Tuesday, November 5, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Vihara Sejarah dan Kekhasan Avalokitesvara, Kabupaten Pamekasan

Sekitar abad ke-14, berdiri sebuah Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo sebelah barat Pamekasan, yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit yang…


Sekitar abad ke-14, berdiri sebuah Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo sebelah barat Pamekasan, yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto. Sebagai kerajaan, Raja-raja Jamburingin berkeingin membangun candi sebagai tempat pemujaan atau beribadah. Bahan-bahan untuk; keperluan pembangunan candi seperti patung dan arca didatangkan dari Majapahit melalui Pantai Talangsari.

Namun, setelah tiba di Pantai Talangsari, kiriman patung dan arca tidak terangkat karena tidak tersedianya sarana angkutan yang memadai dan akhirnya terlantar di tepi pantai, Namun, akhirnya, penguasa Kraton Jamburingin memutuskan untuk membangun candi di sekitar pantai. Tempat candi yang tidak terwujud itu, sekarang dikenal dengan Desa Candi Burung merupakan salah satu desa di Kecamatan Proppo, yang lokasinya berdekatan dengan Desa Jamburingin.

Burung dalam bahasa Madura berarti gagal (tidak jadi). Rencana pembangunan candi di Pantai Talangsari pun tidak terlaksana seiring perkembangan kejayaan Kerajaan Majapahit yang mulai pudar serta penyebaran agama Islam mulai masuk dan mendapat sambutan baik dari penduduk di Pulau Madura, termasuk daerah Pamekasan. Akhirnya, patung- patung kiriman dari Majapahit pun dilupakan penduduk, serta lenyap terbenam dalam tanah.

Sekitar tahun 1800, seorang petani bernama Pak Burung tidak sengaja menemukan patung-patung peninggalan dari Majapahit di ladangnya. Kabar penemuan itu menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda dan meminta Bupati Pamekasan Raden Abdul Latif Palgunadi alias Panembahan Mangkudiningrat I (1804-1842) untuk mengangkat dan memindahkan patung-patung tersebut ke Kadipaten Pamekasan. Tetapi, karena keterbatasan peralatan saat itu, proses pemindahan patung-patung tersebut gagal  juga. Patung-patung tersebut tetap berada di lokasi ketika ditemukan.

Kurang lebih 100 tahun kemudian, sebuah keluarga Tionghoa membeli ladang tempat penemuan patung-patung tersebut. Setelah dibersihkan, diketahui bahwa patung-patung tersebut bukan sembarang patung. Patung-patung tersebut memiliki khas Buddha beraliran Mahayana yang punya banyak penganut di daratan Tiongkok.

Salah satu patung itu ternyata patung Kwan Im Po Sat alias Avalokitesvara. Tingginya 155 sentimeter, tebal tengah: 36 cm dan tebal bawah: 59 cm . Kabar ini pun tersebar luas di kalangan orang Tionghoa di Pamekasan dan Pulau Madura umumnya. Sejak itulah dibangun sebuah kelenteng untuk menampung patung Kwan Im Po Sat, Dewi Welas Asih yang sangat dihormati di kalangan masyarakat Tionghoa.

Kelenteng Kwan Im Kiong Vihara Avalokitesvara Madura Kelenteng Kwan Im Kiong Vihara Avalokitesvara Madura mempunyai sejarah dan kekhasan inilah sejak dulu menjadi tujuan warga Tionghoa. Tidak hanya pengunjung dari Jawa Timur, dari luar Pulau Jawa bahkan luar negeri pun kerap memanfaatkan kesempatan untuk datang bersembahyang di kelenteng Kwan Im Kiong.

Kini, setelah adanya Jembatan Suramadu, kunjungan wisatawan, khususnya warga Tionghoa, ke kelenteng Kwan Im Kiong meningkat pesat. Hampir setiap hari ada warga yang mampir ke Vihara Avalokitesvara di sekitar kawasan pantai wisata Talangsiring ini, baik sekedar melihat maupun khusus bersembahyang. Kwan Im Kiong memang termasuk salah satu kelenteng yang sangat dikenal umat Tridharma Indonesia.

