipisahkan courtyard, elemen khas bangunan dengan arsitektur Tiongkok. Bangunan tua lain yang cukup megah di Jalan Hasanudin adalah sebuah gedung yang berada di depan Rumah Singa. Bangunan yang sekarang digunakan oleh Yayasan Pancasila ini, dulu adalah kepunyaan HanTik Gwan Khong Shu, perkumpulan keluar¬ga Han. Di dalam areal gedung seluas lebih dari 1 hektar ini, terdapat bong (makam) Han Hoo Tong, ketuaTHHK (Tiong Hwa Hwee Koan) Pasuruan yang pertama. Oleh Yayasan Pancasila, sebuah yayasan yang didirikan oleh warga Tionghoa Pasuruan, beberapa bagian gedung digunakan untuk sekolahan. Tempat Sembahyang Rumah Singa maupun gedung di depannya, memiliki gaya bangu¬nan Indische Empire yang memang ngetrend di Hindia Belanda pada abad ke-19. Menurut Handinoto dalam “Pasuruan dan Arsitektur Etnis China Akhir Abad 19 dan Awal Abad ke-20”, gaya arsitektur ini sangat populer waktu itu, sehingga hampir semua jenis bangunan menggunakannya. Salah satu keunggulan gaya arsitektur ini adalah penyesuaiannya yang baik sekali terhadap iklim tropis lembab. Hampir semua rumah kuno orang Tionghoa di Pasuruan mengacu pada gaya arsitektur Indische Empire tersebut. Terutama rumah-rumah di sepanjang Jalan Raya atau Jalan. Soekarno – Hatta sekarang, Jalan Hasanudin, dan jalan-jalan sekitarnya. Namun yang membedakan, rumah-rumah di Jalan Soekarno – Hatta yang umumnya dibangun pada akhir abad ke-19, pengaruh gaya Tiongkok masih kuat. Rumah-rumah terse¬but, meski bentuk denahnya merupakan ciri khas arsitektur gaya “Indische Empire”, atapnya tetap menggunakan gaya Tiongkok.Yaitu atap pelana dengan nok sejajar jalan dan ujungnya melengkung ke atas dan pengakhirannya berbentuk gevel. Contoh bentuk arsitektur seperti ini bisa dilihat di rumah Jalan. Soekarno – Hatta nomer 41. Sedangkan rumah- rumah di Jalan Hasanudin yang kebanyakan diban¬gun pada awal abad XX, mengacu sepenuhnya pada gaya Indische Empire. Atap pelana sebagai ciri khas arsitektur Tiongkok sudah hilang. “Suatu pertanda yang jelas bahwa rumah tersebut dihuni oleh etnis Tioghoa barangkali terletak pada interior ruang tengahnya, yang dipakai sebagai tempat sembahyang,” tulis Handinoto. Rumah-rumah tua yang mewah pada masanya di atas meru¬pakan peninggalan kejayaan etnis Tionghoa di Pasuruan. Sebelum abad ke-20, Kota Pasuruan yang terletak di Pantai Utara Jawa memang merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar di Jawa. Suatu daerah penting dalam kegiatan ekonomi di masa lampau, sehingga disebut’pasar uang’ yang berkembang menjadi nama Pasuruan sekarang. Klenteng Tjoe Tik Kiong Di antara komunitas Tionghoa di Pasuruan, keluarga Kwee dan Han, pernah menjadi kelompok elit yang sangat menonjol dalam percaturan masyarakat di kota terse¬but. “Dua keluarga inilah yang dulu sangat sukses mengusahakan industri gula di Pasuruan dan seki¬tarnya,” jelas Yamin. Mereka mampu membangun rumah- rumah mewah yang arsitekturnya meng- gabungkan 3 budaya seperti di atas. Selain Rumah Singa dan gedung di depannya, sebagian besar bangunan-bangunan kuno di Pasuruan adalah peninggalan dua keluarga tersebut. Peninggalan keluarga Han lainnya, bisa disebut 2 buah gedung yang ada di Jalan Raya Pasuruan. Gedung pertama berse- belahan dengan SMU I Pasuruan, sangat kental dengan arsitektur Tiongkok, terutama bila dilihat dari atap atau ‘wuwungannya’. Gedung ini pada 1950-an ditem- pati oleh Han Tiauw Hing, pengusaha PO HT, sebuah perusahaan angkutan bus yang sangat ternama waktu itu. Gedung kedua bernuansa Eropa dengan sebuah menara, yang sekarang ditempati kakak beradik Liem Soen Liong dan Liem Soen Ik. Sedangkan gedung lain peninggalan keluarga Kwee, bisa dilihat di Jalan Belitung. Misalnya rumah milik keluarga Kwee Tat Sian dan keluarga Kwee BiauwYong. Juga sebuah rumah