Thongthong, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur
L o k a s i. Masih di dalam kota Bandawasa, berada di sepanjang tepi jalan raya menuju kota Jember,…
L o k a s i.
Masih di dalam kota Bandawasa, berada di sepanjang tepi jalan raya menuju kota Jember, sehingga jalan raya itu menjadi batas timur desa tersebut, desa Badean Kecamatan Kabupaten Kota Bandawasa Bandawasa, eks-karesiden- an Besuki, Jawa Timur membentang. Di sebelah utara dibatasi oleh Kota Kulon, kemudian di sebelah barat adalah desa Poncogati, dan Nangkaan membatasi desa itu pada sebelah selatan. Untuk menuju ke kantor desa kita dapat menyusuri jalan Ciptomangun Kusumo Di desa inilah permainan Thong-thong kita ketemukan.
Tetapi sesungguhnya bahwa permainan ini juga tersebar di desa- desa di wilayah Kabupaten Bondowoso, terutama desa-desa dengan ] duduk mayoritas masyarakat Peristiwa Permainan. Serombongan laki-laki yang tidak selalu pasti jumlahnya, kadang-kadang delapan, sembilan, sepuluh atau kurang dari itu, pada malam-malam hari bertugas meronda, berjaga-jaga semalaman menjaga keamahan desa. Untuk menahan diri dari rasa kantuk, mereka menyusuri jalan-jalan desa dengan membawa peralatan yang disebut thong-thong. Alat musik dari bahan batang kayu yang ringan tetapi keras itu,digores memanjang dan djciptakan ruangan di dalamnya, sehingga bil,a dipukul akan terdengar bunyi musik yang enak. Thong- thong dibuat bermacam ukuran sehingga hasilnya adalah nada-nada yang laras antara satu dan lainnya. ‘Kegembiraan yang terjadi karena pukulan-pukulan musik itu menyebabkan para peronda itu betah menjalankan tugas-tugasnya. Semenjak dari pos atau kantor desa, – tempat mereka berkumpul, mereka memainkan sepanjang perjalanan. Diselingi dengan nyanyian-nyanyian rakyat yang mereka kenal atau kadang-kadang nyanyian yang sedang populer pada masanya mereka mengingatkan penduduk agar tidak terlalu lelap tidurnya yang nikmat, melainkan agak waspada juga terhadap kemungkinan terjadinya gangguan keadaan, misalnya pencurian ternak, perampokan, pencurian padi di sawah dan sebagainya. Lagi pula dengan selalu terdengarnya suatu thong-thong, maka bagi penjahat pun dirasakan akan terlalu besar resiko yang ditanggungnya apabila mereka melakukan aksi kejahatannya.
Latar Belakang Sosial Budayanya.
Sebenarnya kebiasaan meronda itu terdapat hampir di seluruh Indonesia, tetapi khusus permainan thongthong yang menyertai kegiatan itu, hanya terdapat pada masyarakat Madura. Perbedaan yang paling tampak dan memberikan ciri khas, adalah alat- alat permainan musiknya yang khusus itu. Demikian pula dengan nyanyian-nyanyian yang dipergunakan pada umumnya adalah nyanyian rakyat Madura. Seperti juga masyarakat Jawa lainnya, kego- tongroyongan dalam memikul beban kehidupan sehari-hari terwujud dalam bentuk-bentuk kegiatan bersama.
Demikianlah dalam menjaga keamanan kampung dilakukan pula prinsip itu. Setiap keluarga wajib mengirimkan salah seorang anggota keluarganya yang laki-laki dan masih kuat phisiknya, untuk pada waktu-waktu tertentu membentuk kelompok-kelompok ronda. Waktu-waktu itu diatur secara bergiliran oleh pamong desa yang berkewajiban untuk itu. Dengan demikian setiap malam selalu ada saja perondaan itu. Dan permainan thongthong pun dilakukan orang setiap malam.
Para Peserta/Pelaksana.
Peserta permainan ini adalah laki-laki dewasa yang bertugas .ronda. Mereka berumur sekitar 20-45 tahun. Dan sebagai mana pen-duduk desa, pekerjaan mereka pun bermacam-macam. Ada petani, buruh, pegawai negeri, guru dan sebagainya. Pendeknya semua laki-laki dewasa penduduk kampung. Mereka mengenakan pakaian mereka sehari-hari. Terutama sarung, selalu tidak pernah lepas dari tubuh mereka, karena kain sarung sangat praktis dalam melindungi tubuh dari udara dingin waktu malam. Di lain waktu dapat digunakan sekedar menutup bagian bawah tubuh. Atau selimut bila mereka men-dapat giliran tidur sejenak di pos penjagaan.
Peralatan /Perlengkapan Permainan
Batang-batang kayu dipotong dengan ukuran yang berbeda-beda dari yang besar sampai yang kecil. Yang terbesar berukuran panjang sekitar 50 — 60 cm dan garis tengah 20 — 30 cm. Dengan membuat goresan memanjang serta membuat ruangan di bagian dalam batang kayu tersebut maka terjadilah alat musik yang disebut thongthong itu. Ukuran ruangan dan goresan pun bermacam-macam sesuai dengan ukuran kayu dan hasil bunyi yang dikehendaki. Variasi bunyi pun menjadi bermacam-macam, tetapi dengan demikian terjadilah harmonisasi bunyi yang enak didengar. Alat-alat itu sendiri sering disebut Dhungdhungan, ataupun thongthong. Yang terbesar disebut ‘Pengorbi’; ukuran yang lebih kecil disebut ‘Pangothik’ atau ‘Penerus’; di bawahnya lagi disebut ‘Pembantu Pangotftik’; selanjutnya adalah ‘Pengemplang’ yang berfungsi sebagai komando
Permainan.
