Tiban, Kabupaten: Kediri, Trenggalek, Tulungagung dan Blitar
Permainan Tiban masih bisa dinikmati di Kabupaten : Kediri, Trenggalek, Tulungagung dan Blitar (Jawa Timur). Nama Permainan. Istilah “Tiban” berasal…
Permainan Tiban masih bisa dinikmati di Kabupaten : Kediri, Trenggalek, Tulungagung dan Blitar (Jawa Timur).
Istilah “Tiban” berasal dari kata dasar “tiba” bahasa Jawa yang berarti “jatuh”. “Tiban mengandung arti timbulnya sesuatu yang tidak diduga semula, tidak diketahui bagaimana, Suatu analogi : “sumur tiban” = sumur yang semula tiada, suatu ketika tiba-tiba ada. Dukun tiban = seseorang yang mendadak menjadi dukun, mahir dalam segala jampi-jampi, padahal sebelumnya orang biasa saja. Dalam konteksnya dengan peristiwa di desa Purwokerto tersebut, maka tiban di sini menunjuk kepada hujan yang jatuh dengan sekonyong-konyong, tahu-tahu ada begitu saja, seolah-oleh jatuh dari langit. yang dalam percakapan sehari-hari disebut udan tiban, udan = hujan”. Latar Belakang Sosial Budaya.
Kapan timbulnya permainan tiban tidak diketahui. Yang pasti, menurut informan, sudah beberapa generasi, jauh lebih dini. Hal ini dikaitkan dengan cerita yang menuturkan asal mula terjadinya Tiban itu sendiri. Jauh di masa lampau, demikian dikisahkan, entah kapan, dataran lembah Brantas yang terapit oleh gunung Wilis dan Kelud sangatlah subur. Usaha pertanian menghasilkan panen yang sangat berlimpahan setiap tahun. Dan penduduk pun menjadi kaya raya. Tetapi manusia adalah manusia dengan segala kelemahannya. Kekayaan materiil- yang berlimpahan ternyata membuat manusia lambat laun lupa diri, dan akhirnya dikuasai oleh rasa egoisme yang menjadi- jadi. Timbul persaingan pribadi antara satu dengan yang lain, yang sering kali berubah menjadi permusuhan, hingga menumbuhkan perasaan tak aman lagi dalam hati masing-masing.
Orang dulu masih percaya benar akan kekuatan-kekuatan magis, yang mampu memberikan kekebalan orang untuk menguasai dan sekaligus pun untuk perisai diri terhadap “kejahatan” lawannya bersaing. Demikianlah rasa keguvuban dan kerukunan semula menjadi langka, dan orang sudah berprasangka buruk terhadap sesamanya. Pada suatu ketika datang musibah yang menimpa daerah yang subur makmur itu. Musim kemarau berkepanjangan. Hujan tak pernah kunjung tiba. Sawah ladang menjadi kering, panen pun gagal. Timbul kelaparan dan penyakit. Banyak ternak dan penduduk yang mati.
Kepala desa Purwokerto (Ngimbang sekarang, kecamatan Ngadiluwih, sebelah selatan kota Kedir)i, orangnya tua dan saleh lagi baik hati. Melihat penduduknya menderita, ia tidak sampai hati. Maka dilakukannya “tapa pepe”, yakni pertapa dengan menjemur diri di bawah terik matahari. Maksudnya memohon pengampunan kepada Tuhan bagi rakyatnya, agar dibebaskan dari penderitaan, dan desa Purwokerto diberi hujan, agar pulih kembali kesuburan tanahnya seperti semula.
Sudah berhari-hari ia melakukan “tapa pepe”, namun Tuhan rupanya belum mengabulkan. Diteruskannya tapanya dengan tekun dan khidmat, tiada putus asa. Penduduk sekitar yang melihatnya menjadi iba, tergerak hatinya untuk solider ikut melakukan tapa pepe. Lambat laun menyusul juga yang lain-lain, seorang demi seorang, akhirnya menjadi banyak.
Pada suatu hari, seperti dalam mimpi, sang Kepala desa mendengar suara nyaring membisikkan peringatan, bahwa manusia telah berbuat dosa karena berpaling dari Tuhan untuk memuja kebendaan dan bernafsu memperoleh kekuasaan dengan mengandalkan kekuatan kekebalan. Kembalilah kepada Tuhan, dan manusia akan selamat tanpa kekebalan sebab kekebalan itu sendiri pun dosa, karena hanya mengundang musuh dan mengingkari kekuasaan Tuhan. Tebuslah dosa dengan menyiksa diri dan mengorbankan darah manusia menitik ke bumi.
Suara itu lenyap. Sang Kepala desa menyudahi tapanya diikuti oleh yang lain. Sejak itu ia memeras otak untuk mencari jalan apa yang harus dilakukan untuk memenuhi tebusan dosanya, dosa manusia. Mengorbankan darah manusia, bagaimana caranya ? Tetapi yang didengarnya dalam tapanya, menitikkan darah manusia ke bumi dengan menyiksa diri.Tiba-tiba tahulah ia hikmah kata-kata itu. Maka diperintahkannya anak buahnya dan orang-orang yang telah ikut melakukan tapa pepe untuk membuat beberapa cambuk dari “sada aren” yang kuat dengan ujungnya sengaja dibuat kasar dengan simpul-simpul kecil dari potongan sada aren pula, sehingga mirip kawat berduri layaknya. Dalam pada itu disampaikan maksudnya dengan cambuk itu sebagai sarana penebus dosa.
Pada suatu hari penduduk desa Purwokerto digemparkan oleh tamasya mengerikan yang belum pernah mereka saksikan selamanya- Di halaman yang luas di muka rumah pak Kepala desa, pak Kepala desa sendiri bersama beberapa orang lainnya menyiksa diri dengan melecut-lecutkan cambuk sada aren ke punggung dan dada masing-masing yang tiada berbaju itu. Babak belur luka memar memenuhi dada dan punggung, tetapi tak setitik pun darah menetes. Ternyata dengan melecuti badan sendiri, tidak memenuhi harapan. Maka pak Kepala desa mengubah cara. Mereka berpasang-pasangan dan saling melecut, dengan demikian lecutan lebih keras menimpa dan mengucurkan darah. Demikianlah tamasya itu berlangsung cukup lama, darah pun sudah banyak bercucuran di tanah namun rupanya mereka belum berniat menyudahi, bahkan ulah mereka semakin gila seperti keranjingan layaknya.
Tiba-tiba terjadi mujijat. Cuaca mendung, hawa pun terasa semakin sejuk, dan akhirnya turun hujan lebat seperti tercurahkan dari langit. Lecut-melecut berhenti. Semua bersyukur. Waktu itu bertepatan dengan tibanya bulan Suro. Dengan peristiwa mengesankan tersebut penduduk desa Purwokerto (Ngimbang namanya kemudian), pada tiap-tiap bulan Suro atau kalau musim kemarau panjang, memperingati dan merayakan dengan membuat tradisi upacara Tiban.
Latar Belakang Sejarah Perkembangan.
Setelah Tiban menjadi tradisi dari tahun ke tahun, maka lambat laun mengalami perkembangan dan perubahan dalam pelaksanaan Peraturan permainan diadakan demi keamanan dan kejujuran bagi para pelakunya, sehingga pelaksanaannya tidak dilakukan secara serampangan asal jadi saja, melainkan harus mengikuti ketentuan-ketentuan obyektif yang sudah dimufakati bersama. Misalnya jarak antara yang melecut dan yang dilecut harus sedepa, tidak boleh jauh, karena lecutan dari jauh sangat berbahaya. Barangkali untuk mengon-trol jarak ini, para pelaku diharuskan mengenakan kain panjang yang dililitkan di pinggang sebagai sabuk, dengan simpulnya di depan, se-hingga pelaku yang mendapat giliran melecut dapat memegang ujung kain lawannya yang terjumbai dengan tangannya yang satu. Tetapi hal ini tidak selalu dipatuhi, mungkin karena sudah rutin, pelaku masing-masing sudah dapat mengatur dan menjaga sendiri jarak yang sudah ditentukan.
Karena “Tiban” pun menjadi suatu upacara ritual, maka untuk lebih memantapkan sifat-sifat kesakralannya, orang lalu menambahkan hal-hal yang dipandang sebagai suatu kelengkapan sesuatu upacara, yaitu saji-sajian (Jawa = sajen) berikut segala perinciannya, dan lain-lain. Salah satu kelengkapan upacara khusus untuk Tiban ialah disiapkan sebelangan dhawet semacam air cendol, yang pada akhir upacara disirat-siratkan ke atas sampai habis, sebagai prasemon lambang turunnya hujan. Upacara tiban memang dimaksudkan sebagai upacara minta hujan. Sementara kelompok tiban yang lain ada juga yang mengambil sebagian dhawet untuk diberikan kepada para pelaku untuk diminum.
Peserta dan Pelaksana.
Jumlah peserta dalam permainan tiban tidak tetap. Sebab dilakukan secara berpasang-pasangan, paling sedikit tentunya dua orang tetapi hal demikian tidak pernah terjadi. Biasanya puluhan orang yang datang. Maka singkat atau lamanya permainan bergantung kepada kecil atau besarnya jumlah peserta. Semuanya laki-laki dewasa antara 20 — 40 tahun. Di samping itu masih ada seorang wasit yang memimpin jalannya permainan, dan dua orang pelandang sebagai pembantunya. Katiganya termasuk sebagai dedengkot tiban maka usianya pun rata- rata lebih dari 40 tahun dan menguasai benar-benar seluk beluk permainan “tiban” sampai mendetail. Karenannya kewibawaan mereka pun cukup besar. Hal ini diperlukan untuk memelihara sportifitas dalam permainan.
Selain orang-orang yang tampil di depan layar tersebut, masih terdapat kelompok lain yang bekerja di belakang layar yaitu penabuh gamelan, biasanya 4 orang seorang penggendang, seorang penggam- bang, dan dua orang pemain thongthongan. Karena tiban pada hakekatnya permainan upacara minta hujan, yang erat hubungannya dengan dunia pertanian, maka perserta- nya adalah petani, dengan segala tradisi kepercayaan dan struktur kehidupan masyarakat yan& komunal. Maka karakter yang menonjol pada permainan tiban ialah sifat-sifat nya yang loyal, guyub, rukun, toleran dan sportif. Sifat komunal ini tidak saja dibawakan antara sesama warga satu desa saja, melainkan meluas antara warga desa yang satu dengan yang lainnya, bahkan sampai-sampai keluar melibat daerah yang lebih besar lagi. Bukan hal yang luar biasa, apabila suatu ketika kita menyaksikan orang-orang dari berbagai daerah, dalam hal ini sudah barang tentu daerah Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Blitar, bertemu di satu arena permainan.
Tempat, Peralatan dan Perlengkapan lain-lain.
Untuk tempat dilakukan tiban, diperlukan adanya sebuah arena, dapat berupa tanah lapangan atau halaman, atau sebuah panggung terbuka. Pada awal mulanya memang digunakan tanah lapangan atau halaman yang luas. Untuk arenanya sendiri cukup dengan ukuran kira-kira 5×5 meter persegi, atau tepatnya sebuah lingkaran dengan radius 3 meteran, selebihnya untuk penonton. Karena sifatnya yang konumal dan tiban pada dasarnya bukan suatu tontonan, maka batas antara penonton dan pemain sebenarnya tidak ada. Arena dibuat sendiri oleh penonton yang berdiri atau berjongkok paling depan yang membentuk sebuah lingkaran. Kalau toh diperlukan sebuah panggung maka panggung itu dibuat setinggi 1,25 meter, dan ukuran luasnya 5×5 meter persegi seperti tersebut di atas.
Alat permainan yang pokok ialah cambuk, atau istilah setempat pecut, terbuat dari sada aren. Bahan ini mudah didapat karena daerahnya memang kaya akan pohon aren atau enau ini. Proses pembuatannya seikat lidi aren terdiri atas ±15 batang lidi yang terpilin menjadi satu. Dibeberapa bagian diberikan suli, yaitu pengikat terbuat dari anyaman kulit pelepah aren itu sendiri,atau dari kulit bambu yang teranyam halus. Untuk satu cambuk diperlukan 3 ikat yang dipilin lagi menjadi satu, sehingga kita mendapatkan sebuah eambuk yang kuat, lentur, dilengkungkan sejadi-jadinya tidak akan Patah, dan dapat dilecutkan secepat kilat dengan mudah. Dari tengah sampai ujungnya dipasang simpul-simpul kecil dari potongan lidi sehingga cambuk itu pada bagian ujung nampak seperti kawat uri. Untuk mericegah hal-hal yang tidak diharapkan, cambuk dicapkan oleh panitia. Tidak diijinkan pemain membawa cambuknya s° Tentang busana sebenarnya tidak ada ketentuan yang mengikat, terserah kepada selera masing-masing, tetapi badan bagian atasharus telanjang. Namun terdapat kelompok tiban yang dalam upacara ritualnya semua mengenakan baju dan celana komprang berwarna hitam, dengan kain panjang batik yang dililitkan sebagai ikat pinggang -sebagai simpulnya di muka dan kedua ujungnya menjulur ke bawah. Sebagai tutup kepala mereka mengenakan udheng ikat kepala bukan dhesthar blangkon. Kalau permainan dimulai, maka mereka baru membuka bajunya masing-masing.
