Saturday, December 7, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Syam Kamaruzzaman, Kabupaten Tuban

30 April 1924 Syamsul Qomar bin Moebaedah lahir di Kampung Kutorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Indonesia.  Terlahir dari pasangan…

By Pusaka Jawatimuran , in Sosok Th. 1990 Tuban , at 13/02/2013 Tag: , , , , , , , , ,

sjam - Copy30 April 1924 Syamsul Qomar bin Moebaedah lahir di Kampung Kutorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Indonesia.  Terlahir dari pasangan Ayah R Achmad Moebaedah seorang penghulu (semacam kepala pengadilan agama)  dan ibu, Raden Roro Siti Chasanah, asal Blitar, Jawa Timur. Sjam anak kelima dari sepuluh bersaudara—dua di antaranya meninggal pada masa kanak.

Dikenal dengan Syam Kamaruzzaman yang merupakan tokoh kunci G30S dan orang nomor satu di Biro Khusus PKI yang bertugas membina simpatisan PKI dari kalangan TNI dan PNS.

Syam hanya berpendidikan sampai kelas tiga Land dan Tunbow School dan Suiker-School, Surabaya. Syam tidak menamatkan sekolahnya, sebab Jepang masuk Indonesia,

Tahun 1943, Syam masuk sekolah dagang di Yogyakarta namun hanya sampai kelas dua.

Tahun 1945-1946, Syam ikut dalam pertempuran di Magelang, Ambarawa dan Front Mranggen, Semarang. Sempat memimpin laskar di Front Semarang Barat. Sekembalinya dari Front tersebut, ia menjadi anggota Pemuda Tani dan menjadi pemimpin Laskar Tani di Yogyakarta.

Tahun 1947, menjelang Agresi Militer Belanda I, Syam membentuk Serikat Buruh Mobil, sebuah organisasi buruh yang berhaluan kiri.

Tahun 1947akhir, ketika Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan didirikan, Syam menjadi ketua. Syam banyak mempelajari teori Marxis pada periode tersebut.

Tahun 1950-an ini juga ia sering datang dan menginap di rumah Suharto di Yogya. Menurut Subandrio, yang juga Ketua Badan Pusat Intelijen (BPI),

Tahun 1950-57,  Syam menjadi staf anggota SOBSI Jakarta, lalu sebagai sekretaris dan selanjutnya menjadi Wakil Ketua Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

 Tahun 1957, Syam diangkat sebagai pembantu pribadi Aidit, Ketua PKI.

Tahun 1958, Syam sebagai perwira intelijen AD serta mitra lokal CIA. Dengan demikian Syam mempunyai hubungan tertentu dengan CIA, baik secara langsung atau pun tidak  serta menjadi intelnya Kolonel Soewarto, direktur seskoad.

Tahun 1960, Syam ditetapkan menjadi anggota Departemen Organisasi PKI.

Tahun 1962, Untuk memperdalam ilmunya Syam dikirim ke RRT, Korea Utara dan Vietnam, termasuk memperdalam bidang intelijen terutama menyangkut strategi mempersiapkan dan menggerakkan pemberontakan bersenjata.

Tahun 1964, Syam memperkenalkan bentuk pengorganisasian anggota-anggota PKI yang berasal dari TNI. Lahirlah apa yang disebut Biro Khusus Sentral.

Ketika mulai dekat dengan Aidit, Syam menjalin hubungan dengan anggota TNI. Channelnya sangatlah mengagumkan. Ia pernah menjadi informan Moedigdo, seorang komisaris polisi, yang kelak salah satu anak Mudigdo diperistri oleh Aidit.

Tahun 1964,  Syam diangkat menjadi ketua Biro Chusus (BC), suatu jaringan intelijen PKI yang hanya mempunyai hubungan langsung dengan Aidit selaku ketua Politbiro CC PKI. Salah satu tugas Syam, membangun sel-sel PKI di tubuh ABRI dan membinanya.

