Monday, December 11, 2023
Semua Tentang Jawa Timur


Kadet Soewoko, Kabupaten Lamongan

Gugurnya Kadet Soewoko sebagai patriot bangsa mempunyai arti khusus bagi rakyat Lamongan. Semangat kepahlawanan, patriotisme tanpa kenal menyerah walau dalam…

By Pusaka Jawatimuran , in Lamongan Sejarah Sosok Th. 1994 , at 30/11/2012 Tag: , , , ,

Gugurnya Kadet Soewoko sebagai patriot bangsa mempunyai arti khusus bagi rakyat Lamongan. Semangat kepahlawanan, patriotisme tanpa kenal menyerah walau dalam keadaan terjepit merupakan identitas dan selalu memberikan inspirasi semangat perjuangan bagi masyarakat Lamongan dalam menghadapi tantangan hidup yang berat.

Waktu itu Kabupaten Lamongan merupakan bagian dari wilayah pertempuran Brigade Ronggolawe yang disebut Daerah Operasi Timur (DOT) dibawah pimpinan Kapten Soekarsono. Nama-nama pejabat pemerintahan militer dan pemerintahan sipil antara lain adalah:

  1. Kapten Soekarsono, Komandan Komando Distrik Militer (KDM sekarang KODIM) sebagai Kepala Pemerintahan Militer,
  2. Lettu Soewignyo, Kepala Staf KDM (panggilan akrab: mas Tjuik),
  3. Supardan, Patih (mengganti jabatan Abdul Hamid) sebagai Sekretaris
  4. Lettu Tituler Projosayono, Kepala Bagian Perekonomian,
  5. Lettu Tituler Imam Suhadak, Kepala Bagian Kemasyarakatan,
  6. Lettu Suyono, Kepala Bagian Pertahanan,
  7. S. Hadibroto, Urusan Penyiaran dan Dokumentasi.

Sebagai Komandan Daerah Operasi Timur (DOT) kapten Soekarsono telah mengambil kebijaksanaan yang berdasarkan atas situasi dan kondisi daerah Kabupaten Lamongan pada waktu itu.

  1.  Bidang Politik-Pemerintahan.
    1. Memanggil para Camat yang berada diluar wilayahnya untuk tidak meninggalkan rakyat dan mengadakan gerakan kucing-kucingan bila terjadi gerakan Belanda di daerahnya.
    2. Segera mengisi/mengangkat Camat-camat baru yang lowong.
    3. Bidang Militer
      1. Mengangkat Komandan Onder Distrik Militer (ODM = Koramil),
      2. Menyusun Pemerintahan Militer Kecamatan,
      3. Menyusun Kader-kader di tiap desa dan menggiatkan pasukan gerilya desa (pager desa),
    4. Mengumpulkan kelompok bersenjata yang terpisah dari induknya dan disusun menjadi kesatuan dibawah satu komando.

Dengan peme-rintahan militer yang sudah ter-bentuk sampai tingkat Keca­matan, maka sejak pertengahan Maret 1949 pertahanan Komando Distrik Militer (KDM=KODIM) Lamongan beralih dari pasif defensif menjadi aktif yang perwujudannya adalah mengadakan serangan umum ke kota Lamongan, ini terjadi pada hari Senin Kliwon tanggal 28 Maret 1949 malam.

Serangan umum bagi Komandan Pemerintahan Militer bagaikan angin meniup untuk mengobarkan semangat rakyat kembali. Tanggal 29 Maret bagi sejarah perjuangan fisik di Lamongan dapat dicatat sebagai tanggal serentak dijalankannya gerakan non kooperasi oleh para Lurah diseluruh Kabupaten.

Sejak serangan umum yang dipimpin Soekarsono dan melibatkan diantaranya pasukan Tamtomo, dimana seorang angggotanya bernama Soemargo gugur dalam serangan dan pasukan Candrabirawa yang anggota-anggotanya terdiri dari anggota ODM bersama pemuda dan rakyat desa, membawa pengaruh positip. Grafik perjuangan mulai naik mulailah peristiwa dan disusul dengan peristiwa lain dan kesemuanya menguji kekuatan pasukan gerilya.

Sehabis serangan ke kota Lamongan, pasukan Tamtomo ber­pencar ke daerah basis masing-masing. Regu pimpinan Kadet Soewoko, salah satu dari empat regu pasukan tersebut menyingkir ke daerah Laren di utara Bengawan Solo. Setelah lima hari beristirahat pada hari Minggu tanggal 3 April 1949 menjelang tengah hari  Seowoko menerima laporan dari penduduk desa, bahwa di jalan dekat desa Parengan sejumlah serdadu Belanda sedang berusaha menarik kendaraannya yang terperosok ke dalam selokan.

