Sejarah Gedung Kampus A, UNAIR
Ketika Gedung-gedung Bercerita Lingkungan menjadi sangat penting untuk mendukung sebuah aktivitas. Sebuah lingkungan dan ruang yang kondusif, akan berperan besar…
Ketika Gedung-gedung Bercerita
Lingkungan menjadi sangat penting untuk mendukung sebuah aktivitas. Sebuah lingkungan dan ruang yang kondusif, akan berperan besar dalam meningkatkan performa dan kesuksesan. Universitas Airlangga selalu berusaha untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan integral untuk melangkah.
Sejarah panjang perjalanan Universitas Airlanga, membuat universitas ini mewarisi bangunan-bangunan masa lalu. Bahkan beberapa di antaranya telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Mereka adalah saksi-saksi bisu yang menyimpan rangkaian cerita dan sejarah perkembangan universitas dan bangsa Indonesia.
Cagar budaya adalah merupakan kekayaan bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional.
Bagi sebagian orang, masa lalu adalah sesuatu yang usang dan ketinggalan zaman. Ada juga yang mengatakan jika masa lalu harus dibuang. Tetapi Jka dilihat lebih jernih, sebenarnya banyak kearifan yang bisa kita petik dari masa lalu. Kita bisa becermin dan belajar dari masa lalu untuk membuat kebijakan di masa mendatang. Masa lalu bisa kita jadikan pijakan untuk melangkah ke masa depan yang lebih cemerlang.
Sebagai bangsa yang bersentuhan dengan berbagai bangsa di masa lalu, bangsa Indonesia mempunyai ikatan erat dengan sejarah dan interaksi sosial berbagai bangsa di masa lalu. Begitu juga dengan Universitas Airlangga. Sebagai institusi pendidikan yang berdiri di zaman Belanda, banyak sekali perangkat dan gedung-gedung dalam lingkungan pergutuan tinggi ini yang merupakan peninggalan dari zaman kolonial.
Sebagai institusi yang menyimpan bangunan cagar budaya, Universitas Airlangga punya komitmen untuk merawat dan melindungi. Usaha perlindungan dan pelestarian benda dan bangunan cagar budaya, mengandung konsekuensi logis. Sebagai generasi bangsa yang hidup pada masa kini harus berani menghadapi tantangan kebutuhan masa kini dan mampu memahami sejarah masa lampau.
Pemahaman sejarah masa kini sangat erat kaitannya dengan perubahan. Oleh sebab itu, perlu suatu pengendalian agar perubahan itu menjadi pemicu ke arah lahirnya pemikiran yang akan mengubah
pemahaman sejarah masa lalu. Generasi sekarang merasa semakin jauh untuk dapat memahami sejarah dan masa lalu. Mereka menjadi awam terhadap lingkungan sekitarnya, dan hanya bisa menyimak masa lalu yang telah tercabik-cabik. Sepenggal sejarah yang terekam dalam potret tempo dulu, kini telah berubah menjadi mall dan plaza, gedung perkantoran, bank, atau kondominium. Lebih celaka lagi ketika nama jalan dan kawasan ikut diubah dengan nama baru, sehingga jejak masa lalu benar-benar habis terhapus. Gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda serta bangunan-bangunan bersejarah sudah banyak yang lenyap karena dipugar, diganti dengan bangunan baru yang lebih megah, tidak mungkin dapat direkonstruksi kembali. Dari waktu ke waktu, obyek cagar budaya dan obyek sejarah di Surabaya pun semakin langka.
- LATAR BELAKANG DAN CERITA GEDUNG NIAS
Salah satu unsur pengembangan potensi daerah adalah pembinaan terhadap peninggalan- peninggalan sejarah bangsa. Situs dan benda-benda peninggalan sejarah mempunyai makna kebanggaan terhadap generasi yang akan datang sebagai suatu bangsa yang pernah memiliki citra kebesaran dan perjuangan. Diharapkan rasa nasionalisme dapat tumbuh dan berkembang ke seluruh lapisan masyarakat Dalam arti bahwa peninggalan sejarah dapat menjadi media bagi masyarakat untuk mendidik dan merribina generasi bangsa dalam rangka pembentukan nation and character building di tengah arus global.