Menurut mantan agen CIA, Suharto mendapat perhatian cukup dari BC PKI dan dibina melalui Syam, Untung dan Latief. Dalam hal ini Suharto akan membantu gerakan mereka, dan dibuktikan dengan didatangkannya Yon 530 dan Yon 454 dalam keadaan siap tempur. Sedang yang lain menamainya sebagai trio sel PKI.

Aidit meminta Syam meninjau kekuatan, untuk mempersiapkan suatu gerakan. Syam  mendekati Kolonel Latief, Komandan Brigade Infantry I Kodam Jaya, Letkol Untung Syamsuri, Komandan salah satu dari tiga batalyon pasukan pengawal istana Tjakrabirawa di Jakarta dan Soejono dari AU, komandan pertahanan pangkalan Halim Perdanakusumah. Petunjuk ini membuktikan bahwa Syam adalah inisiator dari gerakan yang kemudian gagal.

Syam berhasil mengadakan kontak-kontak tetap,  melalui cabang-cabang di daerah, dengan sekitar 250 perwira di Jawa Tengah, 200 di Jawa Timur, 80 sampai 100 di Jawa Barat, 40 hingga 50 di Jakarta, 30-40 di Sumatera Utara, 30 di Sumatera Barat dan 30 di Bali.

12 Agustus 1965, Syam dipanggil Aidit ke rumahnya saat Presiden Soekarno sakit. Aidit mengemukakan suatu hal kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila beliau meninggal”. Disinilah banyak kalangan yang meyakini Syam Kamaruzzaman sebagai tokoh kunci dalam peristiwa G30S.

November 1965,  Aidit ditangkap dan dieksekusi oleh Kolonel Yassir Hadibroto atas perintah Soeharto. D.N. Aidit diambil dari tempat isolasinya di rumah Sersan Suwardi di Halim selanjutnya dipaksa oleh Syam untuk terbang ke Yogyakarta untuk akhirnya jatuh dalam kekuasaan agen intel AD tamatan sekolah intel AD di Bogor bernama Sriharto Harjomiguno yang telah menyusup dalam Biro Khusus PKI.

Tahun 1965 akhir atau 1966 awal, menurut Mayjen Tahir, perwira pelaksana Team Pemeriksa Pusat, Syam ditangkap di daerah Jawa Barat sekitar. Syam Kamaruzzaman dianggap sebagai tokoh terpenting dalam peristiwa G30S ini yang membuat tidak hanya PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan politik nasionalis runtuh dalam beberapa hari. Dan setelah G30S meletus dan kemudian gagal (atau didesain untuk gagal), Syam pun menghilang.

Dengan telah ditembakmatinya Aidit tanpa diajukan ke pengadilan maka Syam memonopoli seluruh keterangan tentang G30S. Hanya Syam sebagai Ketua BC PKI dan Aidit sebagai Ketua Politbiro PKI yang mengetahui seluk beluk biro tersebut dalam hubungan dengan peristiwa G30S serta hubungannya dengan sejumlah perwira militer.

Keterangan-keterangan Syam dalam persidangan Mahmillub, baik sebagai terdakwa maupun saksi telah memonopoli fakta-fakta yang seluruhnya menjurus kepada digiringnya Aidit dan PKI sebagai terdakwa yang sebenarnya, dengan pion-pionnya Letkol Untung dan kawan-kawannya. Maka Syam bertindak baik sebagai dirinya maupun sebagai Aidit tanpa secuwil pun keterangan Aidit.

Nama Syam berada dalam daftar gaji Kodam Jaya. Di Kodam Jaya Syam berhubungan dengan Latief, di samping hubungannya dengan Kostrad. Agar lebih meyakinkan maka dalam semua proses kemunculan Syam, ia dilukiskan sebagai seorang komunis sejati yang amat dekat dengan Ketua Aidit. Syam selalu mengakui dia yang memberikan perintah, dan perintah itu semuanya berasal dari Aidit. Pendeknya Aidit merupakan dalang seluruh peristiwa. Ia toh tidak akan membantahnya dari kubur.

