Jidhor Sentulan, Kabupaten Jombang
Upacara adat Arak-arakan Khitan Jidhor Sentulan merupakan upacara yang dilaksanakan di beberapa desa di Kabupaten Jombang untuk merayakan khitanan. Upacara…
Upacara adat Arak-arakan Khitan Jidhor Sentulan merupakan upacara yang dilaksanakan di beberapa desa di Kabupaten Jombang untuk merayakan khitanan. Upacara ini sangat bernuansa Islam, meskipun warna lokalnya juga sangat kental. Anak yang dikhitan duduk di atas tandu, dan kemudian diajak berkeliling di sepanjang jalan yang telah ditentukan dengan diiringi kaum kerabat dan anak-anak yang ikut bergembira.
Dalam bahasa orang Jombang, anak yang telah dikhitan tersebut dikatakan sebagai anak yang telah di “selam” atau diislamkan (dijadikan Islam). Musik pengiring dalam upacara ini terdiri atas rebana, gendang, dan jidor. Oleh karena itu, iring-iringan upacara adat yang digelar sebagai ungkapan kebahagiaan dan rasa syukur atas anak yang telah dikhitan atau diislamkan tersebut dinamakan Arak-arakan Khitan Jidhor Sentulan.
Upacara ini sangat unik karena dikemas dengan unsur-unsur lokal. Tampilan seekor harimau jadian yang disebut Kiai Kumbang Semendhung, seorang penari topeng yang disebut penthul, arak-arakan, dan upacara selamatan merupakan daya tarik tersendiri. Dalam arak-arakan ini yang menjadi pembuka jalan adalah seorang penari bertopeng(penthul), lalu disusul anak yang dikhitan yang disebut pengantin khitan yang diusung dengan tandu oleh empat orang.
Harimau jadi- jadian, yang dipercaya sebagai penjelmaan Kiai Kumbang Sumendhung, dipercaya sebagai dhanyang dusun “roh halus penjaga dusun, berjalan di belakang pengantin khitan. Pengiring pengantin khitan ini terdiri atas muda- mudi yang belum menikah. Mereka dinggap masih dalam keadaan suci dan diberi tugas untuk membawa kembang mayang. Kerabat pengantin khitan juga ikut dalam arak- arakan prosesi tersebut. Barisan paling akhir adalah kelompok musik yang mengiringi arak-arakan.
Para peserta upacara melakukan beberapa kegiatan yang merupakan rangkaian dari jalannya upacara. Ketika prosesi tiba di depan kediaman yang punya hajat (orang tua pengantin khitan) perlengkapan upacara atau sajian yang disebut sandhingan dan cok bakal diserahkan kepada ayah pengantin khitan sebagai kepala keluarga dan juga kepada pengantin khitan. Selanjutnya Kiai Kumbang Sumendhung menjemput sesepuh “sosok yang dituakan” yang bertugas sebagai pemimpin upacara untuk membaca doa dan mantra sembari membakar kemenyan.
Orang tua (sesepuh) ini berperan sebagai dukun yang dipercaya memiliki kemampuan untuk mengusir roh jahat. Apabila tidak diusir, roh jahat tersebut akan mengganggu warga dusun. Kegiatan selanjutnya adalah selamatan, melantunkan doa syukur kepada Allah SWT untuk memohon perlindungan-Nya. Puncak dari kegiatan ini adalah pelaksanaan khitan oleh juru khitan.
Perlengkapan upacara mengusung berbagai makna. Misalnya, angka 2 (dua) mengusung makna yang terkait dengan fenomena alam yang berlawanan, seperti terang dan gelap, siang dan malam, tua dan muda, lelaki dan perempuan, dan sebagainya; penunjukan angka 1 (satu) mengusung makna keekaan (yang tunggal) seperti bumi yang satu, dan Sang Pencipta bumi dan isinya yang dipercaya juga hanya satu. Penggunaan angka 5 (lima) mengacu kepada kepercayaan tradisional Jawa, yakni kiblat papat lima pancer “empat kiblat, dan satu pusat yang ke-5”. Tradisi ini terancam punah.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Menggelar Mantra, Menolak Bencana, hlm. 10-11