Samodramanthana.
Dikisahkan pada zaman dahulu ketika dunia belum dihuni manusia yang mendiami adalah para dewa dan raksasa. Para Dewa mewakili kebaikan…
Dikisahkan pada zaman dahulu ketika dunia belum dihuni manusia yang mendiami adalah para dewa dan raksasa. Para Dewa mewakili kebaikan dan para raksasa mewakili kejahatan. Para raksasa yang mewakili kejahatan jumlahnya jauh lebih banyak daripada para dewa, sementara ke dua kelompok penghuni dunia ini selalu saja bertengkar Dewa Brahma selaku Dewa Pencipta Alam merasa cemas dan khawatir kalau nantinya dunia ini hanya dikuasai kejahatan belaka. Atas instruksi.
Dewa Brahma diselenggarakan pertemuan istimewa yang bertempat di puncak gunung Ma- hameru. Hasil pertemuan : untuk dapat mengalahkan para raksasa dibutuhkan Amerta\ yakni air penghidupan. Barang siapa yang berhasil meminumnya luput dari sakit dan kematian. Keputusan rahasia para dewa ini juga didengar oleh para raksasa tapi apa boleh buat tenaga mereka yang jumlahnya lebih banyak sangat diperlukan.
Para raksasa diijinkan untuk ikut mengadakan pengadukan lautan. Sebagai alat pengaduknya adalah gunung Mandara, Dewa Wisnu kemudian menjilma menjadi kura-kura yang sangat besar untuk menjadi alas gunung tersebut. Kemudian Dewa Wasuki menjilma menjadi ular yang membelit gunung Mandara. Para Dewa dan raksasa secara bergiliran menarik bagian kepala dan ekor ular tersebut sehingga gunung Mandara berputar mengaduk samodra. Suara hiruk pikuk gegap gempita siang dan malam. Pekerjaan berlangsung cukup lama hampir-hampir para pengaduk putus asa.
Cobaan dan pertolongan datang silih berganti. Atas petunjuk dan kesaktian Dewa Siwa maka gunung Mandara tersebut kemudian direndam dalam lautan. Tidak lama kemudian dari dalam laut muncullah bulan purnama, cahayanya menerangi seluruh alam semesta. Kemudian ber- turut-turut ke luar dari dalam lautan : Sura, Dewi Anggur penggembira kahyangan. Laksmi Dewi Kebahagiaan yang kemudian diambil istri oleh Dewa Wisnu dan kemudian Kaustubha, manikam yang berkilau-kilauan yang kemudian dipergunakan sebagai penghias dada Dewi Brahma. Paling akhir ke luar adalah Dewa Dhanwan- tari tabib kahyangan yang membawa Guci Amer- ta. Karena semua yang ke luar dari lautan sudah dimiliki para dewa maka Guci Amerta yang keluar terakhir diminta oleh para raksasa. Terjadilah pertengkaran sengit memperebutkan Guci Amerta antara para dewa dan para raksasa. Saat pertengkaran memuncak tiba-tiba dari gunung Mandara mengeluarkan racun yang mematikan siapa saja yang terkena.
Kedua pihak menjadi panik, dalam suasana mencekam seperti ini turunlah Dewa Siwa memberikan pertolongan. Racun yang mematikan tersebut diminumnya kartfha sakti hanya tenggorokannya saja yang terbakar dan akhirnya Dewa Siwa diberi nama “Si Leher Biru” atau Nilakantha. Dalam suasana kacau tersebut ternyata Guci Amerta telah jatuh ditangan para raksasa. Dewa Brahma menyamar sebagai bidadari dan berhasil mencuri Guci Amerta dari para raksasa untuk diserahkan kepada para dewa. (Cerita tersebut terpahat dalam bentuk relief di Candi Kesimantengah dan pada sebuah candi miniatur yang berasal dari Ampelgading, Malang bendanya dapat disaksikan di ruang pertama pendopo Balai Penyelamat Benda-Benda Kuno /Musium di Trowulan).