Saat itu Soewoko dengan regunya sedang berada di sebuah Langgar dipinggir desa Laren. Setelah berunding dengan rekan-rekannya diperoleh kesepakatan untuk menyerang regu Belanda. Berangkatlah regu Soewoko berkekuatan 7 orang dengan persenjataan terdiri dari 2 pucuk leeenfield laras panjang dan 1 pucuk laras pendek, 2 pucuk senapan jepang dan 2 pucuk stengun. Dengan menaiki perahu regu diseberangkan ke selatan Bengawan Solo dan sampailah di desa Parengan.

Dari kejauhan Serdadu-serdadu Belanda sudah nampak, mereka berada di alam terbuka tanpa pepohonan kanan-kiri. Baju seragam dilepas dan pada leher melilit sebuah kain merah. Mereka berusaha menarik power wagon tetapi belum berhasil. Bantuan penduduk tidak didapat, sebab telah pergi menghindarkan diri. Hanya beberapa pemuda desa berhasil ditangkap dan dipaksa untuk dibawanya. Jumlah tenaga masih belum mampu menaikkan kendaraan dari selokan.

Dengan hati-hati regu Soewoko terus maju. Pesan Soewoko, “kita tidak menembak sampai mereka menggerakkan power-wagonnya pada saat dan detik itulah kita tembak salvo, kemudian mundur”. Regu masih terus maju dan merangkak, pada jarak sekitar 100 m dari musuh baru berhenti. Anggota-anggota berlindung pada onggokan/gundukan tanah yang ditanami ubi-ubian.

Cukup lama menunggu, setelah matahari mulai condong ke barat, dari jauh terdengar deru mobil. Ternyata sebuah power-wagon lain berisi serdadu sedang menuju ke tempat kendaraan yang terperosok. Seutas tali dipasang dan mesin dihidupkan, kendaraan penolong ber­gerak mundur sambil menarik power-wagon yang masuk selokan. Setelah kedua kendaraan sudah siap dan serdadu-serdadu Belanda diatas dan siap berangkat, detik yang dinantikan itu tiba dan terdengar aba-aba: “Tembaaakkk”. Beberapa serdadu nampak jelas terjungkal dari atas bak belakang ke tanah, kedua power-wagon tidak jadi bergerak maju.

Musuh seketika tidak menunjukkan reaksi, mereka seperti terpaku diam dan tidak melakukan gerakan apapun. Tidak lama kemudian dengan gencar melakukan tembakan balasan dan benar-benar merupakan tembakan penghancuran dengan tidak memberi kesempatan kepada regu memberi perlawanan.

Soewoko dan anggotanya tidak berkutik dan sudah kewalahan menghadapi perlawanan lawan. Usaha untuk menggeser pindah posisi sudah tidak mungkin lagi. Pasukan Belanda telah maju dengan ber­pencar, mereka telah berada disamping dan di belakang pertahanan. Arah datangnya tembakan lawan beralih setelah senapan mesin yang ditempatkan di power-wagon berhenti menembak. Hanya alam yang menolong sehingga pasukan Soewoko tidak mengalami kehancuran. Waktu itu sudah mulai gelap, jarak antara 10-20 m saja tidak kelihatan. Dalam situasi krisis Soewoko mengambil keputusan untuk mene­robos kepungan lawan sebagai satu-satunya jalan. Perintahnya “Serbu dan lari ke Gemantuk”.

Dengan sangkur terhunus pada ujung senjata mereka berusaha menembus kepungan dalam cuaca gelap dan masuk ke desa Gemantuk. Sebaliknya bagi Soewoko merupakan saat yang naas. Tatkala akan maju dengan menembakkan stengun ia keduluan terkena tembakan pada kedua bahunya sampai tembus dan terjatuh di tanah Ia belum gugur tetapi sudah tidak dapat melakukan perlawanan. Beberapa Serdadu mendekat dan bertanya dengan nada membentak, “Siapa nama?” Jawab Soewoko, “Soewignyo”, ia menyebut nama Kepala Staf KDM Belanda. “Mari ikut ke pos Sukodadi”. Soewoko, “Tidak, tidak. Saya tidak mau menyerah, bunuhlah saya”.

Berlumuran darah pada sekujur badan karena luka-luka dan sudah tidak berdaya ia ditusuk sangkur dan pipi sebelah hidung ditembak. Dialog cerita ini diceritakan oleh Suyono yang menelungkupkan badan, pura-pura mati dan ia berada tidak jauh dari Komandan regunya (Kol. Pol. Purn. Suyono). Dalam pertempuran tersebut gugur 4 orang yaitu Soewoko, Sukaeri, Widodo dan Lasiban serta Senjata dirampas musuh 4 pucuk.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:
Lamongan Memayu Raharjaning Praja, Lamongan: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan, 1994.

 

Comments


Leave a Reply

%d blogger menyukai ini: