Tuah Kiai Pradah, Kabupaten Blitar
Upacara Adat Siraman Gong Kiai Pradah merupakan tradisi turun- temurun yang dilaksanakan masyarakat Lodoyo, Blitar Selatan tiap tanggal 1 Syawal…
Upacara Adat Siraman Gong Kiai Pradah merupakan tradisi turun- temurun yang dilaksanakan masyarakat Lodoyo, Blitar Selatan tiap tanggal 1 Syawal dan 12 Maulud (Rabiul Awal). Kegiatan yang dilaksanakan di halaman kantor eks Pembantu Bupati Lodoyo Timur, Kecamatan Sutojayan yang berjarak 10 km dari arah tenggara Kota Blitar ini, selalu mengundang masyarakat, karena diyakini punya nilai-nilai magis.
Kiai Pradah adalah sebuah pusaka berbentuk gong (kempul laras 6) milik Pangeran Prabu, putra raja Mataram dari salah seorang selir. Bangsawan ini terusir dari lingkungan keraton karena dituding berambisi menduduki tahta kerajaan yang pada saat itu telah menjadi hak putra mahkota, Paku Buwono I.
Dalam pembuangan, Pangeran Prabu mengajak isterinya, Wandansari, disertai seorang abdi, Ki Amat Tariman yang membawa pusaka berupa gong bernana Kiai Bicak. Ketiganya berjalan jauh hingga sampai di kawasan hutan belantara Lodoyo. Di tengah rimba itu mereka bertemu dengan Nyai Potrosuto, seorang j anda di DesaNgekul.
Setelah melepaskan lelah beberapa waktu, Pangeran Prabu mengajak isterinya melanjutkan pengembaraan. Ki Amat Tariman tidak diajak, melainkan mendapat tugas menjaga Kiai Bicak yang dititipkan kepada Nyai Potrosuto. Wasiat yang diberikan Pangeran Prabu, agar pusaka itu dimandikan setiap tanggal 1 Syawal, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan tangal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan
peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW.
Perjalanan hidup Pangeran Prabu tampaknya memang dihabiskan dalam pengembaraan. Takdir lain yang harus diterima, isterinya selalu gagal memiliki anak. Berkali-kali hamil, namun si orok tidak berhasil diselamatkan. Ini terjadi sampai di tempat peristirahatan terakhir mereka di Gunung Pranti. Terputusnya generasi Pangeran Prabu ini menyebabkan musnahnya keturunan sang bangsawan.
Bersamaan dengan perjalanan waktu, Ki Amat Tariman dan Nyai Potrosuto menghabiskan hidup mereka dalam pengabdian menjaga pusaka Kiai Bicak. Suatu ketika, Ki Amat Tariman memukul pusaka itu. Namun ajaib, yang muncul kemudian seekor harimau besar yang sangat penurut. Binatang itu tidak mengganggu, malah menjaga kedua orang itu.
Mitos tersebut bertahan terus-menerus sepanjang masa hingga sekarang. Sebutan Kiai Bicak berubah menjadi Kiai Pradah atau Mbah Pradah. Ki Amat Tariman punya keturunan dan beranak-pinak. Meski akhirnya abdi setia itu meninggal, namun tugas merawat pusaka warisan itu diteruskan anak-anaknya. Setiap kali dilakukan pencucian pusaka itu, masyarakat berbondong-bondong mendatanginya. Mereka meyakini, air jamasan, bekas cucian pusaka, bunga setaman, boreh (semacam bedak hasil ramuan tradisional), dan nasi untuk kenduri mengandung tuah magis. Bahkan para pedagang pun berebut untuk bisa berjualan di sekitar lokasi siraman, karena diyakini setelah berjualan di tempat itu dagangannya bisa laku keras. Itu sebabnya, tradisi ini selalu ditunggu-tunggu masyarakat.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Blitar, Mutiara dari Selatan, hlm. 73