Thursday, September 12, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Sampyong, Kabupaten Lumajang

Kecamatan : Kunir, Jatigana, Rampalan, Yasawilangun. Kabupaten: Lumajang, eks-karesidenan Malang, Jawa Timur Jenis  Permainan dan Lokasinya. “Sampyong” adalah sejenis permainan…

By Pusaka Jawatimuran , in Lumajang Seni Budaya Th. 1984 , at 05/03/2013 Tag: , , , , , ,

Kecamatan : Kunir, Jatigana, Rampalan, Yasawilangun. Kabupaten: Lumajang, eks-karesidenan Malang, Jawa Timur Jenis  Permainan dan Lokasinya.

SAMPYONG“Sampyong” adalah sejenis permainan rakyat yang sampai kini masih hidup didaerah Ujung Timur pulau Jawa, yang terkenal dengan sebutan daerah Mendhalungan, yakni daerah campuran Jawa-Madura. Tetapi nama “Sampyong” populer didaerah Lumajang selatan, terutama di daerah-daerah kecamatan Kunir, Jatigana, Ram Palan, dan Yasawilangun. Sesekali permainan tersebut juga disebut jung.

Didaerah Besuki yaitu Bandawasa dan sekitar, permainan ersebut memang lebih dikenal dengan nama “Ojung”, yang mengi- lgatkan kita pada “Ojung” yang terdapat di daerah Sumenep,Madura. Dipandang secara sepintas, antara “Sampyong” Lumajang lan “Ojung” Sumenep memang keduanya memperlihatkan gejala yang sama. Sama-sama ada kaitannya dengan upacara ritual neminta hujan waktu kemarau panjang.

Keduanyapun menampil­kan permainan yang bersifat adu keberanian dengan cara sebat-menyebat dengan menggunakan batang rotan, sebagai alat penyebatnya. Dan bukan mustahil pula, bahwa sejarah awal “Sampyong” adalah satu dengan sejarah “Ojung”, dan mungkin juga bermula di daratan pulau Madura, kemudian terbawa oleh migran Madura ke Jawa di Ujung Timur ini.

Tetapi hal demikian sudah jauh lewat di masa lampau beberapa generasi, entah berapa, empat, lima generasi barangkali, tidak diketahui dengan pasti. Sebab, menurut informan, “Sampyong” sudah ada sejak dulu jaman nenek moyang masyarakat Lumajang.

Namun satu hal sudah pasti, yaitu terdapatnya beberapa segi perbedaan yang menarik, yang membedakan corak dan karakter, se­hingga dirasa perlu dalam tulisan ini menempatkannya di bawah judul tersendiri, terpisah dari “Ojung” Sumenep, Madura. 

Waktu dan Peristiwa Permainan.

Permainan “Sampyong” dimainkan pada ujung akhir musim kemarau panjang, karena maksud permainan, adalah untuk meminta hujan. Dilakukan pada siang hari pada menjelang sholat lohor sampai asar. Sekitar saat-saat itu ialah mengingat akan waktunya masyarakat petani mengaso sehabis menggarap sawah. Memang yang mempunyai hajad “Sampyong” ialah masyarakat tani, yang kehidupan propesi- nya sangat erat hubungannya dengan masalah curah hujan.

Umumnya beberapa tokoh petani tua-tua bersama memusya­warahkan “ya tidak”-nya diadakan permainan “Sampyong”,^meng­ingat kemarau yang berkepanjangan. Jika kata “ya” putus, maka se­gera dihubungi pejabat setempat, yaitu Lurah Kepala Desa, yang ke­mudian meneruskan pada instansi eselon atasannya, Camat dan st

keamanannya. Dilibatkannya para pejabat setempat hanyalah untuk keamanan dan ketertiban, tidak ikut campur dalam penyelenggaraan “Sampyong” itu sendiri, yang sepenuhnya menjadi urusan dan tang­gung jawab masyarakat. Pejabat setempat biasanya mengijinkan se­panjang dipatuhi peraturan tata tertib dan keamanan.

