Penyerbuan Belanda ke Kota Lamongan
Bersamaan waktunya dengan pendaratan di Glondong, pada tanggal 18 Desember 1948 malam, tentara Belanda bergerak melintasi garis statusquo dan masuk…
Bersamaan waktunya dengan pendaratan di Glondong, pada tanggal 18 Desember 1948 malam, tentara Belanda bergerak melintasi garis statusquo dan masuk ke Pancur, desa perbatasan Lamongan dan Surabaya yang jaraknya 8 km dari Lamongan. Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda secara terbuka melakukan agresi II dengan tujuan meniadakan Republik Indonesia dan mempersiapkan berdirinya Republik Indonesia Serikat sebagai penggantinya dengan terlebih dahulu mendirikan negara-negara boneka.
Tindakan melintasi garis demarkasi tersebut, ternyata bukanlah serbuan yang sebenarnya, sebab pada pagi harinya mereka sudah meninggalkan Pancur dan kembali ke timur. Serbuan yang sebenarnya justru terjadi pada tanggal 20 Desember 1948 pukul 15.00, yakni serbuan atas kota Babat oleh Pasukan Marbrig (Mariniers Brigade atau Koninklijk Nederlandse Marine Korps) yang datang dari Tuban. Kota Babat termasuk jembatan Cincim jatuh ke tangan Belanda tanpa ada perlawanan sama sekali. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “dosa komandan Batalyon Halik”.
Mendengar berita penyerbuan tersebut, Komando Batalyon Sunaryadi segera menempatkan kompi Dullasim di desa Belo, Plosowahyu dan desa Made untuk menghadapi Belanda dari Babat. Brigade Marinir Belanda ternyata tidak langsung menyerang kota Lamongan dari kota Babat, melainkan bergerak ke arah selatan dengan tujuan utama kota Kertosono dan ibu kota Lamongan dengan taktik penyerangan tidak langsung.
Apabila di daerah utara mereka tidak menghadapi perlawanan yang berarti, sebaliknya di daerah selatan, yakni di daerah antara Gunung Pegat sampai ke Ngimbang mereka menghadapi perlawanan sengit tentara Republik. Di jalur ini tentara Belanda harus berhadapan dengan Kompi Dihar dari Batalyon Basuki Rachmat, Batalyon Jarot Subiyantoro dan Kompi Jansen Rambe.
Tanggal 2 Januari 1949 Kedungpring mendapat giliran serangan. Selanjutnya lawan bergerak ke Modo, Bluluk, Ngimbang, Sambeng dan Mantup. Desa Mantup dan desa Nogo Jatisari (Kecamatan Sambeng) markas Batalyonjarot dan dapur umum untuk melayani pasukan dibombardir oleh Belanda, sehingga pasukan tentara mundur ke arah barat. Dalam pertempuran di desa Dradah, gugur dua orang anggota pasukan. Setelah daerah-daerah tersebut sepenuhnya dikuasai, tentara Belanda dipecah menjadi dua, yakni sebagian lewat Kembangbahu kemudian bertemu dengan pasukan induk dari Mantup untuk menyerang Tikung lebih dahulu.
Pasukan terkonsolidasi dengan mantap dan rapi, segera dilaksanakan instruksi atasan untuk melakukan taktik ” Win gate actiori, yakni menyusup ke pertahanan Belanda di Gresik melalui daerah-daerah yang kosong dengan menghindari kontak senjata dengan tentara Belanda yang berjumlah besar, tetapi melakukan penyerangan ke pos-pos Belanda yang kecil dan melakukan penghadangan terhadap patroli Belanda. Seksi Mudakir dari kompi Dullasim diberangkatkan ke pedalaman dan berhasil melakukan gerilya di desa Putat Kecamatan Kebomas.
Kompi Sunaryo mengeluarkan satu seksi yang dipimpin oleh Letda Untung untuk mengadakan penghadangan di desa Modo. Tembak-menembak tidak bisa dielakkan antara tentara Belanda dan pasukan Untung. Karena tentara Belanda memiliki kekuatan yang lebih besar, akhirnya seksi mundur dengan membawa kurban dua orang, di antaranya Komandan Regu Sersan Subhan. Sementara Kompi Dullasim ketika mengadakan penghadangan di jalan Sugio menuju Kedungpring tidak berhasil menjumpai pasukan Belanda. Karena tidak menjumpai musuh, mereka kembali ke pos di desa Kentong Kecamatan Sugio, Lamongan.
Menjelang subuh pagi harinya, mereka disergap oleh pasukan Belanda dari berbagai arah, mereka lari tanpa sempat memberi perlawanan. Belanda memuntahkan peluru ke segala arah secara membabi buta, dan membakar rumah-rumah penduduk.
Penyergapan itu menimbulkan korban sebanyak 6 orang meninggal, termasuk Komandan Kompi Dullasimv Sedang korban yang luka-luka juga cukup banyak, di antaranya Komandan’Batalyon Mayor Sunaryadi. Dengan penyamaran yang rapi beliau berhasil diselundupkan ke Rumah Sakit Umum Lamongan dengan nama samaran Karjan. Beliau diselamatkan dari maut dan intaian Belanda oleh dokter Paeijs dan para juru rawat yang tetap Republikein (setia kepada Republik Indonesia).
Selama masa perang Kemerdekaan di wilayah Lamongan, peranan Batalyon Sunaryadi sangat besar. Demikian pula dengan Batalyon Mayangkara di bawah pimpinan Mayor Jarot Subiyantoro. Nama Pak Jarot bagi penduduk Lamongan bagian selatan dan barat pada masa itu cukup legendaris. Untuk mengenang Batalyon Mayangkara dan komandannya, di Surabaya, tepatnya di depan Rumah Sakit Islam Wonokromo telah didirikan monumen yang cukup megah, berupa patung aim. Let. Kol. Jarot Subiyantoro menunggang kuda mayangkara. Selain itu nama Mayangkara juga diabadikan untuk nama sebuah taman di depan kebun binatang Surabaya, dan nama sebuah jembatan layang di Wonokromo. Demikianlah gambaran perjuangan yang dapat disaksikan oleh sejarah pada permulaan agresi Belanda II di wilayah Lamongan.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Lamongan Memayu Raharjaning Praja, Lamongan: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan, 1994.