Tuesday, October 15, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Kisah Gunung Kelud (2), Kabupaten Kediri, Jawa Timur

JIKA PARA “NASIONALIS” ASTRAL BERHIKMAH KE KELUD Letusan Kelud menjadi perhatian raja terbesar Kerajaan Majapahit: Hayam Wuruk. Kawah Kelud dijadikan…

By Pusaka Jawatimuran , in Kediri Seni Budaya Th. 2012 , at 02/04/2013 Tag: , , , ,

JIKA PARA “NASIONALIS” ASTRAL BERHIKMAH KE KELUD

KELUD 10002Letusan Kelud menjadi perhatian raja terbesar Kerajaan Majapahit: Hayam Wuruk. Kawah Kelud dijadikan tempat membrangus aura jahat keris Empu, Gandring oleh Raja Singosari: Wisnuwardana. Warga sekitar kaki Kelud percaya, berkelebatnya Sayuti yang berpenampilan ala pahlawan PETA Shodanco Soeprijadi adalah isyarat akan meletusnya gunung itu…!

Sendiri konon memanfaatkan bongkahan logam yang jatuh dari langit. Tak diduga, bongkahan logam itu memiliki aura yang sangat jahat, kejam dan haus darah. Terbukti, keris itu berhasil menjabut nyawa Empu Gandring, Akuwu Tunggul Ametung, prajurit Keboijo, Ken Arok dan Anusapati. Setelah membunuh Anusapati dengan keris Empu Gandring, Tohjaya pun naik tahta menjadi Raja Singosari. Namun belum setahun menjadi Raja Singosari, ia tewas dalam sebuah pembrontakan yang dikobarkan oleh Ranggawuni (anak Anuspati) dan Mahesa Cempaka (anak Mahesa Wong Ateleng). Ranggawuni kemudian men­jadi raja Singosari dan bergelar Wisnuwardhana (1248-1268).

Di masa raja ke 4 Singosari ini, perseteruan antar keluarga dalam Dinasti Rajasa berakhir dengan rekonsiliasi. Wisnuwardhana menikah dengan puteri keturunan eks-Kerajaan Kadiri. Kerajaan Kadiri tamat riwayatnya setelah dihancurkan oleh Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari. Wisnuwardhana pun kemu­dian memerintah bersama sepupunya Mahesa Cempaka. Mahesa Cempaka menjadi Raja Angabaya den­gan nama Narasinghamurti. Berabad silam, Jawadwipa (Pulau Jawa) dikisahkan selalu dalam keadaan tidak tenang. Daratannya terombang-ambing, timbul tenggelam terayun oleh gelombang samudera. Kalangan dewata di kahyangan pusing tujuh keliling, hingga akhirnya muncul ide cemerlang Betara Guru. “Jawadwipa, harus diberi pemberat, biar tidak terus terombang-ambing,” demikian ide cemerlang Betara Guru. “Mahameru yang ada di Jambhudwipa (India), ha­rus dipindahkan ke Jawa­dwipa,” lanjut sang betara menjelaskan gagasannya.

Para dewata sepakat Gunung Mahameru itupun, kemudian dipindahkan ke Pulau Jawa. Namun, dalam proses pemindahannya, bagian gunung berguguran di sepanjang perjalanan, hingga menjadi gunung-gunung lain di Nusa Jawa. Satu di antara gunung-gunung itu adalah Kampud (Kelud). Yang lainnya adalah Gunung Katong (Lawu), Wilis, Kawi, Arjjunai (Arjuno) dan Gunung Kemukus (Welirang). Tubuh Mahameru diletakkan agak miring. Menyandar pada Gunung Brahma (Bromo), hingga akhirnya menjadi Gunung Sumeru (Semeru). Sedang puncak Mahameru didirikan, hingga menjadi Pawitra atau Gunung Penanggungan.

Masih ada cerita lain, menyangkut keberadaan Gunung Kelud. Konon, kawah gunung itu sebenarnya merupakan kuburan dari keris Empu Gandring. Meski kebenaran atas kisah ini masih perlu pembuktian, namun banyak warga yang terlanjur mempercayainya. Tetapi sejarah mencatat, betapa haus darahnya keris ciptaan empu itu. Selain merenggut jiwa si penciptanya (Empu Gandring) sendiri, juga merenggut jiwa pemesannya (Ken Arok) dan beberapa raja Singosari (1222-1254) lainnya.

Bayang-bayang kutukan Empu Gandring, terus menghantui pemerintahan bersama itu. Untuk memutus mata rantai kutukan, pemerintah bernisiatif menghancurkan keris buatan Empu Gandring itu. Senopati Bungalan ditugasi melarung keris itu ke kawah Gunung Kampud (Gunung Kelud). Di titik didih yang sangat menyengat, keris itupun hancur lebur dan berbekas.