Selain alat-alat tersebut kelengkapan orkestral dari alat permainan ini adalah Seruling dan Terbang (Rebana). Seruling terbuat dari buluh bambu dengan beberapa lobang pembentuk nada, dan sebuah lobang peniup. Rebana terbuat dari kayu yang dibentuk melingkar serta kulit lembu yang dibentangkan pada sisinya. Akan tetapi pada perkembangan kini selain alat-alat musik lain seperti harmonika, gendang, atau segala benda yang menghasilkan bunyi. Penambahan alat- alat musik ini tidak ada tujuan lain kecuali memang sekedar bermain- main mengisi waktu perjalanan meronda. Jalan Permainan.
Dari gardu jaga, rombongan mulai berangkat untuk meronda – keliling desa, ‘Pangemplang’ dimainkan dengan suatu ritma tertentu, yang segera disambut oleh.’Pangothik’ kemudian ‘Pembantu Pango- thik’ disusul ‘Pangorbi’. Alat-alat lainpun segera meresponsenya dalam irama tertentu. Seruling mengisi dengan melodi lagu-lagu rakyat ataupun lagu-lagu yang tengah populer masa kini. Lagu-lagu yang dimainkan antara lain : Kamantanan, Kemolangan, Perkenalan,Tanduk Majeng, Fajar Laggu, Ande-ande Lumut dan sebagainya. Sementara lagu tetap berjalan, kadang-kadang dihentikan sejenak untuk melihat-lihat sekeliling apakah desa benar-benar aman dan tidak ada tanda-tanda ancaman bahaya.
Kemudian permainan pun dilanjutkan lagi. Di beberapa rumah penduduk ada kalanya salah seorang peronda mendekatkan alat musiknya kedinding sambil menyeru pada si empunya rumah, apakah tidak terlalu lelap tidurnya, atau menanyakan apakah cukup aman di rumahnya. Si “empunya rumah akan menjawab apa adanya dengan se- patah dua patah kata. Demikian sampai berjam-jam permainan itu dilakukan sepanjang perjalanan meronda itu. Bila dipandang perlu bahwa perondaan sudah cukup mereka purf kembali ke pos atau gardu jaga untuk bergilir istirahat dan perondaan dengan cara yang sama pun digantikan oleh kelompok yang lain. Sampai akhirnya matahari menjelang terbit permainan itu pun berangsur berhenti.
Peranannya Masa Kini dan Perkembangannya.
Karena penjagaan keamanan oleh masyarakat dengan cara meronda pada waktu ini justru dihidupkan dan sangat dianjurkan oleh pemerintah, maka sendirinya permainan thong-thong inipun masih selalu dilakukan orang. Malahan dengan dikenalnya alat-alat musik yang lain, maka adakalanya orang pun memasukannya juga sebagai kelengkapan. Misalnya harmonika, gendang, keluncing. Lagu-lagu baru yang populer pun dinyanyikan pula dengan ala-alat musik itu, terutama lagu-lagu melayu dan musik dhangdut.
Kecuali untuk kepentingan meronda, alat-alat permainan Thong-thong juga dipergunakan dan dimainkan orang pada peristiwa lain yaitu pada permainan TOTTA’ AN DARA. maka desa menerima semacam ‘sindiran ‘atas kekalahannya. Desa yang menang akan memainkan thongthong dan berduyun-duyun menuju desa yang kalah. Tentu saja desa yang kalah tak boleh marah dengan sindiran itu. Tetapi untuk menutup malunya biasanya pemilik-pemilik merpati itu bersembunyi saja di dalam rumah masing-masing sampai rombongan thongthong itu kembali ke desa asalnya.
Alat musik thongthong yang tadinya sekedar alat permainan dalam mengisi kekosongan waktu meronda itu, selanjutnya ada juga yang dikembangkan menjadi alat musik pengiring lagu-lagu untuk pertunjukkan sebagai suatu penyajian seni musik. Pada perkembangan ditampilkan biduan-biduan. Pertunjukkan semacam ini banyak diselenggarakan untuk pesta-pesta hari besar nasional.
Nyanyiannya pun lagu-lagu yang populer, baik lagu melayu, langgam Jawa, ataupun dhangdut. Namun sejauh itu latar belakang subkultur Madura masih tetap mewarnai penyajiannya.
Tanggapan Masyarakat.
Kegiatan meronda itu sendiri merupakan aspek kerukunan sosial, kegotong-royongan, kewajiban bersama menghadapi masalah bersama, sehingga permainan thong-thong masih tetap diterima dan dilestarikan. Demikian juga dengan fungsinya di dalam Totta’an Dara, suatu permainan lain yang dianggap murah. Bagi para remaja dan beberapa orang tua, permainan thongthong pun masih banyak dipergunakan dan disukai. Sementara itu pengembangannya sebagai alat musik pengiring pertunjukkan lagu-lagu populer daerah, dianggap sebagai peralatan yang tidak terlalu mahal dan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat akan jenis-jenis hiburan murah namun tetap segar. Karena kaitan-kaitannya dengan kepentingan-kepentingan itulah maka permainan musik thongthong dapat dianggap masih tetap digemari oleh masyarakat setempat.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:PERMAINAN RAKYAT DAERAH JAWA-TIMUR; DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH 1983 – 1984, hlm. 143-148