di Jalan Belitung Nomer 38 yang oleh pemiliknya sekarang dimanfaatkan untuk budi- daya sarang walet. “Inilah. rumah yang memiliki arsitektur Tiongkok asli, Cung Kuok Ren,” ucap Yamin yang memiliki nama Tionghoa Yap Kong Ing. Tidak boleh dilu- pakan adalah bangunan Kienteng Tjoe Tik Kiong. Kekunoan kienteng yang terletak di Jalan Lombok Nomer 7 ini, tidak perlu disangsikan lagi. Menurut Antariksa, bangunan kien¬teng bergaya arsitektur Tiongkok yang masih asli. Ada atap pelana dengan wuwungan berbentuk melengkung ke atas (chih wei), dan Tou-Kung, sis- tem penyangga atap yang hanya dimiliki oleh bangu¬nan kienteng. Meski tidak tercatat dengan jelas kapan bangu¬nan dewa-dewa ini didirikan, beberapa sum- ber menyebutkan telah berumur 300 tahunan. “Mungkin saja berbaren- gan dengan awal kedatan- gan komunitas Tionghoa di Pasuruan,” kata KausingYudhi Dharma Santosa alias SiauwYoe Liong, rohaniawan kien¬teng tersebut. Seperti umumnya kisah kedatangan imigran Tionghoa di masa lalu, mereka yang awal-awal Meski tidak tercatat dengan jelas kapan bangu¬nan dewa-dewa ini didirikan, beberapa sum- ber menyebutkan telah berumur 300 tahunan. “Mungkin saja berbaren- gan dengan awal kedatan- gan komunitas Tionghoa di Pasuruan,” kata KausingYudhi Dharma Santosa alias SiauwYoe Liong, rohaniawan kien¬teng tersebut. Seperti umumnya kisah kedatangan imigran Tionghoa di masa lalu, mereka yang awal-awal datang di Pasuruan juga tak lupa membawa area suci dewa sesembahan- nya. Kebetulan yang dibawa oleh mereka adalah kimsin Makco Thian Siang Sing Boo dan kemudian dibuatkan rumah untuk memujanya. Tempat pemujaan inilah yang kemudian menjadi Kienteng Tjoe Tik Kiong. “Kimsin Makco di sini masih asli, dari sejak kien¬teng ini didirikan,” jelas KausingYudhi. Kienteng Tjoe Tik Kiong memiliki daya tarik pada jumlah hiolo di dalamnya. Berbeda de¬ngan kienteng lain yang umumnya hanya memiliki satu hiolo besar, Kienteng TjoeTik Kiong mempun- yai tiga. Satu hiolo berada di depan pintu masuk bangunan utama, satu hiolo di depan altar Kongco Kwan Kong, dan satu lagi berada di depan altar Makco Kwan Im. Arsitektur bangunan Kleteng Tjoe Tik Kiong pun bisa mengundang orang untuk mengagu- minya. Mengutip Antariksa dkk dalam “Pelestarian Kawasan Pecinan Kota Pasuruan – Humanisme dalam Sejarah, Budaya dan Arsitektur Cina-Eropa”, bangunan kienteng ter- bentuk dari struktur rangka kayu. Bila dikaji lebih jauh banyak memili¬ki makna filosofis pada bangunannya yang kaya akan simbol dan ornamen menurut kepercayaan Tionghoa. Bangunan Kienteng Tjoe Tik Kiong bergaya arsitektur Tiongkok yang masih asli. Ada atap pelana dengan wuwungan berbentuk melengkung ke atas (chih wei), dan Tou- Kung, sistem penyangga atap yang hanya dimiliki oleh bangunan kienteng. Menurut Antariksa, Kienteng Tjoe Tik Kiong sangat kontras dengan lingkungannya, Pecinan Pasuruan. Karena pada bagian pintu gerbang dan tiang-tiang kolom terdap¬at patung naga, dan pada dindingnya terdapat gam- bar dewa-dewa. Sementara pada atapnya terdapat detail khas Tiongkok dengan domi-nasi warna kuning dan merah. Bentuk bangunannya yang spesifik dibanding bangunan-bangunan lain di Pecinan Pasuruan, membuatnya menjadi landmark kawasan terse¬but. Lokasinya yang bera¬da di perpotongan Jalan Lombok di sisi barat dan Jalan Bali di sisi timur, dengan jelas dapat terlihat dari Jalan Jawa ataupun Jalan Soekarno-Hatta. Kienteng, Rumah Singa, rumah bekas Han Tik Gwan Khong Shu, dan bangunan-bangunan kuno lain di atas sekarang resmi menjadi cagar budaya pemerintah Kota Pasuruan. “Komunitas Tionghoa di kota ini akan turut berusaha melestarikan bangunan- bangunan tersebut, kare¬na menjadi bukti sejarah kejayaan orang-orang Tionghoa di masa lalu,” tegas Yamin. *HK
LIBERTY, 21-31 JULI 2012, hlm. 28-30