Megengan, Kabupaten Magetan, Bangkalan, Gresik, Tulungagung
Megengan Tradisi Perekat Silaturahmi, ragam tradisi megengan tumbuh semarak di masyarakat sebagai bentuk akulturasi Isla dan budaya lokal. Salah satu…
Megengan Tradisi Perekat Silaturahmi, ragam tradisi megengan tumbuh semarak di masyarakat sebagai bentuk akulturasi Isla dan budaya lokal.
Salah satu pengaruh Islam di lingkungan masyarakat Islam Jawa adalah tradisi megeng-an. Megengan sering diartikan ritual mapag atau menjemput tanggal satu Bulan Ramadlan. Secara harfiyah megengan berasal dari kata “megeng” yang berarti menahan diri dari semua perbuatan yang mendatangkan dosa. Itu sebabnya, secara filosofis megengan bermakna sebagai media permohonan maaf atas segala dosa para leluhur, sekaligus sebagai momentum mengenang dan menghormati atas segala kebajikannya.
Dan yang lebih penting lagi, megengan merupakan pernyataan sikap dengan diiringi keihlasan tinggi untuk mapag kedatangan Bulan Suci Ramadlan. Itu sebabnya, warga muslim selalu sibuk menyiapkan diri dengan melakukan berbagai ritual selama tujuh hari menjelang Puasa Ramadlan.
Tradisi megengan di setiap daerah banyak ragamnya, tetapi membersihkan diri, membersihkan masjid, dan ziarah kubur adalah jamak dilakukan masyarakat. Doa dengan menggelar kenduri bersama di masjid juga mewarnai ritual megengan sebagai ungkapan rasa bersyukur atas kedatangan Ramadlan.
Warga Desa Tamanarum, Kec. Parang, Magetan, setiap menyambut bulan suci selalu mengadakan ro’an atau kerja bakti membersihkan masjid kuno dan sarean(makam) pendiri masjid. Masjid kuno di Desa Tamanarum adalah peninggalan KH Imam Nawawi. Dilihat dari pahatan mustaka melati dan wuwungnya persis dengan makam KGRay Maduretno istri Adipati Maospati Rangga Prawirodirdjo III, yang berangka 1810. Ini bisa diartikan masjid di desa ini usianya sama dengan berdirinya Kabupaten Magetan.
“Seperti biasanya kita menyambut Bulan Suci Ro-madhan ini dengan membersihkan masjid, karena akan digunakan untuk sholat taraweh dan kegiatan selama romadhan. Lemari- lemari tempat penyimpanan kitab-kitab dan al-Qur’an kuno juga kita bersihkan, selesai masjid kita kerja bakti membersihkan makam,” jelas KH Hamid, Pengasuh masjid At Taqwa yang juga keturunan dari KH Imam nawawi ini.
Biasanya selesai membersihkan masjid dan makam, malam harinya dilaksanakan kirim doa kepada keluarga yang sudah meninggal, kemudian dilanjutkan dengan
selamatan “Ambengan”(membawa tumpengan atau makan satu ember penuh yang di penuhi berbagai jenis menu dan jajan) di bawa ke masjid, dan di makan bersama- sama di serambi masjid.
“Tradisi seperti ini adalah simbol kebersamaan yang tercipta sejak mbah kita dulu, tidak ada unsur apa-apa dalam pelaksanaannya, ya karena tradisi saja, kami melakukannya sebatas ngeluri budaya, karena kalau tradisi seperti kerja bakti ini tidak sering kita adakan akhirnya akan terbangun sifat individualis seperti yang ada di kota- kota besar” kata Lanjar Karni, Kepala Desa Tamanarum.
Soal membersihkan makam, masyarakat Bangkalan lebih unik, sebab makam keluarga tidak hanya dibersihkan tetapi batu nisannya diperbaiki dan dicat dengan warna warni yang mencolok, seperti kuning, merah, hijau, biru dan lainnya. “Kalau rumah kita yang masih hidup dibersihkan dan dipercantik, maka makam keluarga kita yang sudah wafat juga perlu dirawat keindahannya,” kata Mail warga Bangkalan.
Makam para wali juga menjadi jujugan masyarakat sesaat sebelum Bulan Puasa tiba. Makam Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Malik Ibrahim, Sunan Drajat dan Sunan
Bonang dan puluhan sunan lainnya selalu ramai diziarahi. “Menjelang Ramadlan jumlah peziarah lebih banyak dari hari-hari biasa, “kata Hasyim pegawai Makam Sunan Drajat.
Megengan dalam makna lain adalah media perekat antar umat Islam. Tali persaudaraan terikat kuat karena didasari hati, pikiran dan jiwa yang saling bersilaturrahmi. “Dengan megengan yang sangat sederhana mendatangkan hikmah yang besar,” ungkap Asrori Kepala Desa Tiudan Kecamatan Gondang .
Menurut Asrori yang juga sebagai Ketua AKD Kabupaten Tulungagung tradisi megengan di desanya setiap tahun ditandai dengan membuat jajanan seperti apem,pisang,bahkan tumpengan yaitu nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya seperti ayam lodho,sambal goreng kentang,dan tempe,urap-urap,ke timun,kelapa goreng alias srondheng.
Dia menjelaskan makanan khas yang selalu mengisi acara megengan adalah pembagian kue apem dan pisang. Uniknya di daerah Tulungagung hanya dua jenis kue itu yang dibagikan antara tetangga.” Ini tentu mengandung makna atau filosofi tersendiri dibalik penggunaan kue apem dan pisang raja dalam acara megengan,” bebernya. Kue apem bila disatukan dengan pisang raja akan berbentuk payung. Pisang berfungsi sebagai penyanggah dan kue apem sebagai payungnya. “Payung itu sendiri melambangkan perlindungan dari segala rintangan dan halangan selama menjalankan ibadah di Bulan Suci Ramadan,” jelasnya Ada juga yang bilang kalau kue apem ini berasal dari perkataan Arab “afwan” yang berarti “maaf. Meminta maaf dan memberi maaf sebelum Ramadlan tiba memang lebih baik dibanding setelah berpuasa sebulan penuh.
Megengan berarti juga acara saling memberi ransum ( nasi beserta sayur ayam ) kepada para sanak saudara dan orang tua. Dalam hal ini megengan bukan sekedar ungkapan syukur dan gembira atas datangnya bulan Ramadhan, namun sekaligus sebagai ajang mempererat silaurrahmi dan persaudaraan. Ada sebuah pepatah jawa yang mengatakan ” pager mangkok luwih kuat tinimbang pager tembok ” yang artinya saling memberi hadiah makanan ( arti dari mangkok) adalah lebih kuat menjaga tali persaudaraan. Islam di Jawa tumbuh subur berkat akulturasi dengan tradisi yang berkembang di Jawa, sehingga khazanah keislaman berupa tradisi megengan ini tetap hidup dan menghidupi pembentukan masyarakat yang saling menghargai dan mencintai sesama.(Sum, Sak)
SUARA DESA, Edisi 05, 15 Juni -15 Juli 2012, hlm. 59