Menyusuri Vihara
Begitu memasuki halaman Vihara Avalokitesvara suasana terasa khidmatan sunyi dan damai. Pekarangan vihara sangat besar yang didalamnya terdapat seperangkat gamelan untuk pagelaran wayang kulit. Gamelan dan pertunjukan watang kulit sering di tampilkan jika para peziarah melaksanakan hajat. Selain itu terdapat gedung untuk pertunjukan wayang orang dan ludruk yang dilengkapi dengan panggung pertunjukan. “Jika hari biasa, gedung digunakan untuk latihan bulutangkis bagi warga sekitar, tanpa dipungut biaya,” kata Kosala Mahinda, ketua Yayasan Vihara Avalokitesvara (T.I.T.D Kwan Im Kiong), Candi Pamekasan, Madura.

Vihara Avalokitesvara kerap kali dilakukan perayaan seperti hari kelahiran Dewi Kwan Im pada tanggal 19 bulan dua tanggalan Imlek, hari Dewi Kwan Im Mencapai Kesempurnaan pada tanggal 19| bulan enam dan hari Dewi Kuan Im naik ke nirwana tanggal 19 bulan sembilan. “Perayaan Dewi Kwan Im naik ke nirwana dirayakan pada tanggal 1 November 2012. Saat inilah pengunjung datang secara berkelompok dari penjuru tanah air,.” tambah Kosala Mahinda, Sebagai sebuah kelenteng atau tempat ibadah Tridharma, tentu saja Kwan Im Kiong punya fasilitas peribadatan untuk agama Samkauw: Buddha, Khonghucu, Taoisme.

Namun, yang unik di Kwan Im Kiong adalah keberadaan pura dan musala. Bagi Kosala Mahinda, Bhinneka Tunggal Ika tak sekadar slogan atau basa-basi belaka. Penghormatan terhadap keberagaman, kemajemukan, masyarakat Indonesia tercermin di dalam kompleks Kwan Im Kiong. Tak heran, tahun lalu Muri memberikan anugerah khusus kepada pengelola Kelenteng Kwan Im Kiong sebagai simbol kerukunan antarumat beragama.

Menurut Kosala Mahinda, sejak dulu para pengelola kelenteng ini memang punya wawasan Bhinneka Tunggal Ika. Semua agama atau aliran diberi tempat yang layak. “Kami hanya ingin perdamaian dan cinta kasih di antara umat manusia,” ujarnya. Karena itu, jangan heran ketika pengunjung melakukan kunjungan ke Kwan Im Kiong, dapat melihat kesib para peziarah dengan cara beribadahr? yang khas.

Umat Khonghucu langsung mengambil posisi di lithang yang luas, dekat pintu masuk. Ada lukisan jumbo menggambarkan Nabi Kongzi bersama pengikut-pengikutnya. Para konfusian pun berdoa dengan khusyuk di Lithang itu. Kesibukan serupa diperlihatkan peziarah yang Buddhis dan Taois. Mereka langsung menuju ke rumah ibadah mereka, lengkap dengan altar dan rupang-rupangnya.

Umat Hindu pun punya pura yang cukup asri. Hanya saja, pura ini biasanya lebih sepi ketimbang lithang, kelenteng, vihara, atau musala. “Tapi tetap saja ada orang Hindu yang datang beribadah di pura,” kata Kosala. Sampai sekarang, di Pulau Madura yang terdiri dari empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) hanya ada satu tempat ibadah untuk umat Hindu.

Yakni, pura kecil yang dibangun di dalam kompleks Kwan Im Kiong. Pihak Muri Semarang pun terkagum-kagum melihat kenyataan ini. Lokasi Pura paling dekat dengan Vihara. Ukuran Pura lebih kecil dari mushala, yakni hanya 3 >< 3 meter. Pembangunan Pura sendiri, sebenarnya atas prakarsa Kapolwil Madura saat itu, yang berasal dari Bali dan menganut Agama Hindu yang menyarankan membangun Pura.