Iringan / Tetabuhan.
Instrumen yang digunakan untuk mengiringi permainan “tiban” berupa sebuah gambang, sebuah kendhang besar, dan sebuah thongthongan (kadang pun dua : besar dan kecil). Gambang adalah sejenis alat gamelan, terbuat dari bahan kayu, berupa bilahan sebanyak 18 buah, tersusun berurutan dari nada yang rendah sampai nada yang tinggi. Nada rendah ditandai dengan bilah tipis panjang, nada tinggi dengan bilah tebal pendek. Di antaranya terdapat nuansa-nuansa nada-nada yang tersusun berurutan mulai yang rendah sebelah kiri (bilah tipis panjang) ke kanan semakin me-ninggi (bilah semakin tebel memendek). Bilah-bilah tersebut tersusun berjajar bertopang pada kotak resonansi, yang bentuknya memanjang sesuai dengan ukuran bilah-bilanya. Sepasang alat penabuhnya terbuat dari bahan kayu atau tanduk, berbentuk bundar pipih bergaris tengah ± 6 sentimeter, pada pinggirnya dililitkan kain atau benang lawe. Akhirnya diberi bertangkai sepanjang +-30 sentimeter.
Dalam permainan tiban, peranan gambang membawakan sebaris lagu yang pendek, yang selalu diulang-ulang, dengan tehnik pukulan yang improvisataris. Peranan gendhang memberikan jiwa pada gerakan-gerakan tertentu yang dibawakan oleh setiap pemain. Tetapi karena kendhang-nya semacam kendhang ghede, (yang biasa digunakan untuk mengiringi gendhing-gendhing gedhe di Jawa Tengah), maka suaranya tidak selantang kendhang yang berukuran lebih kecil. Hal ini memang sengaja dibuat demikian, karena iringan tetabuhan adalah sekunder. Perhatian penonton harus dipusatkan kepada permainan Tibannya, bukan pada iringannya.
Suatu instrumen lagi ialah thongthongan, terbuat dari seruas bambu yang diberi garis lubang di satu sisinya. Ketika memainkannya, thongthongan dipukul secara ritmis, dan tangan yang mahir mampu membuat suara yang cukup bervariasi. Lebih lagi kalau menggunakan dua thongthongan, yang karena ukurannya berbeda mengeluarkan nada bunyi yang berbeda pula, maka variasi tersebut dapat diperkaya. Ketiga jenis instrumen, yang sayup-sayup membawakan alunan musik yang sederhana melatarbelakangi permainan tiban demikian itu ternyata mampu menimbulkan bermacam-ragam perasaan yang menyatu : sendu, gembira, dan ngeri, namun sekaligus menarik.
Jalan Permainan
Jika demikian akan dimulai, maka iringan tetabuhan pun segera berbunyi. Sementara itu tampil dua orang pelandang, masing- masing, menempati sisi yang berhadapan. Mereka memanggil jago masing-masing sedang seorang membantu mencatat nama dan daerah tempat tinggal, (jaman dulu pencatatan demikian tidak dilakukan). Kedua jago tampil, saling bersalaman, dan wasit menyerahkan sebuah cambuk seorang, tiap jago memilih sendiri sekian cambuk yang disiap kan, kemudian dipertimbangkan berapa kali lecutan dilakukan berdasarkan kedudukan ranking (junior atau senior) serta kondisi pisik kedua jago masing-masing. Sekalipun sudah ada peraturan permainan yang sudah sama-sama di ketahui, namun masih juga diperingatkan oleh wasit bagian-bagian badan mana yang boleh dilecut, mana yang tidak. Sasaran lecut ialah punggung dan badan bagian depan di atas pusar. Daerah larangan ialah bagian pusar ke bawah, dan kepala. Setelah dilakukan “sut”, yaitu mengundi dengan mengadu jari untuk menentukan siapa yang melecut dulu, maka mulailah permainan.
