Sudomo, Malang
20 September 1926, Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo lahir di Jalan Embong Arab Gang 4, Malang, Jawa Timur, Indonesia. Dari pasangan Ayah…
20 September 1926, Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo lahir di Jalan Embong Arab Gang 4, Malang, Jawa Timur, Indonesia. Dari pasangan Ayah Haji Kastawi alias Haji Martomihardjo dan Ibu Saleha, kedua orang tuanya adalah Masyumi. Sudomo anak pertama dari lima bersaudara, tiga laki-laki dan dua perempuan.
Tahun 1939, Sudomo Lulus dari HIS Probolinggo
melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama, di Probolinggo. ketika Jepang menggusur penjajah Belanda. Lembaga Pendidikan berbahasa Belanda banyak yang bubar, termasuk MULO Probolinggo. Sehingga pendidikan Sudomo terputus .
Tahun 1943, Sudomo meneruskan pendidikan ke sekolah SMP Negeri di Jalan Celaket, Malang, dan lulus.
17 Agustus 1945, ketika proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut, lembaga keamanan nonmiliter. Selang sehari, sekolah di Pasuruan membentuk BKR.
BKR Pasuruan lalu berubah menjadi Angkatan Laut Batalion III Pangkalan IX. Saya mendapat pangkat letnan sebagai perwira logistik.
Desember 1948, Sudomo ditetapkan sebagai orang kedua, di bawah Mayor John Lie, dalam kapal PPB-58 LB. Pelayaran pertama menuju Phuket, Thailand, membawa karet untuk ditukar dengan senjata. Karena kepiawaian John Lie—dikenal sebagai The Smuggler with the Bible—kapal dengan misi menyuplai senjata buat pasukan Indonesia ini selalu aman.
Tahun 1950, Sudomo terjun dalam pertempuran menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan Sebagai Kepala Staf Operasi IV Markas Besar Angkatan Laut.
Tahun 1958, Pendidikan Perwira Special Operation dan kursus Komandan Destroyer Gdyna, Polandia, lulus.
Tahun 1958, bertugas menyiapkan operasi militer menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, semua operasi dijalani tanpa rasa takut. Militer sudah teken mati dalam setiap operasi.
Pendidikan di Lemhannas, Sekolah Para Komando KKO, dan SESKOAL.
Tahun 1961, sewaktu menikah dengan Fransisca Piay, Sudomo pindah ke agama istri yaitu Protestan.
Tahun 1980, bahtera rumah tangganya kandas Sudomo bercerai, perkawinannya bertahan 19 tahun. Dari pernikahan ini, dikaruniai empat anak. Biakto Trikora Putra, yang lahir pada 15 Agustus 1962, tepat saat ditandatanganinya kesepakatan Indonesia-Belanda soal penyerahan Irian Barat, Dewi Prihatina Dwikora Putri, Martini Yuanita Ampera Putri, dan Meidyawati Banjarina Pelita Putri.
Nama keempat anak Sudomo selalu berkaitan dengan kabinet, tugas, serta jabatannya sebagai tentara. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mau berkiprah di bidang militer. Anak laki-laki pertama, Biakto, tidak mau jadi tentara mungkin karena sering melihat ayahnya jarang pulang. Dia memilih menyelesaikan studi di University of Southern California dan meraih gelar BA.
Tahun 1969-1973, Kepala Staf TNI AL.
Tahun 1973-1978, Wakil Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (WaPangkopkamtib).
28 Maret 1978. Sudomo diangkat menjadi Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), sekaligus Wakil Panglima ABRI (1978-1983).
Tahun 1983 – 1988, menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan juga sebagai Ketua DPA.
Tahun 1988-1993, dipercaya sebagai Menko Polkam.
Tahun 1990, setelah membujang 10 tahun, menikahi Fransiska Diah Widhowaty.
Tahun 1993-1998, Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Tahun 1994, pernikahan yang kedua bernasib sama, kandas di tengah jalan mengalami perceraian Dari pernikahan dengan Siska Widhowaty, tidak memiliki anak.
Pada 1994, Sudomo pernah mengajukan berhenti dari Dewan Pertimbangan Agung karena kasus Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Ketika itu, Beliau dikaitkan dengan kasus pembobolan Bapindo karena memberikan referensi kepada Eddy Tansil.
27 Juni 1994, Sudomo menjadi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam pengadilan, mengaku memberikan referensi lisan atas permintaan Eddy Tansil pada 19 Juni 1989. Ketika itu menjabat Menteri Koordinator Polkam. Sudomo menjelaskan referensi bukan dipakai supaya Bapindo melakukan penyimpangan meski selalu ada peluang disalahgunakan. Saya pernah memanggil dan menegur Eddy Tansil, tapi tak mempan. Pengadilan akhirnya menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara.
Tahun 1996, Sudomo kembali bertugas di Dewan Pertimbangan Agung sampai benar-benar bisa melepaskan jabatan politik pada usia 72 tahun.
Tahun 1997, Sudomo memutuskan untuk kembali memeluk Islam, berkat kekuatan doa ayah. Mengucap kalimat syahadat di Masjid Al-Huda, Malang, Jawa Timur, disaksikan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman.
Tahun 1998, naik haji untuk pertama kalinya setalah kembali memeluk Agama Islam.
Tahun 1998, pensiun, dengan jabatan terakhir Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Ditahun ini pula menikah lagi untuk ketiga kalinya, dengan Aty Kesumawaty.
Tahun 2002, bercerai dengan Aty Kesumawaty . Pernikahan ini hanya bertahan empat tahun. Dari dua kehidupan pernikahan sebelumnya, tidak ada yang seseru pernikahan ketiga ini. Pada perceraian ketiga, saya kalah di Pengadilan Agama tingkat pertama. Dalam hal pembagian harta gono-gini, hampir saja Sudomo kehilangan rumah di Pondok Indah. Akhirnya rumah kembali ketika proses banding hingga kasasi, penyelesaian perkara memakan waktu selama 3 tahun 2 bulan itu.
Tahun 2002, naik haji untuk kedua kalinya, selanjutnya menjalankan ibadah umrah sampai lima kali. Mungkin hal itulah yang membuat orang-orang menambahkan singkatan HM di depan namanya.
Meskipun pernah memeluk agama lain, Sudomo percaya orang yang mengucapkan kalimat syahadat dan menjalankan ibadah dengan sepenuh hati akan suci lagi seperti bayi.
18 April 2012, Sudomo meninggal dunia, di Jakarta, pada umur 85 tahun, karena pendarahan di otak.=S1Wh0T0=