Jejak Kadipaten Terung di Krian – Sidoarjo, Jawa Timur
Batu Manggis Majapahit, Pembuka Misteri Lenyapnya Peradaban. Keberadaan Makam keluarga kerajaan, penemuan Sumur Windu dan Batu Manggis, seakan mempertegas bahwa…
Batu Manggis Majapahit, Pembuka Misteri Lenyapnya Peradaban.
Keberadaan Makam keluarga kerajaan, penemuan Sumur Windu dan Batu Manggis, seakan mempertegas bahwa di lokasi ini dulunya pernah berdiri pusat pemerintahan sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit. Konon Kadipaten ini memiliki nilai strategis hingga adik Sultan Demak sendiri yang harus memimpinnya atas areal seluas 5X6 meter, Sahuri (60) terlihat me- ngerahkan seluruh tenaganya men- cangkul dan mengangkat tanah dari galian.
Dasar lubang itu memanjang dengan kedalaman sekitar 2 meter berisi sedikit air usai hujan semalam.”Sayang tadi malam habis hujan. Kemarin, ketika kering, sampeyan bisa lihat alur batu bata yang memben- tuk dasar tembok memanjang. Dari ujung galian hingga diu- jung lain panjangnya sekitar 5 meter. Dan saya yakin, alur pondasi candi atau apapun bentuknya nanti, masih men- jorok ke dalam tanah,” jnlas lelaki pemilik lahan ini pada LIBERTY.
Dari penggalian awal itu memang terlihat, alur-alur galian yang bentuknya tidak beraturan. Meski begitu, penggalian ini memiliki rnisi besar untuk mengungkap keberadaan jejak kuno Kadipaten Terung. Sebuah nama kadipaten yang sering disebut-sebut pada Babad Tanah Jawa ataupun kitab Negaraker- tagama. Menurut sejarah, kadi- paten ini berdiri pada zaman Majapahit mendekati masa senjanya. Diduga Kadipaten Terung berada di Desa Terung Wetan, Kecamatan Krian, Sido- arjo.
Uniknya, ide penggalian dan pencarian situs bersejarah ini justru muncul dari pelukis kondang Jawa Timur, Jansen Jassien. Ketua Kelompok Pe- kerja Seni Pecinta Sejarah (KPSPS) ini memang sebelum- nya sangat aktif melestarikan berbagai cagar budaya di Jjwa Timur dan khusus Surabaya. “Semua ini berasal dari hati nurani dan niat tulus kami untuk melestarikan akar budaya masyarakat khususnya berkaitan dengan Majapahit. Soal dana kita tanggung bersama karena memang belum ada penelitian serius dari pihak purbakala,” ungkap Jansen Jassien.
Adik Sultan Demak
Dalam Buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu -Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” Prof Dr Slamet Muljana menuliskan, bahwa Raden Hussen atau masyarakat menyebutnya Kusen, penguasa Kadipaten Terung di Krian ini masih memiliki pertalian darah dengan Sultan Demak, Raden Patah. Keduanya adalah anak dari Putri China yang pernah menjadi istri Brawijaya. Hanya saja ketika tengah mengan- dung Raden Patah atau Jin Bun, istri ketiganya itu diha- diahkan kepadaArya Damar, Adipati Palembang. Setelah kelahiran Raden Patah, Arya Damar menikahi putri terse- but. Dan dari perkawinan itu lahirlah Kin San atau Raden Husen yang kemudian me- mimpin Kadipaten Terung.
Konon penempatan adik tiri Raden Patah di Krian ini sebagai strategi untuk memata-matai Majapahit. Karena ambisi besar Raden Patah memang ingin meluaskan kerajaan Islam hingga ke seluruh Jawa termasuk Majapahit yang dipimpin oleh ayahhandanya sendiri. Dan benar saja, strategi ini sangat jitu, karena saat penyerangan ke Majapahit, laskar Demak tidak mengalami kendala karena dukungan in- formasi intelejen dan perbe- kalan cukup memadai yang telah disediakan oleh Kadipaten Terung.
