Monday, October 14, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Ginggung, Kabupaten Bangkalan

Nama dan Waktu Permainan Desa Sa-plasa, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Madura,  Jawa Timur. Permainan ini diberi nama ginggung karena mungkin…

By Pusaka Jawatimuran , in Bangkalan Kesenian Th. 1984 , at 18/03/2013 Tag: , , , , ,

Nama dan Waktu Permainan

GINGGUNGDesa Sa-plasa, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Madura,  Jawa Timur. Permainan ini diberi nama ginggung karena mungkin mempu­nyai persamaan dengan bunyinya yaitu “ging-gung—ging-gung—ging-gung”. Permainan ini adalah permainan rakyat Madura, sangat terkenal di kalangan para petani, terutama penggembala ternak. Di desa Sa-plasa kecamatan Sepulu daerah Kabupaten Bangkalan permainan ini sa­ngat digemari. Desa Sa-plasa terletak di daerah pegunungan, sekitar 35 km dari kota Bangkalan.

Di daerah lain di Madura yang termasuk penggemar permainan ini, yaitu daerah pantai utara kabupaten Sampang dan Pamekasan. Di daerah tersebut permainan ini tidak dikenal dengan nama ging- gung, tetapi dikenal dengan nama rending. Tidak diketahui apa arti rending . hanya yang dimaksud adalah permainan semacam ginggung.

Hubungan Permainan dengan Peristiwa.

Ginggung dapat dimainkan di waktu siang dan malam. Tergantung kepada pemainnya. Sebab permainan ini adalah permain­an yang bersifat menghibur diri di waktu senggang. Tetapi karena, menimbulkan suara, maka irama ginggung ini dapat pula dinikmati oleh siapa pun yang mendengarnya. Adakalanya permainan ini dimainkan di ladang waktu menggembala ternak atau menjaga ladangnya. Tetapi juga dapat dimainkan di ru­mah atau diundang orang. Siapapun dapat memainkannya, tua, mu­da, anak-anak, laki-laki, perempuan. Hanya kalau perempuan mema­inkannya di dalam rumah.

Latar Belakang Sosial Budaya.

Ada pula pegunungan yang memanjang dari bagian barat ke timur pulau Madura. Daerah pegunungan ini terletak agak ke bagian utara pulau. Daerah pegunungan ini tak berhutan seperti di pulau Jawa, sekalipun banyak pohon dan semak-semak belukar yang tum­buh di situ. Di beberapa bagian, pegunungan itu merupakan daerah bukit gundul dan gersang. Di daerah-daerah itu, penduduknya bukanlah termasuk yang hidup makmur. Karena daerahnya minus, maka penghidupan penduduknya sangat kekurangan. Tidak mengherankan kalau daerah-daerah tersebut banyak yang  berimigrasi ke Jawa untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Kalau tidak mereka terpaksa bekerja keras untuk mempertahankan hidupnya.

Curah hujan memang kurang di daerah itu. Karena itu lebih banyak ladang dari pada persawahan. Selain usaha pertanian di ladang, ba­nyak penduduknya berusaha dari peternakan. Daerah Sa-plasa bagian terbesar terdiri dari tanah ladang, ba­nyak ditumbuhi bambu. Penduduknya yang berjumlah sekitar se­ribu orang itu hidupnya memang tidak mampu. Semuanya beragama Islam. Ada Sekolah Dasar Negeri Inpres dan se­buah Madrasah di desa itu.

Pada hari-hari pasaran di Sepulu, penduduk banyak yang pergi men­jual hasil bumi, hasil kerajinan anyaman bambu dan berbelanja untuk kebutuhan pokoknya, sekalipun mereka harus berjalan kaki berkilo- kilometer jauhnya. Kalau ada tontonan di desa tetangganya yang ter­letak di dataran rendah, mereka banyak yang pergi menontonnya. Karena di daerahnya hampir-hampir tak ada hiburan. Ada radio tran­sistor, tetapi beberapa orang penduduk saja yang memilikinya. Hubungan dengan luar desa memang agak sulit, karena selain desa tersebut terletak di daerah pegunungan, jalan menuju desa itu adalah kurang baik, apalagi pada musim penghujan. Karena kondisi desa serta penduduk desa dan keadaan alam se­kitar yang demikian, tidak mengherankan kalau permainan ginggung sebagai permainan hiburan diri, keluarga dan masyarakat, sangat di­gemari oleh penduduk desa tersebut.