Namun lebih-kurang setahun kemudian, raja kembar itu bermimpi bersama-sama tentang hal yang sama, tetapi dengan bentuk berbeda bahwa Bungalan ternyata telah berbohong. Keris itu belum dilarung. Tetapi di hadapan raja, Bungalan bersumpah bahwa tugas benar-benar telah dilaksanakan. Sumpah Bungalan itupun dikuatkan oleh para prajurit yang ketika itu menemaninya naik ke puncak Kampud.

HYANG ACALAPATI
Dalam perkembangannya, Kelud menjadi gunung berapi aktif yang memiliki tabiat paling aneh, di antara sejumlah gunung berapi aktif di Indonesia.Walau disebut-sebut sebagai gunung berapi aktif tercebol (1.731 mdpl) di Indonesia, namun jika meletus kedahsyatannya amat menggetarkan.

Sejak abad ke 15, Kelud telah merenggut korban lebih dari 15 ribu jiwa. Pada tahun 1586, letusannya merenggut lebih dari 10 ribu jiwa. Kemudian untuk meminimalisir korban, sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar dibuat secara ekstensif pada tahun 1926, dan masih berfungsi hingga kini.

Sepanjang abad ke 20, Gunung Kelud tercatat 5 kali meletus. Masing-masing terjadi pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966,dan 1990. Aktivitas vulkanologi gunung inipun kembali mengeliat, setelah 17 tahun tidur tenang. Pada sekitar medio November 2007, pihak VMBG (Vulkanologi daft Mitigasi Bencana Geologi) sempat menerapkan status awas pada singasana Lembusuro dan Mahesasuro itu.

Kitab Negarakertagama pun menyebutkan, raja Hayam Wuruk mengunjungi Palah untuk melakukan pemujaan terhadap Hyang Acalapati atau Raja Gunung Girindra. Yang dimaksud Palah adalah sebuah kompleks candi yang terletak di sisi lereng barat daya Gunung Kelud atau sekitar 12 km dari Kota Blitar. Karena berada di Kelurahan Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, maka orang lebih akrab menyebut Palah dengan nama Candi Penataran.

Kompleks Candi Penataran yang dipugar antara 1917-1918 itu, sebelumnya terbenam oleh material vulkanik erupsi Gunung Kelud. Bernet Kempers menyatakan, Candi Penataran mencakup masa 250 tahun, dari tahun 1197 (masa Kerajaan Kediri) hing­ga 1454 (masa Kerajaan Majapahit). Sedang gugusan candi tersebut ditujukan untuk memuja Dewa Siwa sebagai Dewa Gunung.

Hayam Wuruk sebagai inkarnasi dewa gunung, mengunjungi tempat ini dalam rangka berziarah sambil menguatkan legitimasinya pula. Konon, dia juga bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati, untuk memohon keselamatan semua makhluk dari bencana letusan Gunung Kelud.

Tak berlebihan, jika Hayam Wuruk memohonkan keselamatan rakyatnya dari bencana letusan Gunung Kelud.Tftapi, tidak semua warga di sekitar kaki Gunung Kelud tahu akan hal itu.Yang mereka tahu, terutama warga Kecamatan Nglegok sebuah daerah rawan satu Gunung Kelud adalah sosok misterius yang akrab dijuluki Sayuti.

Mitos sosok Sayuti dikaitkan dengan kapan kira-kira Kelud meletus. Sayuti sendiri digambarkan sebagai sosok pria atletis yang telah menghilang sejak tahun 1945. Setiap kali Gunung Kelud akan meletus, laki-laki asal Kelurahan Kedungwaru, Kecamatan Nglegok, akan pulang ke rumah. Dan, beberapa hari setelah warga melihat Sayuti di rumahnya, Gurung Kelud hampir bisa dipastikan akan meletus.

Dalam setiap pemunculannya, penampilan Sayuti hampir selalu mengingatkan warga pada seorang tokoh legendaris PETA: Shodanco Soeprijadi. Mulai dari wajahnya, gerak-geriknya serta pakaian yang dikenakan Sayuti, mirip sekali dengan Shodanco Soeprijadi. Benarkah sejatinya Sayuti itu Shodancho Soeprijadi yang pahlawan PETA itu, tak ada yang berani memastikan. Tetapi yang jelas, warga Nglegok akan merespon dengan sangat antusias, jika diajak ngobrol tentang tokoh misterius ini. Katanya, beberapa hari sebelum letu­san Kelud di tahun 1951, 1966 dan terakhir 1990 – Sayuti juga pulang ke rumah. Tetapi, setiap kali pulang tidak pernah lama. Setelah menghilang dari kepulangannya, selang satu atau dua hari kemudian Gunung Kelud meletus. (Emte)

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil  Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : LIBERTY,11-20  APRIL  2012,

Comments


Leave a Reply