Setelah ijin diperoleh, beberapa tokoh masyarakat tani, teru­tama penggemar “Sampyong” segera berkumpul untuk menentukan hari pelaksanaan. Setelah mendapatkan kesepakatan akan waktunya undangan disebarkan kepada beberapa daerah tetangga. Biasanya berita itu secara mengagumkan cepat sekali meluas dari mulut ke mulut.

Kalau segala sesuatunya telah selesai dipersiapkan, maka permainan pun dimulai. Tetabuhan mulai diperdengarkan dengan bunyinya yang lantang sehingga terdengar sampai di kejauhan. Dari kejauhan pun berdatangan pula masyarakat ramai yang ingin menyaksikan permainan tersebut.

Permainan dipimpin oleh seorang wasit, dengan dibantu oleh dua orang pelandang (atau welandang), dan ketiganya sekaligus ber­tindak sebagai juri yang menilai dan menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mereka rata-rata setengah umur, harus benar- benar mengetahui seluk beluk permainan “Sampyong”, sebab ada­kalanya suatu ketika pelandang itu pun mendapat tantangan berduel di atas panggung. Sudah barang tentu penantangnya itu bekas de­dengkot pula, bekas lawan dulunya.

Jadi permainan dilakukan di atas panggung. Dua orang jago saling beradu keberanian dengan menggunakan cambuk rotan sebagai senjata penyebat, yang oleh panitia sudah disiapkan sebelumnya. Jumlah pukulan atau sebatan sudah ditetapkan oleh juri lebih dulu, masing-masing secara bergantian : tiga, empat, sampai delapan kali menurut pertimbangan atas dasar kondisi umur, fisik, mental, ma­upun pengalaman bertanding.

Menang kalahnya ditentukan dengan hasil kena tidaknya sebatan yang dapat dilihat dari bekasnya. Siapa yang lebih banyak kena se- bat, dialah yang dinyatakan kalah. Dan pemenang pun mendapatkan hadiah kaos oblong (= baju kaos berlengan pendek Setelah partai pertama ( dua jago pertama ) menyelesaikan per­tandingannya, maka partai kedua tampil, menyusul kemudian par­tai ketiga, keempat, kelima dan seterusnya sampai seluruh peserta mendapatkan kesempatan bertanding.

Pelaku Peserta

Sebelum permainan dimulai, di luar panggung sudah siap’ja­go-jago yang akan bertanding. Bahkan ada pula yang berdatangan menyusul selama permainan tengah berlangsung. Mereka semua la­ki-laki, rata-rata usia antara 17 sampai 30 tahun, tetapi terdapat pula yang tua-tua, dedengkot generasi lama yang masih merasa mempu­nyai semangat untuk bertanding. Memang masalahnya di sini adalah kebanggaan, dan “Sampyong” adalah permainan kebanggaan mere­ka.

Umumnya yang terjadi di daerah Kunir dan sekitarnya, per­mainan “Sampyong” dipertandingkan menurut daerah asal masing- masing, jadi tidak perorangan. Daerah Kunir misalnya melawan da­erah Rampalan dan pimpinan kontingen masing-masing, biasanya yang menjadi pelandang, memilih siapa-siapa yang menjadi anggota anggota kontingennya yang tampil untuk melawan siapa-siapa da­ri kontingen lawan.

Dua orang jago yang saling berhadapan tidak boleh masih saudara atau sahabat karib, seyogyanya belum mengenal satu sama lain. Hal ini untuk menjaga agar permainan berlangsung mantap dan seru. Namun ini tidak berarti, bahwa pertandingan dilakukan atas dasar permusuhan. Rasa persaudaraan dan sportifitas tetap terjaga.