Latar Belakang Sejarah Perkembangan.

Menurut keterangan Pak Sajjidin, klebun (kepala desa) desa Sa-plasa, permainan ginggung tersebut sudah ada sejak dulu. Perma­inan memang timbul semula dari para penggembala ternak. Mereka mula-mula membuat layangan besar yang diberi irisan bambu halus yang kalau terkena angin berbunyi.

Layangan demikian ini dikenal dengan nama layangan wang-nguweng (karena bunyinya wanguweng). Irisan halus bambu yang menimbulkan bunyi itu disebut sabangan. Para penunggu ladang di desa itu juga membuat enterran (baling-baling) dari irisan bambu yang menimbulkan bunyi.

Bunyi dan gerakan-gerakan dari enterran itu yang dihubung­kan dengan tali, bergerak-gerak menakutkan burung-burung yang akan mengganggu tanamannya.

Mungkin, katanya, bertolak dari irisan-irisan bambu yang menimbul­kan bunyi itu, maka lalu dibuat alat ginggung dari irisan bambu yang diberi tali, kemudian tali itu ditarik-tarik adakalanya keras, adakala­nya perlahan didepan mulut yang rongganya dikembung-kempiskan sehingga menimbulkan bunyi yang berbeda-beda. Kesatuan bunyi dapat membentuk sebuah lagu.

Karena kemudian permainan ginggung yang dirpainkan oleh seorang yang pandai, tampak enak kedengarannya, maka permainan itu tidak untuk dinikmati oleh dirinya saja tetapi juga oleh orang yang mendengarkannya. Kemudian permainan itu tidak dimainkan seorang diri saja, tetapi beberapa orang bersama-sama memainkan dengan masing-masing menimbulkan bunyi yang berbeda. Tetapi bunyi-bunyi itu kalau serasi, betul-betul melahirkan bunyi seperti permainan musik. Tetapi kalau terlalu banyak pemain yang ikut serta, mengakibatkan bunyi yang kacau. Karena itu yang pa­ling baik kalau hanya tiga orang saja bermain bersama.

Pemain-pemain ginggung ini tidak diorganisir, tetapi bersifat spontan. Tidak ada yang memimpin, kecuali yang sudah pandai mengajari mereka yang belum tahu. Pada perkembangannya kemudi­an, permainan ginggung juga berfungsi sebagai penghibur tamu di suatu peralatan perkawinan, khitanan dan sebagainya. Yang diundang bermain, tentu mereka yang sudah pandai dan biasa bermain bersa­ma. Kalau sudah bubar, masing-masing pemain esalame talpe (salam amplop atau salam templek) karena ada sedikit uang lelah yang di­berikan oleh pengundang.

Peserta dan Peralatannya.

Permainan ginggung semula adalah permainan perseorangan, untuk menghibur diri di waktu senggang. Tetapi pada perkembangan­nya kemudian beberapa pemain ginggung bermain bersama sehingga lebih sanyak (enak dan mengasyikkan kalau mendengarnya) bunyi­nya.

Umumnya permainan bersama ini terdiri dari tiga orang atau paling banyak empat orang. Pemainnya umumnya laki-laki, tua atau muda ataupun kanak-kanak. Wanita pun dapat memainkannya, tetapi tidak diluar rumah, hanya terbatas di dalam rumah saja. Pendeknya siapa pun dapat bermain, sebab permainan ini adalah permainan hiburan.

Tetapi kalau memainkan untuk menghibur orang lain, me­mang memerlukan ketrampilan khusus untuk memainkannya. Sebab selain harus bermain baik, nafas pemain harus tangguh, sebab tidak hanya memainkan sebuah lagu, tetapi banyak lagu.