Untuk melindungi dan memelihara benda peninggalan dan situs sejarah, dibuat Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1993 tentang pelaksanaannya. Kebijaksanaan pemerintah lain yang mendukungnya adalah Keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tentang pendaftaran, pemeliharaan benda cagar budaya (Kep. Men. No. 0893.062-063/95). Dasar hukum yang dibuat dimaksudkan sebagai pedoman instansi terkait dan masyarakat dalam pembinaan dan pelestarian benda peninggalan sejarah bangsa. Kotamadya Surabaya sebagai ibu kota propinsi Jawa Timur berfungsi sebagai kota sentral aktivitas masyarakat Jawa Timur. Kota Surabaya sebagai salah satu kota tua di Indonesia sarat oleh peninggalan- peninggalan sejarah, mulai dari masa Majapahit sampai kolonial. Peristiwa besar bersejarah pernah terjadi yaitu pertempuran antara rakyat melawan kolonialis yang dikenal dengan “Peristiwa 10 Nopember” Peristiwa tersebut membawa makna tersendiri bagi perjuangan bangsa, bahwa bangsa Indonesia tidaks etuju dengan nilai-nilai penindasan bangsa satu terhadap bangsa yang lain atau anti-kolonialisme. Nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme generasi bangsa di masa yang akan datang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, apabila kebanggaan terhadap keberhasilan perjuangan dapat ditanamkan dalam sendi-sendi kehidupan mereka.
Di samping itu pembinaan budaya daerah ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, jati diri dan kepribadian, mempertebal rasa harga diri serta memperkokoh jiwa persamaan dan kesatuan. Salah satu caranya melalui penanaman nilai-nilai perjuangan bangsa dengan tetap memelihara dan melestarikan benda-benda peninggalan bersejarah.
Pembangunan akan membawa adampak pada perubahan-perubahan, baik bersifat fisik dan nonfisik. Perubahan yang cepat dan dapat dilihat adalah bentuk fisik atau bangunan. Konsekuensi dari proses pembangunan adalah penataan kembali sarana infrastruktur disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan kota.
Prinsip penggunaan dari bangunan-bangunan yang ada selayaknya tidak harus menghilangkan nilai- nilai historis bangunan-bangunan tersebut. Hal ini akan memberikan kesan dan pesan kepada generasi penerus untuk tetap melestarikan dan memeliharanya. Artinya, penanaman nilai-nilai kesejarahan dan perjuangan bangsa sangat diperlukan sebagai bekal mereka dalam kehidupan kota Surabaya yang semakin kosmopolitan. Kebutuhan komersial tidak harus menghilangkan nilai-nilai historis, bahkan mengintegrasikan antara nilai historis dan ekonomis di dalamnya menjadi potensi kepribadian bangsa.
Untuk mengantisipasi perubahan zaman dalam rangka proses pembangunan maka pemerintah daerah Kotamadya Surabaya mengusahakan bentuk-bentuk pelestarian benda-benda bersejarah dengan memasukkannya ke dalam Cagar Budaya. Benda Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang mempunyai nilai penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran diri sebagai suatu bangsa dan kepentingan nasional. Salah satu bangunan peninggalan kolonial yang memiliki nilai sejarah adalah gedung Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menjadi salah satu bangunan yang harus dilindungi dan dilestarikan keberadaannya. Untuk itu pemerintah daerah berupaya mengadakan inventarisasi benda- benda peninggalan sejarah yang ada di Kotamadya Surabaya. Inventarisasi ini dilakukan dengan maksud agar bangunan-bangunan bersejarah selama periode kolonial dapat dimasukkan dalam perlindungan Undang- undang Benda Cagar Budaya di Kota Surabaya. Harapan yang ingin dicapai adalah setiap warga negara mempunyai kewajiban yang sama untuk memelihara dan melestarikan benda-benda peninggalan bersejarah.