Begitu Syam mempunyai kesempatan bicara, ia begitu bernafsu menceritakan apa saja yang ia ketahui tentang G30S. Di pengadilan ia menyombongkan dirinya sebagai otak di belakang gerakan. Namun seluruh pengakuan serta tindakan Syam tidak secuwil pun merupakan pembelaan terhadap PKI atau Aidit. Sebaliknya ia terus menerus mendiskreditkannya. Dengan demikian ia tidak bekerja untuk PKI atau Aidit. Maka tidak aneh jika banyak orang termasuk para pengamat dan pakar mempertanyakan orang misterius ini, dan untuk siapa ia bekerja. Seluruh proses Mahmillub diarahkan untuk menggiring pembenaran tuduhan terhadap PKI serta menjeratnya dari segi hukum, sedang di lapangan dilakukan pembantaian tanpa ampun. Dengan demikian seolah segalanya dilandasi hukum.

Ketika Dularip bertanya bagaimana caranya mengajak para jenderal itu untuk menghadap Presiden Sukarno, maka Syam tegas menjawab dengan mantap, “Tangkap, hidup atau mati”. Syam sendiri di Mahmilub menyebutnya sebagai perintah Aidit, sesuatu yang bertentangan dengan perintah Letkol Untung. Tidak ada bukti dan alasan apa pun juga yang dapat diketengahkan apa sebabnya G30S membunuh para jenderal yang diculiknya dalam keadaan terpaksa meskipun beberapa orang memang melawan. Dengan demikian ini merupakan skenario aslinya.

Siapakah sebenarnya yang memerintahkan Syam melakukan tindakan semacam itu? Tindakan yang sama sekali tidak menguntungkan gerakan G30S. Berbagai pengumuman Dewan Revolusi termasuk pembentukan Dewan Revolusi itu sendiri yang sama sekali tidak menyebut nama Sukarno sangat tidak menguntungkan baik G30S secara keseluruhan maupun Untung cs dan Aidit.

Betapa konyol dan cerobohnya rancangan jalannya peristiwa G30S, mulai dari penculikan, eksekusi para jenderal dan pengumuman-pengumuman RRI Jakarta atas nama Letkol Untung dengan Dewan Revolusinya, buruknya logistik dsb. Seperti disebut Jenderal Nasution, mereka tidak membuat rencana alternatif, dan ini berarti secara strategis sudah suatu kegagalan. Selanjutnya ketika komandan kontrol G30S menghubungi tiga sektor yang telah mereka bentuk, sebagai disebut Brigjen Suparjo, semuanya kosong. Indikasi kuat Syam sebenarnya berada di kubu lain, yang kegiatan sebenarnya untuk kubu tersebut. Dia sendiri yang melakukan sabotase terhadap gerakan yang dikendalikannya. Gerakan ini dirancang untuk gagal. Maka Latief berkeyakinan Syam tidaklah bertindak atas nama pribadi, dan yang dituding olehnya tak lain daripada yakni kubu Suharto?.

Terdapat persamaan modus operandi antara percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang telah menculik PM Syahrir dengan G30S. Mula-mula Letkol Suharto berada dalam satu kubu dengan atasannya Komandan Divisi Mayjen Sudarsono. Mereka, termasuk pasukan Suharto menduduki RRI dan Kantor Telepon Yogya pada 2 Juli 1946. Anehnya kemudian Letkol Suharto berbalik menangkap kelompok yang mencoba melakukan kudeta. Ketika itu Syam sebagai intel Batalion 10 pimpinan Letkol Suharto. Rupanya G30S merupakan ulangan permainan politik semacam itu.

Tahun 1966, Gathut Soekresno sebagai saksi atas perkara Untung memberi petunjuk, bahwa eksekusi terhadap para jenderal, bukan atas inisiatif Syam. Namun Doel Latief  lebih berperan, sebenarnya Mayor Udara Soejono yang bertanggung jawab terhadap nasib para jenderal tersebut.

Sedikit informasi tentang Syam Kamaruzzaman, namun banyak yang bisa dikaitkan bahwa Syam dengan Soeharto merupakan agen ganda untuk PKI, CIA, KGB dan TNI. Syam sebagai pentolan PKI yang turut membidani pemberontakan. Namun dalam persidangan ia justru memberikan kesaksian yang memberatkan tokoh – tokoh PKI yang lain.

Tahun 1967,  majalah Ragi Buana menamai Syam sebagai ‘double agent’ ia menjadi informan Kodam Jaya sejak 1955 sampai kudeta 1965. Akhirnya sebutan double agent tidak lagi digunakan koran-koran dan radio. Rupanya Kopkamtib kemudian sangat berkeberatan akan penggunaan istilah itu yang dapat merugikan Jenderal Suharto, lalu melarangnya.

8 Maret 1967, Syam ditangkap di Cimahi. Berdasarkan dokumen-dokumen CIA yang telah dibuka untuk umum seperti dicatat oleh Peter Dale Scott, pesakitan itu merupakan orang ketiga yang diidentifikasi oleh pihak AD sebagai orang yang bernama ‘Syam’. Jadi paling tidak ada tiga orang ‘Syam’.

27 Mei 1967, Syam ditahan di RTM Budi Utomo Jakarta.

9 Maret 1968, dinyatakan bersalah dalam pengadilan atas peristiwa G30S, dijatuhi hukuman mati oleh Mahmillub. Di tahun-tahun berikutnya ia menyombongkan diri kepada rekan-rekannya di penjara bahwa ia masih bertahan hidup meski sudah dijatuhi hukuman mati.

27 Oktober 1972, Syam Kamaruzzaman mulai masuk penjara Cipinang. Menurut kesaksian para tapol, Syam dan komplotannya Subono masih bisa keluar penjara serta menulis laporan untuk kepentingan AD. Tahun 1980awal, ia keluar masuk di berbagai instansi militer. Menurut keterangan seorang mantan perwira Kopkamtib, Syam memang dipakai sebagai informan militer.

27 September 1986 jam 21.00, Syam diambil dari Cipinang oleh petugas Litkrim Pomdam Jaya atas nama Edy B Sutomo (Nrp.27410), lalu dibawa ke RTM Cimanggis.

30 September 1986  jam 01.00,  bersama dua kawannya ia dibawa dari Cimanggis dan sampai ke Tanjungpriok. Mereka diangkut dengan kapal laut militer ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu dan dieksekusi mati pada jam 03.00. Usia 62 tahun.

Tak ada keterangan mengapa pelaksanaan eksekusi terhadap Syam – dan sejumlah tokoh yang lain – terus diulur-ulur hingga 14 tahun dihitung dari sejak masuk Cipinang, bahkan 18 tahun bila dihitung sejak vonis Mahmillub.

Namun para mantan tahanan politik di Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Mulia meragukan benarkah Syam benar- benar dieksekusi. Banyak yang beranggapan bahwa Syam dilepas, beralih identitas atau kabur ke luar negeri. Semua atas jasanya

September 1986. seorang pejabat di lingkungan Depkeh RI menyatakan Syam dikeluarkan dari Cipinang atas izin Presiden Suharto. Antara dua keterangan ini sekedar perbedaan waktu, mungkin saja Latief tidak akurat. Jalannya peristiwa menunjukkan peran agen Syam menjadi salah satu kunci penting keberhasilan operasi yang sedang dilancarkan oleh sahabat lamanya, Jenderal Suharto. Mungkinkah orang yang agaknya tahu betul akan “isi perut” Suharto dalam hubungan dengan G30S dibiarkan hidup bebas? (Harsutejo, “Sejarah Gelap G30S”)

Apakah itu Syam yang asli atau ‘Syam’ yang lain? Agaknya akan tetap menjadi misteri sebagaimana misteri berbagai hal seputar G30S.

Tahun 1990, menurut pengakuan Latief ketika ditahan di Cipinang ia berada satu blok dengan Syam=BhaNt0=