Tuesday, November 5, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Upacara Tingkeban, Kabupaten Blitar

Masyarakat Kecamatan Nglegok apabila ibu hamil atau mengandung, dan kandungannya telah berumur tujuh bulan maka diadakan upacara tingkeban, tetapi ada…

By Pusaka Jawatimuran , in Blitar Seni Budaya Th. 1997 , at 27/02/2013 Tag: , , , , , ,

Masyarakat Kecamatan Nglegok apabila ibu hamil atau mengandung, dan kandungannya telah berumur tujuh bulan maka diadakan upacara tingkeban, tetapi ada pula yang menyebutnya piton-piton (pitonan). Upacara Tingkeban hanya dilaksanakan oleh wanita yang baru hamil pertama kali, sehingga kehamilan yang kedua, ketiga dan seterusnya tidak diadakan upacara tersebut. Upacara Tingkeban terdiri dari beberapa tahapan kegiatan, dimulai dengan kenduri, siraman, membelah cengkir (kelapa muda), menjatuhkan teropong, berganti pakaian, menjual rujak dan diakhiri dengan jenang procot.

Adapun pelaksanaan upacara Tingkeban adalah sebagai berikut : setelah kandungan berumur tujuh bulan, maka ditentukan waktu yang baik untuk melaksanakan upacara Tingkeban. Mengenai waktu untuk melaksanakannya ada beberapa ketentuan sebagai pedoman. Ada yang mengambil pedoman hari kelahiran (neton atau weton) orang yang mengandung. Ada pula yang melaksanakan pada tanggal (hari) sebelum bulan purnama, misalnya : 1,2,5,7,9,11,13,dan 15. Pelaksanaan upacara ini ada yang melaksanakannya pada siang hari, tetapi ada pula yang me­lakukannya pada malam hari.

Upacara Tingkeban merupakan upacara terpenting diantara upacara- upacara lainnya pada waktu seseorang sedang hamil. Oleh karenanya, sajian yang disediakan banyak ragamnya. Perlengkapan upacara tersebut meliputi:

1.  Nasi tumpeng sebanyak tujuh buah dengan lauk pauknya gudhangan, yang dilengkapi dengan telur tujuh buah dan panggang ayam jantan seekor.

  1. Nasi wuduk (nasi yang memasaknya diberi santan sehingga gurih rasanya), maka dari itu nasi wuduk juga disebut nasih gurih. Nasi wuduk ini biasanya dilengkapi ingkung ayam (ingkung adalah ayam yang cara memasaknya tidak dipotong-potong, dan ayam tersebut direbus diberi bumbu opor).
  2. Nasi golong, yaitu nasi putih yang dibentuk bulat-bulat sebesar bola tenis yang bergaris tengah kurang lebih 6 (enam) sentimeter, berjumlah tujuh buah.
  3. Nasi punar sebanyak tujuh takir. Takir untuk tempat nasi tersebut dinamakan takir plonthang, yaitu takir yang tepinya diplisir dengan janur kuning dan dikancing pakai jarum bundel (dom bundel : bahasa jawa).
  4. Nasi (sego) rogoh, yaitu nasi putih biasa dan telur rebus dimasukkan kedalam kendil.
  5. Ketupat luar sebanyak 7 (tujuh) buah.
  6. Jenang procot, jenang sumsum (bubur dari tepung beras) yang diberi pisang untuk yang telah dikuliti.
  7. Jenang abang (bubur dari beras yang diberi gula merah) dan jenang putih (bubur beras putih); jenang sengkala, yaitu bubur merah yang diatasnya diberi bubur putih.
  8. Sampora, yaitu makanan yang terbuat dari tepung beras diberi santan kemudian dicetak seperti tempurung tertelungkup lalu dikukus.
  9. Apem  kocor, yaitu apem yang rasanya tawar, cara makannya dengan juruh (gula merah yang dicairkan).
  10. Ketan manca warna, yaitu nasi ketan (beras pulut) yang dibentuk bulatan bulatan sebanyak 5 (lima) buah, berwarna hitam, putih, merah, kuning, dan biru.
  11. Polo pendhemyang terdiri dari bermacam-macam ubi-ubian, antara lain: ubi jalar, ubi kayu, ketela rambat, talas, kentang hitam, gembili, dan lain sebagainya.
  12. Jajan pasar yang terdiri dari beberapa macam makanan kecil yang biasa dijual di pasar, antara lain : thiwul, canthel, kacang tanah, krupuk, dhondhong, pisang raja, dan lain sebagainya.
  13. Uler-uleran, yaitu makanan dari tepung beras yang diberi macam-macam warna.
  14. Pipis kenthel, yaitu makanan yang bahanya dari tepung beras dicampur dengan santan dan gula merah, adonan ini dibungkus daun pisang kemudian dikukus.
  15. Dhawet   adalah semacam minuman yang bahanya dari santan, juruh (gula merah yang dicairkan) diberi isi cendhol.
  16. Rujak legi bahannya terdiri dari bermacam-macam buah-buahan, ke­mudian dipasah dan diberi bumbu rujak..
  17. Pisang ayu, yaitu pisang raja dua sisir (yang biasanya dilengkapi dengan sebungkus sirih dan bunga).
  18. Bunga setaman, yaitu tujuh macam bunga yang diletakkan dalam suatu tempat, biasanya bokor yang telah diisi air.