Anehnya dalam pertandingan permainan “sampyong” tidak pernah terdengar penetapan pemenang atas dasar kontingen daerah. Barangkali memang sudah sama – sama menyadari, bahwa “sam­pyong” bukan pertandingan dalam arti kata kompetisi yang lajim berlagu dalam dunia oleh raga. Arti “sampyong” sendiri memang tidak kita ketahui dengan tepat. Tetapi dalam kamus Purwadarminta, BAU SASTRA JAWA 1939, terdapat kata “sampyong”, yang berarti “dedreg, rane atau rame tumrap dolanan” (hebat, sengit untuk Per” mainan). Barangkali “sampyong” adalah kata dialek setempat yang).

maksudnya menunjuk kepada sebuah permainan yang hebat dan Sengit. Betapa pun sengitnya, permainan tetap permainan, yang secara murni tidak ada hubungannya dengan paksaan, kewajiban dan sebagainya. Adanya hanyalah kesenangan yang dapat dikembalikan kepada faktor asalnya : kebanggaan. Dan kebanggaan tidak akan terbeli oleh apa pun. Adanya jago yang menang akan mendapatkan hadiah baju kaos, yang nota bene harganya tidak seberapa, itu hanya sekedar hiburan, sebab ia yang bersakit-sakit “berjuang”. Daerah tidak mencelai hadiah atas jasa jagonya. Daerah rupanya cukup merasa bangga dengan prestasi jagonya.

Tempat, Peralatan dan Kelengkapan lain-lain.

Pada saatnya tiba, orang sibuk menyiapkan panggung. Khusus di daerah Kunir, tempat kami melakukan observasi, panggung itu, yang oleh penduduk setempat disebut “genjot”, selalu didirikan di desa Sumberbendho, mengambil tempat dekat sebuah pohon bendho tua dan besar, yang oleh masyarakat setempat dikeramatkan.

Genjot itu berukuran luas 4×5 meter persegi, dan tinggi kira- kira 1,25 meter. Tiap-tiap sisinya dihias dengan janur kuning (daun kelapa muda berwarna kuning). Hiasan ini sekaligus berfungsi sebagai pagar panggung, dengan dua pintu sebelah-menyebelah secara dia­gonal untuk keluar masuknya (turun naiknya) para jago. Pinggir kiri tiap pintu dipancangkan payung yang megar (=berkembang). Di bawahnya ditempatkan sebuah kursi, tempat duduk para jago yang akan bertanding.

Permukaan panggung terbuat dari anyaman bambu kasar dan tebal, ditebari dengan jerami merata seluas panggung, kemudian di atasnya dialasi sesek (kepang), yaitu anyaman bambu yang halus.

Peralatan pokok yang dipersiapkan ialah batang rotan sebesar ibu jari tangan, berukuran panjang 60 x 75 sentimeter. Rotan ini dicari di hutan setempat, jadi masih basah. Untuk meng­hindari segala kemungkinan negatif, batangan rotan ini disediakan oleh panitia. Pemain tidak diperkenankan menggunakan rotannya sendiri.

Sebelum dipergunakan, bagian rotan kira-kira 10 sentimeter dari ujunf dipilin sedemikian rupa, sehingga bagian ini menjadi lemas, tetapi mempunyai kekuatan lenting kalau disehatkan. Tanpa kekuatan lenting ini sulit mengenai sasaran. Alat kelengkapan lainnya ialah dua macam instrumen tetabuh- an untuk mengiringi permainan “sampyong”. Sebuah kendhang, dan sebuah jedhor. Kendhangnya mempunyai bentuk yang khusus, pan­jang 50 sentimeter, dengan garis tengah masing-masing sisinya sekitar 35 sentimeter, jadi kedua sisi kendhang itu sama besarnya, Jedhor adalah sejenis bedhug, panjangnya +, 90 sentimeter, dan garis tengah kedua sisinya masing-masing 55 sentimeter.

Untuk menabuh kendhang dan jedhor cukup diserahkan ke­pada anak-anak, karena tidak memerlukan melodi, hanya pukulan ritmis dan jedhornya berfungsi sebagai pinalis. Khusus mengenai kendhang ini, cara menabuhnya unik sekali. Dua orang anak duduk di atasnya saling membelakangi, sehingga masing-masing mengha­dapi satu sisi kendhang itu.