Upaya penggalian yang digagas Jansen Jassien ini bukan tanpa hambatan. Sejak dimulai pada awal Januari 2012 lalu ada saja pihak-pihak yang menaruh curiga. Namun Jassien dan Sahuri sebagai pemilik lahan dan dibantu para relawan, tetap melanjutkan penggalian.”Memang banyak yang mencurigai kami mencari benda-benda pusaka atau berharga, tapi sejak awal saya dan teman sudahberniat hanya mencari keberadaan Kadipaten terung yang banyak ditulis ditulis dipelbagai buku sejarah. Kalau ada orang yang bilang disini banyak pusaka atau benda berharga, silahkan menggali dan kami akan meli- hatnya, apa benar yang mereka omongkan itu,” tegas lelaki gondrong yang lukisannya banyak dikoleksi para pejabat negeri ini.
Sumur Windu & Batu Manggis
Menurut Sahuri, penggalian situs Terung ini berawal dari wisik gaib. Ketika itu ia hendak mencari batu bata yang banyak berserak dipekarangan bela- kang rumahnya. Namun saat hendak mengambil bongkahan batu bata, lelaki yang telah memutih rambutnya ini tak mampu mengambil. “Waktu itu saya sudah curiga, kok batu bata ini tidak bisa diambil. Dan sayapun pasrah, dalam hati saya berkata kalau tidak boleh diambil maka tidak akan saya ambil. Malamnya saya bermim- pi didatangi oleh orang tua yang meminta dibuatkan se- buah sumur. Besoknya setelah saya membakar dupa dan hio, batu bata itu jadi mudah untuk dibongkar.Tapi anehnya sekelompok batu bata ini ternyata sebuah bibir sumur,” kata Sahuri.
Penggalian sumur yang belakang diberi nama Sumur Windu menjadi titik awal penggalian situs bersejarah tersebut. Sumur Windu ini memiliki nilai strategis dan magis bagi kelanjutan pene- muan situs Kadipaten Terung. “Strategis karena penemuan sumur memberikan arah bagi pengungkapan penemuan ba- nguan atau candi yang mung- kin berserak disekitar lokasi. Magis karena dari dalam sumur ini warga menemukan sebuah batu yang sangat mungkin berasal dari masa lalu,” terang Jassin. Oleh Sahuri, batu yang berasal dari dalam sumur di- namai batu manggis. Hal ini mengacu pada bentunya yang sepintas memang mirip buah manggis. Batu andesit yang berbentuk bundar sempurna itu memang mirip buah manggis. Adapun beratnya mencapai
40 kilogram dengan ukuran kelopak manggis di leher atas batu. Sementara pada pangkal- nya terdapat lubang seperti tempat menambatkan tali atau benda lain. “Banyak yang melihat, kelopak manggis pada batu itu mirip Pataka Surya majapahit dengan ukiran dela- pan simping,” rinci ayah dua , anak ini.
Mitos Kesucian
Penggalian situs Terung ini sebenarnya adalah lanjutan dari situs sejarah yang telah ada sebelumnya.Tak jauh dari lokasi ditemukaanya tum- bukan bata merah yang mirip pondasi bangun bersejarah terdapat Makam Raden Ayu Putri Terung. Menurut legen- da masyarakat, Raden Ayu adalah anak kesayangan Raden Hussen. Entah bagaimana kisahnya, secara mendadak Keluarga kerajaan mendapati anak kesayangannya itu tengah berbadan dua. Padahal Raden Ayu Putri mengaku tidak per- nah berhubungan badan dengan lelaki manapun.”Legenda tutur masyarakat menyebutkan, Raden Ayu bisa hamil karena secara tidak sengaja melanggar pantangan keraton. Ketika itu ia memangku pusakanya. Akibatnya Raden Ayu yang gadis hamil,” jelas jassin mengisahkan legenda masyarakat.