Alat Perlengkapan Permainan.

Tentang peralatannya tidak sulit dibuat, sebab bambu yang baik untuk dibuat “ginggung” banyak didapat di desa tersebut. Alat itu hanya sebuah bambu tipis yang diperhalus, panjangnya se­kitar 30 — 35 cm, lebar sekitar 2 — 3 cm, tebal sekitar 3-4 mm.

Ujung yang sebelah selain makin menipis juga mengecil. Ujung ini nanti akan dipegang tangan kiri. Sedangkan ujung yang satu lagi tumpul diberi bertali, dan di ujung tali diikat dengan lidi sepanjang 2 cm. Tempat itu nanti dipegang tangan kanan di ujung talinya sam­bil ditarik-tarik guna menghasilkan suatu bunyi yang bergetar .Tarik – an tali ini dikombinasikan dengan gerakan rongga mulut menghasil­kan suatu kombinasi bunyi, maka peralatannya haruslah yang dapat menghasilkan bunyi bermacam-macam, dengan nada yang serasi.

Ada alat yang berfungsi sebagai korbi induk ada alat yang ber­fungsi sebagai budu anak dan alat yang berfungsi sebagai kerreb ra­pat, artinya suara penyeling.

Alat yang agak besar bentuknya (tetapi tetap serupa dengan lainnya) adalah berfungsi sebagai pamola yang mulai main dulu yang umum­nya dipegang oleh pemain utamanya. Di desa Gunelap, desa tetangga terdekat Sa-plasa, alat ginggung banyak dibuat dan dijual belikan.

Iringan Permainan

Permainan ini tidak diiringi dengan nyanyian.

Jalan Permainan

Alat ginggung yang ujungnya menipis dan mengecil dipegang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan pemain memegang tali berlidi dan alat itu ditaruh tepat rapat di muka mulut atau adakala­nya di antara dua bibir. Sentakan-sentakan tali dan kembang kempis­nya rongga mulut menghasilkan serentetan bunyi yang dikehendakinya.

Tetapi untuk memainkannya, haruslah menahan nafas atau jalan pernafasan pemain tidaklah normal. Karena itu seorang pemain, ha­nya kuat memainkannya selama lebih kurang lima menit. Alat itu dapat dimainkan sambil duduk, tetapi juga dapat sambil berbaring santai atau sambil berdiri dan berjalan. Hanya pada umumnya untuk memperoleh suara yang baik dan kuat menahan nafas, dimainkan dengan duduk.

Karena bunyi yang dihasilkan tergantung oleh permainan rongga mulut dan alat itu sendiri yang sifatnya tidak mempunyai ukuran yang tetap, tentu saja tidaklah dapat disamakan dengan suara atau bunyi alat musik. Lagu yang dihasilkan juga tidak seperti hasil permainan musik. Bagi penduduk desa apa yang dimainkan oleh per­mainan ginggung sudah cukup memuaskan untuk perintang-perintang waktu.

Lagu-lagu yang dimainkan antara lain, du rengnget, du assetti, dudding, pring. Du rengnget berarti dengan kerinduan hati. Du assem berarti adanya harapan akan pohonasamnya, agar menghasilkan buah yang banyak. Dudding artinya tunjuk, dan pring mungkin yang berkaitan dengan rumpun-rumpun bambunya yang banyak menda­tangkan penghasilan.

Banyak lagu-lagu yang lain. Kalau permainan ginggung dimainkan oleh beberapa orang, maka yang bermain lebih dulu adalah pamola (yang memberikan lebih dulu). Baru kemudian serempak ketiga alat yang lain seperti korbi, budu, dan kerreb.

Ketiga pemain dengan ketiga alat yang serupa tetapi suaranya tidak sama, akan melahirkan suatu irama lagu yang baik apabila ada kerja sama yang baik. Seumpama gamelan, kalau dibunyikan tanpa mengingat kerja sama antara alat-alat itu, akan menghasilkan suara yang ribut dan tak enak didengar. Begitu pula ginggung. Karena itu kalau bermain bersama di undangan peralatan, dicari pemain-pemain yang pandai dan biasa bekerja sama dalam sebuah team.