Jalannya Permainan.

Kalau tiba saatnya permainan dimulai, kedua pelandang yang mewakili kedua belah pihak, tampil di atas genjot. Pihak yang satu mewakili daerah Kunir dan pihak lainnya mewakili daerah Rampalan, misalnya. Kalau yang bertanding berasal dari daerah lain, maka pe- landangnya pun harus ganti daerah tersebut. Hal itu sudah menjadi tradisi.

Pelandang segera memanggil nama jago masing-masing untuk naik ke genjot. Yang dipanggil tampil, seorang jago dari Kunir, seorang lagi dari Rampalan, masing-masing menempati kursi yang sudah tersedia. Wasit melakukan pengamatan dengan saksama, meni­lai seimbang tidaknya kedua lawan itu, umurnya, fisiknya, dan peng­alaman masing-masing dalam bertanding “sampyong”. Kepada kedua pelandang dimintakan pertimbangan, kalau dinyatakan tidak seim­bang, maka salah seorang harus diganti dengan yang seimbang atau kalau tidak ada penggantinya, keduanya harus mundur diganti de­ngan yang lain sama sekali. Sesudah itu kedua jago dipersilahkan maju ke tengah panggung, masing-masing diberi batang rotan sebuah. Sambil memilin-milin rotan masing-masing, mereka mendengarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh wasit. Meskipun sudah di­

ketahui bersama aturan-aturan permainan, namun oleh wasit rupanya masih dianggap perlu sekali lagi dijelaskan persyaratan-persyaratan
atau larangan-larangan yang harus dipatuhi oleh kedua jago. Penjelasan-penjelasan itu diucapkan dengan keras, menggunakan mi-
kropon segala, agar penonton pun dapat mendengar pula.

Hal ini demi obyektifitas.

Peserta “sampyong” mengenakan celana panjang biasa atau yang komprang, terserah menurut selera masing-masing, berkopiah atau berikat-kepala itupun manasuka, tetapi badan bagian atas harus telanjang. Sebenarnya masih ada ketentuan lain, bahwa peserta harus mengenakan sabuk kulit selebar telempap, tetapi rupanya ini tidak dilaksanakan dengan konsekwen.

Jumlah sebatan pun ditentukan. Sasaran yang dituju ialah .punggung lawan. Sasaran ini ditetapkan dalam peraturan yang harus dipatuhi oleh setiap pemain “sampyong”. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dinyatakan kalah dan tidak boleh meneruskan pertandingan .

Tiga macam larangan dalam peraturan itu yang diperinci sebagai berikut :

  1. Menyebat bagian kepala, baik sengaja maupun tidak sengaja.
  2. Menyebat badan bagian depan (dada, perut), dan di bawah pusar.
  3. Pukulan “singkuran”, yakni pukulan yang dimulai gerakannya dari ketiak k\ri. (Bagi orang kidal, tentunya berlaku yang sebaliknya, tetapi hal ini tidak dinyatakan. Yang dimaksudkan tentunya sebatan atau pukulan “backhand”, kalau kita boleh meminjam istilah permainan tenis atau bulu tangkis. Jadi yang diperkenankan hanya pukulan “forehand”).

Selesai semua penjelasan, diadakan “suten” untuk menentukan siapa yang akan menyebat lebih dulu. Kedua lawan saling bersalaman, tetabuhan dibunyikan, maka mulailah permainan “sampyong” Kedua pemain memperlihatkan gaya masing-masing.
Seorang mempertahankan diri, siap mengelak atau menangkis dengan rotannya terhadap sebatan lawan, dan seorang lainnya berusaha mencari kelengahan lawan dan sasaran yang tepat. Penyehatan dilakukan :ara bergilir-ganti setelah tiap tiap pukulan, kena atau tidak kena. telah jumlah sebatan yang ditentukan telah selesai, berhentilah per- linan. Kedua pemain dipersilahkan membungkukkan badannya tuk memberi kesempatan kepada juri mengamati dan menghitung kas-bekas sebatan untuk menentukan pemenangnya. Pemenang mendapatkan hadiahnya, dan dengan ucapan terima kasih dari lak juri, kedua jago itu pun saling bersalaman lagi, lalu turun panggung. Kedua pelandang sementara itu memanggil jago-jago berikut- a dan demikianlah permainan diulangi seperti yang pertama.