Tak urung aib ini membuat Adipati murka hingga memutuskan untuk menghukum mati putri kesayanganya itu. Tapi kisah lain menyebutkan, Putri memilih mengakhiri hidupnya sebagai bukti kesuciannya. Dan sebelum mengakhiri hidupnya, ia sempat bersumpah, jika dia memang bersalah maka darahnya akan mengikuti aliran sungai. Namun jika, ia tak bersalah, darahnya akan melawan arus sungai. Tentu saja ini adalah hal yang tak masuk akal. Tapi sumpah itu terbukti. Bahwa Raden Ayu yang masih suci memang dibuktikan dengan darahnya yang mengalir melawan arah arus sungai yang deras,” kata Sahuri dengan logat Jawanya yang kental.
Tak hanya darahnya, lanjut Sahuri, konon, jasad Raden Ayu Putri ini tidak di makam- kan di atas tanah melainkan di atas perahu. Kejadian aneh terjadi setelah karena hewan terung (semacam tiram besar) datang dan mengganjal perahu tersebut. “Waktu saya kecil, cangkang terung itu masih sering ditemu- kan. Ukurannyapun juga ter- bulang besar antara 30×30 cm, mirip bantal. Konon menurut cerita terung inilah yang membuat jasad Raden Putri tak hanyut menuju laut. Itulah sebabnya mengapa desa saya ini bernama Desa terung,” papar Sahuri.
Ada kemungkinan wilayah Desa Terung ini pada masa lampau berada dipinggir sebuah sungai yang besar atau kemungkinan juga daerah muara. Hal ini dibuktikan oleh banyak ditemukan fosil-fosil binatang laut.Termasuk ba- nyaknya cangkang remis dan terung yang ukurannya berpuluh-puluh kali lipat dengan terung zaman sekarang. “Meski saya bukan seorang arkeolog, tapi saat penggalian saya menemukan banyak hal- hal yang membuktikan jika Desa Terung ini kemungkinan adalah sebuah
Bandar atau pelabuhan yang besar dan maju. Wilayah pelabuhan atau pangkalan angkatan laut pada zaman Majapahit ini dapat dibuktikan dengan tingginya tembok batu bata yang melin- dunginya,” kata Jassien sambil menggambarkan sketsa kasar tentang wilayah dan bangunan yang dulu pernah ada. Situs Terung terbilang aman dari jarahan orang- orang yang mengerti sejarah karena terpendam di dalam tanah. “Dari kesaksian orang- orang tua, termasuk Mbah Sahuri, dulunya wilayah disekitar makam dan lokasi penggalian ini memiliki pagar dari batu batu merah.
Namun pada 1974 ada gerakan besar- besaran menjarah dan men- jual batu bata dari zaman Majaphit terbut. Batu batu tersebut meliki ukuran 24, 22, hingga yang terkecil 16 cm dan masih dalam kondisi yang sangat bagus,” kenang Jansen Jassin.
Akibat serbuan ini, pagar tembok yang tersusun dari batu bata aneka ukuran lenyap dari hitungan bulan. “Kalau tidak salah pagar itu memanjang hingga sepanjang 2 km meter dengan ketinggin satu meter. Banyak bagaimana cepat penduduk menghilang- kan sejarah milik mereka sendiri,” ujar Jassin dengan nada marah. Namun lokasi pagar tersebut memang mel- ingkupi areal sumur windu, serta situs yang diduga sebagai keraton kadipaten Terung. Batu yang tersisa lantas dipakai oleh masyarakat untuk memugar makam Raden Ayu.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : LIBERTY , 11- 20 APRIL 2012
Comments
kemungkinan makan Raden atu terung bukan makam sebenarnya, akan lebih baik di gali saja.
Terima kasih telah mampir di PUSAKA JAWATIMURAN, Sang Marhaen yang kritis salam kenal, sengaja PUSAKA JAWATIMURAN muat tulisan ini bukan sebagai bahan perdebatan, namun sebagai sumber informasi barang kali ada masyarakat Jawa Timur yang mempunyai/menyimpan bahan pustaka/tulisan yang terkait dengan tulisan tersebut. Ya itulah yang menjadi tujuan kami dalam memuat tulisan ini.
Jos!!!
Terung yg kita kenal slm ini adalah Kadipaten Terung setelah masuknya lslam. Adakah informasi kondisi Terung masa Hindu Budha?