Bangunan peninggalan kolonial di kota Surabaya terbagi dalam dua kategori, yaitu the Empaire Style dan Indisch. The Empaire Style (1870-1940) lebih menonjolkan seni neo-klasik Perancis dan seorang penguasa yang merancangnya adalah Herman Williem Daendels. Beberapa bangunan peninggalannya antara lain gedung Grahadi, Gedung BPN, dan Kantor BP7 Tangsi Jotangan (Polwitabes 101), Rumah Sakit Militer (Pabrik Biskuit Karya Samudra), Rumah Sakit Simpang sekarang menjadi Plasa urabaya. Bangunan kolonial bergaya Indsich menonjolkan unsur kebudayaan tradisional dalam bangunan. Contoh bangunan bergaya Indisch adalah gedung Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang dulunya dipakai untuk Nederland Indische Artsen School (NIAS). Bangunan lain adalah Hoogere Burgerschool Soerabaia yang sekarang SMA Wijaya Kusuma (kompleks), Middelbaar Technische School yang kini menjadi STM 1.
Proses pembangunan membawa dampak pada perubahan yang bersifat material dan non-material. Pada bangunan fisik terjadi perubahan pada bentuk dan fungsi untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan. Hal ini juga berdampak pada bangunan-bangunan yang mengandung nilai-nilai sejarah, sehingga perlu adanya antisipasi secara dini untuk menyelamatkan dari kepunahan.
Dalam penelitian yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, para peneliti ingin melihat bagaimana deskripsi bangunan Fakultas Kedokteran sebagai bangunan yang memiliki nilai sejarah? Apakah nilai-nilai sejarah dari bangunan-bangunan peninggalan kolonial khususnya Fakultas Kedokteran Unair? Apakah arti penting nilai-nilai sejarah dari bangunan Fakultas Kedokteran Unair terhadap sejarah perjuangan bangsa Indonesia?
Dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan tambahan wacana masyarakat di bidang pendidikan tentang bangunan-bangunan peninggalan kolonial yang mengandung nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa, sehingga situs-situs sejarah di kota Surabaya menjadi salah satu laboratorium pendidikan sejarah bangsa Indonesia. Kedua, memberikan masukan kepada pemerintah daerah agar dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan , khususnya tata ruang dan bangunan kota lebih mempertimbangkan aspek nilai-nilai sejarah dari bangunan -bangunan yang ada. Di samping meningkatkan jaminan perlindungan dan pelestarian benda-benda cagar budaya untuk masa depan bangsa. Ketiga, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengembangan ilmu pengetahuan tentang situs dan benda-benda peninggalan sejarah.
Metode Penelitian yang dipakai adalah:
- Lokasi Penelitian
- Lokasi penelitian ini terletak di kota Surabaya, khususnya di daerah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Jl. Dharmahusada, kelurahan Karangmenjangan, Kecamatan Gubeng.
- Pengumpulan Data
- Pengumpulan data dilakukan dengan observasi di lokasi penelitian yang meliputi seluruh gedung-gedung fakultas Kedokteran UNAIR. Hasil observasi adalah menemukan denah gedung, fungsi masing-masing gedung, sehingga membantu penelitian melakukan deskripsi bangunan.
- Studi kepustakaan juga dilakukan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah tertulis dari gedung tersebut yang merupakan peninggalan NIAS. Beberapa data yang diperoleh dari studi kepustakaan ini berasal dari laporan tahunan yang dibuat oleh Universitas Airlangga sejak tahun 1955-1975. Buku lain yang menunjang perolehan data didapatkan dari perpustakaan juga diperoleh dari kliping koran.