Latar Belakang Sosial Budaya dan Sejarah Perkembangannya.

Di muka telah disinggung, bahwa daerah Jawa Ujung Timur Uah daerah Mendhalungan, daerah campuran Jawa — Madura. Na- m hasil campuran tersebut sejauh ini tidak mengalami asimilasi npurna. Demikianlah misalnya selain pihak yang satu masih tetap mbanggakan asal kemaduraannya, dan pihak lainnya asal keja- annya pun nyatanya masih digunakan dwi – bahasa ibu : bahasa dura dan bahasa Jawa. Pun dalam sikap jiwa dan karakter masing- sing masih menonjol kepribadian Madura di satu pihak, kepribadi- Jawa di pihak lain. Namun bagaimanapun juga, proses pengaruh- mpengaruhi dalam budaya dan kesenian tidak dapat dipungkiri, rna pengaruh itu pasti sedikit banyak melunturkan keasliannya, nun seberapa jauh sedikit banyaknya itu tergantung dari mayori- pihak yang mempengaruhi.

Demikianlah .misalnya daerah Situbanda, Bandawasa dan se- irnya, seni budayanya lebih berat diwarnai pengaruh kemadura- tya, karena mayoritas penduduknya Madura. Sebaliknya di Lu- jang, pengaruh Jawa terasa lebih dominan.

Begitulah kiranya “sampyong”, yang di Bandawasa dan Situ- ida disebut “Ojung” karena lebih banyak cenderung ke Madura, di najang pengaruh Jawa-nya lebih besar. Sesuai dengan pembawaan iperamen kedua suku bangsa tersebut, Madura yang keras dan igasan,Jawa yang halus lembut, maka permainan jenis “Ojung’

nenep yang “kejam” dan “ganas” itu, di Lumajang karena dominasi kejawaannya, dihalus-lembutkan menjadi “sampyong” yang (barangkali) berasal dari kata Jawa “sampyong”, yang artinya : hebat dan sengit, namun masih dalam batas-batas permainan. Tidak ber- sungguh-sungguh, Penampilannya pun lalu tidak seganas dan sekejam “Ojung” di Sumenep. Maka jelaslah, bahwa “sampyong” berbeda corak dan karakter daripada “Ojung”.

Kalau permainan “ojung” yang semula dibawa oleh para mi­gran Madura ke Jawa, lantas di daerah Lumajang selatan dapat ludup dalam bentuk “sampyong”, kiranya bukan suatu hal yang menghe­rankan. Sebab pola permainan sebat menyebat dengan memperguna­kan alat cambuk, di Jawa tidak asing, yaitu permainan “tiban” di daerah Trenggalek, Tulungagung, Kediri, dan Blitar, yang kebetulan daerah-daerah tersebut relatif tidak begitu jauh dari Lumajang selatan

Bahwa “sampyong” dilakukan oleh masyarakat tani dalani rangka upacara ritual minta hujan, hal itu memang dihubungkan dengan sumber naluri tradisional aslinya pada “ojung” di Madura, dan “tiban” di Jawa. Namun yang jelas, sifat “upacara” yang sung­guh-sungguh penuh kekhusyukan dan kehidmatan, pada “sampyong ” sudah kabur sama sekali, justru karena namanya itu.

PERMAINAN RAKYAT DAERAH JAWA-TIMUR; DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH 1983 – 1984, hlm. 161-169