Lantas, bagaimana dengan musholla? Nah, tempat ibadah untuk umat Islam ini juga sangat penting mengingat tak sedikit pengunjung yang beragama Islam. Selain pelajar, mahasiswa, atau rombongan wisatawan, banyak pula sopir maupun tim pendukung group seni budaya yang beragama Islam.

Mereka tentu membutuhkan musholla yang layak untuk menjalankan ibadah salat lima waktu. Dibandingkan dengan Vihara sendiri, mushola yang ada ada di lingkungan Vihara Avalokisvara Candi Pamekasan, memang tidak terlalu besar, hanya berukuran 4×4 meter dan pihak Vihara, menyediakan perlengkapan ibadah di musholla ini. Tempat berwudlu, sajadah, mukena dan tasbih.

Jarak musholla dengan Vihara hanya 10 meter yang dibatasi sebuah dinding. “Saat ini kami masih merencanakan pembangunan gereja, sehingga lebih lengkap lagi,” harapnya. Bagi para pengunjung yang kebanyakan dari luar kota bahkan luar pulau, pihak vihara menyediakanpenginapan kurang lebih 50 kamar.

Kami menyediakan penginapan bagi tamu dari luar kota, meski dengan model barak. Jadi satu penginapan bisa menampung satu kelompok Selain penginapan, terdapat kantin yang menyediakan aneka menu dan souvenir, Untuk menjaga kebersihan kawasan pihaknya dengan para pekerja yang jumlahnya 15 orang bahu membahu melakukannya.” katanya.

Kesenian rakyat yang paling digemari adalah wayang kulit. Yang paling mengesankan saat diselenggarkan festival wayang kulit semalam suntuk yang melibatkan 10 negara bahkan penyelenggaraannya dinilai sukses . “Idenya saat dia melihat di keraton Solo banyak pemainnya baik sinden, dalang dan penabuh gamelan orang luar negeri,” paparnya.

Harapan ke depan agar tetap eksis dan dapat berkembang. Pemerintah juga haru: memberikan dukungan pada kesenian agar tidak punah. Mengingat saat ini kaum muda banyak yang enggan untuk mempelajari kesenian utamanya wayang kulit. “Orang asing saja bisa dan senang untuk memainkan, masa kita kalah. Apalagi masyarakat kota,” keluhnya.

Disperindag dan Pariwisata akan bersinergi
Kabid Pemberdayaan Pariwisata, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pariwisata Kabupaten. Pamekasan, Halifaturrahman menambahkan setelah adanya Jembatan Suramadu, Pamekasan mendapatkan dampak yang positif, salah satunya adalah bidang pariwisata. Mengingat salah satu tujuan pariwisata yang banyak dikunjungi adalah Batu Ampar sebagai wisata religi yang berada di Propoh (kurang lebih 10 km dari kota).

“Biasanya peziarah setelah ke Batu Ampar mereka mampir ke wisata alam yaitu Api Tak Kunjung Padam,” kata Mamang panggilan akrabnya. Mengenai Vihara Avalokitesvar, Mamang mengatakan, sebagai vihara yang terbesar setelah vihara yang ada di Mojokerto.

Selain untuk beribadah, Vihara ini pernah digunakan untuk acara yang berskala nasional dan internasional. Seperti Pagelaran wayang internasional yang melibatkan kurang iebih 10 negara. Keberadaan Vihara adalah sebagai mitra dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

Kami tidak bisa intervensi terlalu dalam, mengingat tempat wisata yang ada di Pamekasan mayoritas dimilik dan dikelola secara kekeluargaan. Dia menyontohkan, wisata Batu Ampar adalah milik keluarga Batu Ampar. B

egitu juga Vihara dikelola oleh yayasan. Namun pihaknya tetap bersinergi dengan pengelola jika ada kegiatan yang bersifat wisata dan budaya untuk membantu memberikan sarana dan prasarana. “Karena bagaimana pun mereka adalah tamu kami,” pungkasnya.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Prasetya, Volume IV, No. 46, Oktober 2012, hlm. 31-33