Legenda Kasada
Versi Lain Perayaan Kasada Tiap tahun penduduk Tengger melaksanakan pesta Bromo yang dikenal dengan nama perayaan “Kasada”. Legenda berikut ini menceritakan…
Versi Lain Perayaan Kasada
Tiap tahun penduduk Tengger melaksanakan pesta Bromo yang dikenal dengan nama perayaan “Kasada”. Legenda berikut ini menceritakan asal mula perayaan ini.
Kiai Kesuma dan Nyai Kesuma adalah orang-orang Hindu dan berdiam di sebuah pondok di dekat lautan pasir yang mengelilingi Gunung Bromo. Mereka berdua hidup berbahagia. Tetapi, masih ada sesuatu yang seolah merupakan duri dalam daging atas nasib keduanya, yaitu keturunan. Sampai menjelang usia lanjut, mereka belum memiliki anak. Mereka sudah bersembahyang dan memohon kepada Brahma, namun tidak berhasil. Mereka pun putus asa.
Pada suatu malam, sebelum tengah malam, terdengarlah ketukan perlahan-lahan dan penuh perasaan di pintu pondok mereka. Sewaktu Kiai Kesuma bangun dan membukakan pintu, berdirilah di hadapannya seorang kakek tua renta berpakaian compang-camping dan memohon kepadanya: “Ya Kiai Kesuma yang berbudi baik, mohon berikan kepada saya setangan jagung dan biarkan saya pada malam ini dapat tidur merebahkan diri di bawah atap rumah Kiai. Saya sudah menelusuri jalan yang panjang sekali sehingga saya capek untuk meneruskan perjalanan. Saya juga lapar dan dahaga.”
Kiai Kesuma kemudian membangunkan istrinya dan mereka berdua menuntun kakek ini masuk ke pondok mereka . Lalu, mereka menyiapkan selembar tikar baru. Kiai Kesuma kemudian berkata- “Beristirahatlah di atas tikar ini dan jadilah tamu kami selama Anda berkenan.” Nyai Kesuma memberikan secangkir kopi dan kue jagung kepada kakek itu dan berkata dengan nada suara memelas: “Kakek tua yang aku kasihani, makanlah kue-kue jagung ini dan hiruplah kopi yang harum ini sehingga rasa capek dan penat kakek hilang. Berbaringlah di atas tikar ini untuk beristirahat dari perjalanan yang masih panjang dan melelahkan.”
Sebagai jawaban, kakek ini kemudian memakan kue-kue jagung itu dengan lahapnya dan kemudian menyeruput kopi harum yang dihidangkan. Tak lama kemudian dia merebahkan dirinya di atas tikar hingga tertidur lelap. Tetapi, ketika pada pagi hari, Kiai dan Nyai Kesuma terbangun dan menjenguk kakek tua yang sedang tidur. Dilihatnya dia mulai berdiri dan tampak seolah diseliputi oleh aura cahaya terang di sekitar badannya. Kakek tua ini tidak bongkok lagi. Dia berdiri tegak di hadapan mereka sebagai seorang pemuda yang rupawan dan bersih laksana dewa. Kemudian sang pemuda bercerita bahwa dia dikirim oleh Dewa Brahma yang telah mendengar doa kedua pasangan ini agar diberikan seorang anak. Dikatakan juga bahwa Brahma telah mendengar doa mereka berdua dan meluluskan permohonan pasangan tersebut. “Kelak kalian akan memiliki seorang putera,” ucap sang pemuda. “Kalian harus hidup suci dan bila putera kalian sudah dewasa, saya akan menyampaikan kehendak Brahma lebih jauh.”
Kiai dan Nyai Kesuma membungkukkan badan dan menundukkan kepala mereka yang sudah beruban putih sambil mendengarkan titah dari utusan Brahma. Ketika kepala mereka ditegakkan, ternyata utusan Brahma telah menghilang.