- Teknik dokumentasi memberikan data penunjang tentang aristektur bangunan berupa foto, gambar gedung, sehingga diperoleh detail-detail bangunan Fakultas kedokteran UNAIR yang dahulu dipakai untuk NIAS.
- Teknik Pengolahan Data
- Pengolahan data dalam penilaian historis, yaitu dengan menguji data yang diperoleh untuk menjadi fakta. Fakta-fakta yang didapat dikatagorikan untuk selanjutnya dihubungkan antara fakta satu dengan lainnya. Interpretasi terhadap fakta dilakukan sebagai langkah terakhir sebelum menyusun histroriografi.
- Analisis Data
- Analisis data dalam penelitian sejarah difokuskan pada langkah interpretasi atas fakta-fakta dan menyusun historiografi. Pada penelitian ini historiografi yang disusun adalah bangunan bernilai sejarah yaitu gedung Fakultas Kedokteran Unair dan kehidupan manusia di lingkungan itu.
B. GAYA ARSITEKTUR GEDUNG NIAS
Universitas Airlangga menyimpan gedung dengan arsitektur tinggi. Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga terletak di Jl Dharmahusada (kini Jl Prof Moestopo), mempunyai luas 6.684 m2. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menempati Kampus A seluas 70.353 m2, yang terdiri dari:
- Luas lahan untuk bangunan 43.309 m2
- Luas lahan terbuka 27044 m2
Bangunan Cagar Budaya ini bekas gedung Nederland Indische Arsten Sechool (NIAS), dibangun pada tahun 1921-1922 oleh Wiemans seorang arsitek dari Burgerlijke Openhari Werken (BOW/ Dinas Pembangunan Umum Pemerintah Kolonial Belanda). BOW adalah lembaga pemerintah kolonial yang mengelola masalah pembangunan gedung-gedung negara. Kekuasaan lembaga ini membawa pengaruh yang sangat besar sekali terhadap bentuk dan arsitektur bangunan negara kolonial di Indonesia.
Seni bangunan negara yang dihasilkan setelah tahun 1900 mempunyai kualitas yang memenuhi standar praktis dan asitektonis. Hal ini dibuktikan melalui pujian Berlage, seorang arsitek senior Belanda terhadap arsitektur bangunan karya-karya BOW yang termuat dalam bukunya Mijn Indische Reis. Beberapa bangunan BOW yang mempunyai kualitas yang sama dengan bentuk dan arsitektur gedung NIAS antara lain gedung HABS (SMA kompleks J. Wijaya Kusuma), gedung STM I (Jl. Patua), Kantor Pos Besar (Jl. Kebon Rojo), Kantor Gubernur (Jl. Pahlawan).
Letak geografis bangunan ini berada di wilayah Surabaya Timur, yaitu di Kelurahan Karangmenajangan, Kecamatan Gubeng, Kotamadya Surabaya. Gedung ini menghadap ke Selatan. Di sebelah Utara berbatasan dengan kampung Kedungsroko, di sebelah Selatan berhadapan dengan Rumah Sakit Dr. Soetomo, di sebelah Timur berbatasan dengan gedung Basic Medical Centre (BMC) dan di sebelah Barat berbatasan dengan Fakultas Kedokteran Gigi.
Bangunan ini bergaya arsitektur Indish, dengan ciri bangunan simetri (kesan monumental). Pintu utama melengkung setengah lingkaran. Bentuk atapnya mengadopsi gaya Eropa, tetapi tetap berpijak sebagai bangunan tropis-basah dengan atap yang tinggi dan bukaan untuk sirkulasi yang lebar. Ventilasi terbuat dari jendela besar dan bentuk lubang-lubang kecil persegi empat di atas jendela. Ciri lain bangunan tropis-basah di zaman kolonial adalah adanya selasar teras yang panjang, yang berfungsi sebagai filter sinar matahari langsung dan tempias air hujan.