Di desa pemain-pemain itu biasa memainkan alat ginggung sambil duduk bersila. Apalagi di muka para undangan. Seusai peralat­an pemain disalami oleh tuan rumah dengan di telapak tangannya ada uangnya. Di Madura dikenal dengan salam talpe sekedar imbalan jasa atas kelelahannya. Lebih hemat dari pada menyewa tape yang harus didatangkan dari Sepulu.

Peranannya Masa Kini.

Peranan permainan ginggung sebagai permainan yang tidak saja untuk menghibur dirinya sendiri dalam waktu senggang tetapi juga menghibur para pendengarnya, baik terbatas maupun meluas. Keadaan ini tidak banyak berubah di desa Sa-plasa sejak beberapa waktu yang lalu hingga sekarang. Sebab desa ini tetap masih merupa­kan desa yang terpencil (meji), belum banyak terjangkau oleh kema­juan-kemajuan yang dapat merubah meningkatkan taraf hidup mere­ka.

Kalau ada bentuk-bentuk permainan lain yang mereka lihat di dunia luar desanya, permainan itu tampaknya memerlukan uang. Bagi mereka hal itu sulit, sebab mereka lebih baik menggunakan uang tersebut bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya. Mereka sudah puas terhibur dengan permainan tradisional mereka ialah ginggung dengan lagu-lagu baru yang dikenalnya di luar desanya.

Tanggapan Masyarakat.

Selain berfungsi sebagai alat penghibur, ginggung dapat ber­fungsi untuk nyare kanca (mencari teman), artinya kehidupan kelom­pok akibat permainan kelpmpok, akan tetap terpelihara. Permainan ini tidak melahirkan perbedaan dalam masyarakat, seluruh warga masyarakat menyukainya dan memainkan.

Mereka mempergunakan apa yang disediakan alam, yaitu ada­nya rumpun bambu untuk dimanfaatkan sebagai sumber penghasil­an dan sumber hiburan, karena alat-alat seperti sabangan untuk la­yangan dan ginggung juga dibuat dari pada bambu.

Egoisme dalam permainan ini tidak tampak, sebab lagu yang di­mainkan dengan ginggung itu tidak terbatas untuk didengar sendiri, tetapi orang lain dapat menikmatinya. Selain itu, lagu akan tampak sanyak kalau dapat bekerja sama yang baik dengan orang lain ikut memainkan ginggung.

Demikianlah permainan ginggung yang merupakan permainan tradisional para petani umumnya, penggembala ternak pada khusus­nya, di desa Sa-plasa tidak pudar, tetapi terpelihara dan digemari sampai sekarang.

Kepala Seksi Kebudayaan Dep. P dan K Kabupaten Bangkalan mengadakan pembinaan juga dengan menampilkan per­mainan ginggung di depan masyarakat kota dan di layar televisi

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: PERMAINAN RAKYAT DAERAH JAWA-TIMUR; DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH 1983 – 1984,

Comments


  • Ada yg bisa bantu cari alat musik ini?

    Desa Sa-plasa, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Permainan ini diberi nama ginggung karena mungkin mempu­nyai persamaan dengan bunyinya yaitu “ging-gung—ging-gung—ging-gung”. Permainan ini adalah permainan rakyat Madura, sangat terkenal di kalangan para petani, terutama penggembala ternak. Di desa Sa-plasa kecamatan Sepulu daerah Kabupaten Bangkalan permainan ini sangat digemari. Desa Sa-plasa terletak di daerah pegunungan, sekitar 35 km dari kota Bangkalan.

    Di daerah lain di Madura yang termasuk penggemar permainan ini, yaitu daerah pantai utara kabupaten Sampang dan Pamekasan. Di daerah tersebut permainan ini tidak dikenal dengan nama ging- gung, tetapi dikenal dengan nama rending. Tidak diketahui apa arti rending . hanya yang dimaksud adalah permainan semacam ginggung.

Leave a Reply