Setahun berlalu setelah menerima sabda dari utusan Dewa Brahma ini, doa mereka benar-benar terkabul. Nyai Kesuma hamil dan kemudian melahirkan seorang putera. Anak ini sangat ganteng, dan semakin dewasa semakin bagus rupa dan raut mukanya. Sampai kemudian anak tersebut tumbuh menjadi seorang pemuda yang alim dan berani serta merawat kedua orang tuanya yang makin menjelang tua, dengan baik dan penuh kasih sayang. Kiai dan Nyai Kesuma memandang putera mereka sebagai penghibur dan tiang kehidupan mereka pada umur yang sudah renta. Ketika putera mereka sudah menjelang dewasa, pada suatu malam terdengarlah ketukan pada pintu pondok mereka. Dan ber- hadapanlah mereka dengan utusan Dewa Brahma lagi. Dengan muka yang sedih dan raut wajah yang kasihan, utusan Dewa Brahma berkata kepada Kiai dan Nyai Kesuma dengan suara yang perlahan, penuh perasaan: “Kedua orang tua yang baik, besok adalah waktu bulan baru. Naiklah pada malam harinya, bersama dengan putera kalian hingga kawah Gunung Bromo. Karena pada malam itu, Brahma akan menagih janji/korban. Dan yang diminta adalah putera kalian berdua. Lakukan pengorbanan dengan ikhlas tanpa pamrih, sesuai kemauan Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta kalian.”
Kedua orang tua renta ini sambil membungkukkan kepala berkata dengan penuh penyesalan: “Kemauan Dewa Brahma akan dilaksanakan.”
Tanpa menggerutu dan mengiba atas korban besar yang harus mereka persembahkan kepada Brahma, kedua orang tua renta bersama dengan puteranya mendaki hingga kawah Bromo. Masih belum pagi hari ketika mereka tiba di tempat, di mana Brahma akan mengambil korbannya. Di sana, Kiai dan Nyai Kesuma membungkukkan badan hingga tanah, bersembahyang, dan berdoa: “Wahai Brahma Yang Agung dan Kuasa, ini adalah putera kami, korban besar yang diminta. Ini adalah anak kami yang merupakan tumpuan hidup masa tua kami. Ambillah dia, tetapi perkenankan kami untuk ikut bersamanya! Biarkan kami juga mati bersamanya! Dewa Yang Maha Kuasa, kami sudah sedemikian tua dan lelah. Apakah yang akan terjadi pada kami jika anak kami diambil? Siapa yang akan memelihara kambing kami? Siapa yang akan mengambil air bagi keperluan kami? Siapa yang menanam jagung untuk makan kami? Kami tidak dapat hidup tanpa anak lagi.” Dengan kepala tertunduk, putera mereka di tengahnya, kedua orang tua ini menunggu kehendak Brahma. Dalam posisinya, mereka mendengar suara kedewaan Brahma yang bersabda: “Kiai dan Nyai Kesuma berdua, saya tidak menghendaki anak kalian sebagai korban karena dia akan membantu keperluan kalian berdua selama kalian masih hidup. Saya hanya ingin melihat, apakah kalian sedemikian cinta terhadap saya sebagai Dewa Pencipta kalian. Kalian telah lulus dalam cobaan. Kalian telah memenuhi kehendak saya. Pergilah dan hiduplah berbahagia dengan anak kalian.”
“Terima kasih Brahma Yang Agung atas kebaikan yang tiada habisnya yang diberikan kepada kami,” demikian kedua orang tua ini mengucapkan terima kasih kepada Dewa Penciptanya. “Kebaikan Dewa akan kami peringati dengan sebaik-baiknya dan memberikan korban pengganti dari hasil yang terbaik yang diberikan oleh tanah dan ternak kami.”
Kiai dan Nyai Kesuma bersama anak mereka bergegas kembali ke pondoknya. Diambilnya kambing yang tergemuk dari ternak mereka dan jagung-jagung terbaik dari ladang mereka. Mereka menyuruh anak mereka kembali ke kawah Gunung Bromo. Sambil menyembelih kambing di tepi kawah, mereka melemparkan daging dan jagung ke dalam kawah Gunung Bromo, dan berkata: “Brahma Yang Maha Agung dan Kuasa, dengan ini kami menghaturkan korban terbaik yang kami miliki sambil mengucapkan terima kasih atas kebaikan yang diberikan kepada kami. Terimalah korban kami. Tiap tahun kami akan memberikan korban.” Sejak saat itu, kaum Hindu di daerah Tengger memberikan korban ke kawah Gunung Bromo untuk menghormati Brahma sebagai Dewa Agung mereka.
Capt.R.P. Suyono, Mistisme Tengger, Yogyakarta, 2009, hlm. 349-352