Bentuk bangunan menggambarkan bentuk semetri untuk menambah kesan monumental. Gaya arsitektur kolonial Indisch sangat melekat pada bangunan ini. Hal ini dapat dilihat dari bentuk pintu utama setengah lingkaran atau lengkung pada bagian atas. Ciri lain adalah bentuk atap gedung moft sebagai ciri atap bangunan Eropa dengan langit-langit tinggi. Ventilasi yang dibuat dalam bentuk jendela- jendela besar dan bentuk lubang-lubang kecil persegi empat di atas jendela dimaksudkan untuk membuat rotasi udara yang baik. Orientasi terhadap sinar matahari dan tampias hujan menjadi perhatian utama dalam struktur bangunan Belanda.
Walaupun ciri bangunan ini tidak menunjukkan arsitektur Eropa modern, tetapi kualitasnya lebih baik. Para arsitek BOW mempergunakan teknologi modern dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal dan memperhitungkan iklim tropis. Kelebihan lain dari bangunan Belanda di Indonesia adalah cara peletakkan bangunan yaitu memperhatikan lingkungan dan tata ruang perkotaan secara menyeluruh. Konsep bangunan dengan “perletakkan mundur” terlihat pada jarak pandang seseorang untuk dapat menikmati keseluruhan bangunan. Artinya ada nilai seni bangunan lain yang diperhitungkan yaitu perbandingan antara tinggi bangunan dengan jarak orang yang melihat.
Luas bangunan ini adalah 6,684 m2, terbuat dari bahan bangunan yang ada di daerah setempat dengan menyesuaikan kondisi iklim tropis, misalnya terdiri dari; batu andesit sebagai bahan fondasi, batu bata sebagai bahan dinding/tembok, tegel hitam sebagai lantai dengan ukuran 20 x 20 cm, semen, kapur
dan pasir, besi serta kayu. Relief dinding tidak terdapat pada bangunan ini, hanya hiasan lampu besar yang terletak di ruang tengah yang dipergunakan sebagai tempat pertemuan. Pada ruang-ruang kecil tempat perkualiahan lantainya dibuat bertingkat (berundak) dengan posisi terendah ada di depan dan tertinggi pada barisan belakang
C. ARTI LAMBANG DAN FUNGSI BANGUNAN
Gedung ini pada masa NIAS belum mempergunakan lambang Cap Garuda Muka dengan maksud melukiskan Burung Garuda wahana Wisnu memegang sebuah guci berisi air “Amrtha” yang dapat menghidupkan kembali apa yang telah mati. Artinya ada kehidupan abadi jika mahasiswa mendapatkan ilmu pengetahuan dari sumber keabadian tersebut. Cap Garuda Muka ini dipergunakan sebagai cap resmi bersamaan dengan pendirian Universitas Airlangga dengan PP RI No. 57 tahun 1954. Patung Wisnu yang terdapat di halaman depan Fakultas Kedokteran adalah pemberian pemerintah sebagai hadiah. Patung ini dibuat di Jogjakarta.
Nama Airlangga diusulkan oleh Prof. Muhammad Yamin, S .H. dan diterima oleh PJM Presiden dan disetujui oleh Prof. A.G. Pringgodigdo. Secara garis besar digambarkan bahwa Raja Airlangga sangat dekat dengan masyarakat Jawa Timur dan Airlangga juga menjadi kebanggaan, tauladan rakyat. Tokoh yang banyak membantu dalam memaknakan nama Airlangga adalah Prof. De. Casparis.
Maksud pembangunan gedung ini adalah untuk memberikan sarana bagi pendidikan yang berupa gedung-gedung tempat belajar. Sebelum menempati gedung NIAS, pembelajaran dilakukan di dua tempat; di Rumah Sakit Simpang (sekarang Plaza Surabaya) dan di Rumah Sakit Karangmenjangan (Rumah Sakit Dr. Soetomo). Rumah Sakit Karangmenjangan selain menjadi tempat kuliah juga menjadi laboratorium kedokteran. Untuk mempermudah para mahasiswa mengikuti perkuliahan dan mendekatkan tempat kuliah dan laboratorium, maka dibangunlah gedung NIAS di wilayah Karangmenjangan ini.
Tujuan yang hendak dicapai dari pembangunan gedung NIAS adalah memberikan peluang kepada masyarakat bumiputra untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi. Penyelenggaraan pendidikan di NIAS bertujuan mencetak dokter-dokter inlander serta sebagai kelanjutan dari pendidikan Dokter Jawa. keinginan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang lebih tinggi bagi penduduk bumiputra sering terhambat, karena stratifikasi yang dibuat oleh pemerintah kolonial.
Berdirinya NIAS memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh pendidikan dokter. Pemerintah kolonial hanya mengizinkan dua tempat pendidikan dokter di Indonesia yaitu di Jakarta dan Surabaya. NIAS merupakan lembaga tambahan untuk penduduk bumiputra memperoleh pendidikan dokter selain di Jakarta.
Fungsi bangunan gedung NIAS secara umum sebagai tempat proses belajar mengajar bagi mahasiswa yang bercita-cita menjadi dokter. Setelah menjadi milik Unair, fungsi gedung tidak mengalami perubahan. Bagian gedung yang memiliki ruang yang luas difungsikan untuk aula pertemuan dan ruang kuliah. Fungsi ruang-ruang kecil lebih difokuskan untuk memberikan tempat pada masing-masing bagian, antara lain bagian mikrobiologi, histologi, patologi dan anatomi. Selain itu, gedung berfungsi sebagai kantor tata usaha fakultas dan perpustakaan, serta Student Centre.
Secara rinci fungsi gedung-gedung pada Fakultas Kedokteran adalah sebagai berikut:
– Aula
– Perpustakaan
– Kantor Pembantu Dekan
– Kantor Tata Usaha dan urusan pegawai
– Kantor Dekan Fakultas
– Bagian Ilmu khasiat obat
– Bagian Farmasi
– Bagian Ilmu Kesehatan masyarkaat
– Bagian Ilmu Alam
– Bagian Biologi
– Bagian Ilmu Kimia
– Bagian Mikrobiologi
– Bagian Biokimia
– Bagian Ilmu Faal
– Bagian Anatomi
– Bagian Hitologi
– Bagian patologi
– Bagian Teknik
– Student Centre
– Ruang kuliah besar
Pada perkembangan selanjutnya sebagian gedung dipergunakan untuk perkuliahan dan perkantoran Fakultas MPA dan Fakultas Farmasi. Setelah penambahan gedung-gedung baru di kawasan kampus Universitas Airlangga Jl. Dharmawangsa, maka Fakultas MPA dan Fakultas Farmasi pindah dari gedung Fakultas Kedokteran. Sampai sekarang fungsi gedung kembali seperti sedia kala, disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan fakultas tersebut.
Pembangunan gedung-gedung baru merupakan perluasan untuk menunjang kebutuhan dan perkembangan ilmu kedokteran. Keadaan ekonomi keuangan menjadi faktor penentu untuk lebih mengembangkan pembangunan gedung-gedung Fakultas Kedokteran. Pada tahun 1965-1974 proyek pembangunan gedung dapat menyelesaikan gedung Science Building Fakultas Kedokteran seluas 2.025 M2.
D. PERISTIWA SEJARAH YANG MELINGKUPI
Keberadaan cagar budaya Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya fakultas itu. Kedokteran resmi menjadi fakultas bersamaan dengan mulai diresmikannya pembukaan Unair, tepat hari pahlawan tanggal 10 November 1954 oleh pemerintah. Sebelum menjadi fakultas di lingkungan Unair, pendidikan kedokteran di Surabaya merupakan cabang dari fakultas kedokteran UI di Jakarta.