Diusahakan kalau dapat bunga setaman tersebut beijumlah 7 (tujuh) macam, namun kalau tidak dapat paling sedikit harus ada 3 (tiga) macam.

Upacara tingkeban dilaksanakan, apabila saat yang telah ditentukan tiba, dan segala sesajian telah tersedia. Upacara Tingkeban biasanya didahului dengan kenduri, yang dipimpin oleh orang yang sudah banyak pengalaman dalam hal upacara adat, atau disebut pula dengan modin. Setelah orang- orang yang diundang datang, maka tuan rumah segera mengutarakan maksud dari hajatnya tersebut kepada pemimpin upacara (modin). Kemudian pemimpin upacara segera mengutarakan maksud hajat tersebut kepada para undangan, dan diteruskan membacakan doa yaitu doa selamat. Selanjutnya makanan (sajian) yang tersedia dibagi-bagikan kepada orang yang ikut kenduri. Setelah semua peserta mendapatkan makanan biasanya terus pulang. Sewaktu pulang mereka dilarang untuk berpamitan dengan empunya keija.

Menjelang berakhirnya kenduri, upacara siraman dimulai yang diikuti oleh para tamu wanita. Upacara siraman pelaksanaannya dipimpin oleh seorang dukun bayi kyang akan menolong besuk sewaktu melahirkan. Tempat untuk menjalankan upacara siraman di kamar mandi atau di halaman. Dikamar mandi telah disediakan bak besar (jambangan) yang telah diisi air dan didalamnya dimasukkan mayang (bunga jambe), daun andong, bunga kenanga, bunga kantil daun beringin, dan uang logam, serta bunga setaman mereka sebarkan dilingkungan tempat memandikan. Sedang alat untuk menyiramkan air pada waktu memandikan adalah siwur yang terbuat dari tempurung kelapa yang masih ada dagingnya dan diberi tangki.

Setelah perlengkapan untuk upacara siraman telah lengkap, maka dhukun membawa orang yang hamil dan suaminya ketempat pemandian. Selanjutnya dhukun menyebar kembang setaman disekitar tempat untuk

memandikan. Dhukun segera membaca doa, kemudian menyiramkan air ke kepala wanita yang hamil dan suaminya sebanyak tiga kali, yang dilanjutkan sanak keluarganya yang menghadiri upacara tersebut secara bergantian, urut dari yang tua sebanyak tujuh orang. Setiap orang menyiramkan air sebanyak tiga siwur. Pada waktu dimandikan, wanita yang hamil dan suaminya memakai pakaian basahan (kain yang dipakai pada waktu mandi) dan duduk diatas kursi atau dhingklik. Sehabis dimandikan suaminya membelah cengkir gading yang bergambar Aijuna dan Sembodro atau Kamajaya dan Dewi Ratih. Pada waktu cengkir dibelah sang dhukun mengucapkan kata-kata yang disesuaikan dengan gambar pada cengkir gadhing tersebut. Bila pada cengkir gadhing tersebut terlukis gambar Aijuna dan Sembodro, maka ucapan dhukun adalah demikian : “Yen lanang kaya Arjuna yen wadon kaya Sembadra”, yang maksudnya bila bayi lahir laki- laki diharapkan agar parasnya elok dan berbudi luhur seperti Aijuna. Tetapi bila lahir perempuan diharapkan berparas cantik dan berbudu luhur serta setia seperti Sembadra. Apabila cengkir gadhing bergambar Kamajaya dan Dewi Ratih, maka dhukun berkata : “Yen lanang kaya Kamajaya wadon kaya Dewi Ratih “, yang maksudnya agar bila perempuan seperti Dewi Ratih kalau laki-laki seperti Kamajaya.