Paling menarik kalau yang bertanding senior lawan senior yang masing-masing telah memiliki tehnik menyerang dan bertahan yang sempurna, sehingga kadang-kadang lama juga menunggu kesempatan untuk melecutkan cambuknya tepat mengenai sasaran. Setiap lecutan yang jatuh, kena atau tidak, pihak menyerang lalu meneriakkan “jailaaak!” sebagai isyarat pergantian giliran, pihak penye- rang kini menjadi pihak yang bertahan. Istilah jailaak tidak diketahui lagi apa artinya dan dari mana asalnya.
Meskipun permainan tiban dilihat dari lahiriahnya bersifat “sadistis”, namun tidak seorangpun dari peserta yang menampilkan diri sebagai seorang sadis penuh dendam amarah.Semua menampakkan wajah yang cerah, bersenyum sekalipun lecutan mengena menimbulkan rasa nyeri. Memang ada kalanya wajahnya bersungguh-sungguh, yaitu pihak penyerang, tetapi kesungguh-sung-guhannya itu untuk konsentrasi pikiran mencari sasaran dan saat yang tepat. Sebaliknya pihak lawannya siap menerima lecutan den-ngan senyum ngece mengejek, dan wiraga gaya gerakan yang meng-goda. Tetapi begitu lecutan jatuh, begitu pula wajah yang bersungguh-.sungguh berubah menjadi cerah, sedang yang terkena lecutan, meski-pun kena tepat, masih berjogedan, seolah-olah ingin menyatakan,”aku tidak merasakan apa-apa”.
Dengan ulah demikian, kesan sadisme seolah-olah tertawarkan (neutralized), lebih lagi kalau kedua pelandang yang sudah lanjutusia itu pun ikut berjcgedan mengikuti irama gamelan dengan gaya yang kocak, maka suasana menjadi lebih meriah.
Demikian seterusnya sampai batas berapa lecutan yang diten-tukan selesai. Maka jago-jago yang habis bertarung saling bersalaman lagi dan mundur digantikan oleh pasangan yang lain berikutnya. Dan permainan berulang lagi.
Setiap akhir penampilan, kedua, pelandang dan wasit secara bersama mengadakan penilaian untuk menentukan siapa pemenang-nya. Mereka yang lebih banyak terkena lecutan, yang tampak jelas dari bekas-bekasnya/dinyatakan kalah. Namun pernyataan kalah me-nang ini tidak ada kaitannya dengan hal-hal yang bersifat lomba. Tiban adalah permainan, bahkan permainan yang mengarah kepada upacara ritual. Jadi tidak dilombakan untuk memperebutkan hadiah misalnya. Landasan prinsipnya ialah rasa kebanggaan. Kebanggaan karena menjadi tumbal demi kesejahteraan bersama. Boleh dikatakan semacam kebanggaan seorang martir.
Peranan Sekarang.
Zaman semakin maju dan banyak mengubah struktur kehidupan di segala bidang. Selera manusia berubah. Kebutuhan manusia pun dengan sendirinya ikut berubah juga. Ilmu pengetahuan dan menyingkirkan kepercayaan yang dianggap tak-temunalar (ira- sionil). Namun demikian upacara ala tiban minta hujan tetap dipelihara kaum petani di pedesaan di daerah Tulungagung, Trenggalek, Kediri dan Blitar.
Hanya untuk tidak ketinggalan jaman, kelompok kelompok tiban sekarang sering bermain untuk mengisi acara-acara tertentu, misalnya untuk suguhan tamu negara, untuk pariwisata, peringatan hari-hari nasional dan upacara lainnya seperti yang diuraikan di bagian awal tulisan ini. Jelasnya, di samping peranannya yang lama sebagai inti upacara minta hujan yang sudah klasik itu, masih berperan lagi sebagai sarana hiburan, dalam hal ini tiban benar-benar berfungsi sebagai permainan yang sesungguhnya dalam arti kata yang murni.
Tanggapan Masyarakat
Bagaimana tanggapan masyarakat, kiranya tidak perlu diuraikan panjang lagi. Jelas masyarakat tetap menyukai, tidak saja masyarakat di lingkungan sendiri, bahkan masyarakat dari luar daerah yang jauh-jauh pun. Tidak berlebih-lebihan agaknya kalau dikatakan,bahwa tiban mampu menjadi permainan kebanggaan nasional. 53-63