Unair sendiri didirikan melalui Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 1945. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Soekarno pada hari Rabu Pon tanggal 10 November 1954. Pada awal berdirinya Unair mempunyai empat fakultas yaitu : Fakultas Kedokteran serta Lembaga Kedokteran Gigi di Surabaya ; Fakultas Hukum, Sosial, dan Politik di Surabaya; Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Malang ; dan Fakultas Ekonomi di Surabaya.
Fakultas Kedokteran dan Lembaga Kedokteran Giri dahulunya merupakan cabang dari UI. Fakultas Hukum, Sosial, dan Politik dahulunya merupakan cabang dari Universitas Negeri Gadjah Mada.d engan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1954 tersebut keduanya dipisahkan dan berdiris endiri.
Namun sesungguhnya pendidikan kedokteran di Surabaya sudah dimulai sejak tahun 1913. Dalam tahun itu, yaitu tanggal 15 September, oleh pemerintah Belanda didirikan sekolah dokter yang dinamakan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Mula-mula NIAS menerima siswa-siswa lulusan Sekolah Rendah yang pendidikannya 7 tahun lamanya (ELS, HIS, HCS) yang sederajad dengan SD (sekolah dasar). Mula-mula lamanya pendidikan dokter di NIAS adalah 10 tahun, yaitu 3 tahun pendidikan persiapan (voorbereidende afdeling), dan 7 tahun pendidikan medik (geneeskundige afdeling).
Kemudian di NIAS hanya menerima lulusan MULO yaitu pendidikan yang dapat disamakan dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Dengan menerima lulusan MULO, pendidikan di NIAS menjadi 7 tahun. Semula pendidikan dokter di NIAS dilaksanakan di Jl. Kedungdoro 38 dan baru pada tahun 1922 pendidikan dipindahkan ke Karangmenjangan di kompleks gedung-gedung yang sampai sekarang masih dipergunakan. Direktur pertama dari NIAS adalah Dr. A. E. Sitzen. Pada tahun 1923 NIAS untuk pertama kali menghasilkan dokter dengan gelar Indisch Arts, antara lain Prof. M. Soetopo.
Dengan pendudukan Jepang pada tahun 1942 waktu Perang Dunia II, NIAS ditutup. Karena pendidikan dihentikan, para siswa diperkenankan melanjutkan pelajarannya di Jakarta, yaitu setelah dibukannya Perguruan Tinggi Kedokteran pada tahun 1943 dengan nama Ika Dai Gakku. Berdasarkan laporan tahunan Unair tahun 1969, setelah Perang Dunia II selesai maka pendidikan kedokteran Surabaya dibuka kembali pada tanggal 5 September 1948. Pendidikan tersebut dimulai dengan tingkat I dan merupakan cabang dari Facultiet der Geneeskunde van der Geneeskunde Surabaya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ketua pertama adalah Prof. Dr. Streef. Seperti diuraikan di atas pada tanggal 10 November 1954, fakultas kedokteran itu menjadi Fakultas Kedokteran Unair. Waktu pendidikan lamanya 7 tahun. Pada waktu itu Ketua Fakultas (sebutan dekan pada saat ini) adalah Prof. Dr. Moh. Sjaat.
Pada tahun 1959, Fakultas Kedokteran Unair mengadakan afiliasi dengan University of California, yang dimulai dengan tingkat pertama (Chief of Party Fieldstaff: Dr. Wiley D. Forbus). Dekan pada waktu itu adalah Prof. Moh. Zaman. Pada tahun 1968 fakultas kedokteran ditunjuk oleh pemerintah menjadi fakultas Kedokteran Pembina, dengan tugas antara lain membantu pembangunan fakultas-fakultas kedokteran lain yang baru didirikan.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Melangkah di Tahun Emas I954—2004; 50 TAHUN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA: Airlangga University Press Surabaya. Surabaya, 2004, hlm. 189-195