Sesudah dimandikan kedua orang tersebut disuruh ganti pakaian yang kering dan bersih. Kain yang dipakai oleh wanita sedang hamil tersebut dikendorkan, kemudian antara perut dan payudara diikat dengan benang (lawe : bahasa jawa 3 (tiga) warna , yaitu warna merah, putih, dan hitam. Cara mengikat benang tersebut dikendorkan pula, sehingga ada antara (longgar) kain yang dipakai dengan perut. Melalui antara yang longgar ini dhukun atau mertuanya dapat meluncurkan teropong (alat untuk mengikat benang yang akan ditenun). Teropong yang diluncurkan atau dijatuhkan tadi ditangkap oleh ibunya sendiri atau dhukunnya sambil berkata : lanang arep, wadon arep janji slamet, yang maksudnya kelak bila bayi lahir laki-laki maupun perempuan mau, asal selamat. Upacara meluncurkan teropong ini dilakukan dimuka senthong tengah.

Dengan selesainya upacara meluncurkan teropong dan membelah cengkir gadhing, dilanjutkan dengan ganti pakaian tujuh kali. Pakaian ini berupa kain panjang dan kemben (penutup buah dada) yang beijumlah 7 (tujuh) macam, kain tersebut dipakai secara bergantian satu demi satu. Pada waktu memakai kain yang pertama, para tamu yang datang berkata : “durung patut”, yang artinya kain yang dipakai tadi belum pantas. Kemudian ganti pakaian yang lain juga diolok-olok lagi, demikian seterusnya samapi tujuh kali. Setelah memakai kain yang ketujuh, ibu-ibu yang mengikuti upacara mengucapkan kata : ” Wispantes, wis pantes “, yang artinya sudah pantas. Kain yang dianggap pantas, yaitu kain truntum atau toh watu diingin dengan kemben dringin. Setelah upacara tingkeban, ibu yang mengandung tidak boleh memakai perhiasan, misalnya : cincin, kalung, subang. Upacara selanjutnya adalah menjual rujak. Wanita yang mengandung dan suaminya disuruh menjual rujak, yang membeli adalah ibu-ibu yang mengikuti upacara ini. Wanita yang sedang mengandung (yang diselamati) menjajakan rujak sedang suamainaaya menerima uangnya. Menurut kepercayaan, kalau rujak yang dijual rasanya hambar, maka bayi akan lahir laki-laki. Tetapi apabila rujak rasanya sedap, bayi yang dikandung lahir perempuan. Dengan selesainya upacara menjual rujak, maka berakhir pulalah prosesi upacara Tingkeban.

Masa kehamilan untuk pertama kali bagi suatu keluarga baru merupakan peristiwa penting. Kehamilan merupakan harapan bagi kelang­sungan keturunan. Seorang ibu muda hamil merupakan lambang kesuburan, dan kepadanya diperlukan sikap yang menyenangkan.

Peristiwa kehamilan menimbulkan harapan sekaligus kecemasan, maka anak yang dikandungnya haruslah dijaga dengan baik-baik. Sang ibu yang mengandung dijauahkan dari suasana duka, sebaliknya diberikan suasana yang menggembirakan dan kesukaan. Adapun mereka melakukan hal yang demikian (upacara Tingkeban), karena upacara tersebut mempunyai fungsi mendoakan agar yang dikandung dapat lahir dengan selamat dan lancar, juga mencita-citakan agar anaknya berperilaku nantinya sesuai yang diharapkan.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: WUJUD, ARTI, DAN FUNGSI PUNCAK-PUNCAK KEBUDAYAAN LAMA DAN ASLI BAGI MASYARAKAT PENDUKUNGNYA; Sumbangan Kebudayaan Daerah Terhadap Kebudayaan Nasional; DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RI, 1996/1997, hlm. 46-50