Ki Buyut Jaksa Tukang Rumput Bupati Mas Alit, Kabupaten Banyuwangi
Ki Buyut Jaksa adalah gelar yang disandang Ki Martojoyo, seorang tukang rumput Bupati Mas Alit (Bupati I Banyuwangi) yang merupakan…
Ki Buyut Jaksa adalah gelar yang disandang Ki Martojoyo, seorang tukang rumput Bupati Mas Alit (Bupati I Banyuwangi) yang merupakan salah satu cicit dari Tawang Alun. Mas Alit diangkat jadi Bupati atas dasar usulan Patih Juru Kunci (patih dari Adipati Jeksanegara 1771-1773) pada Residen Schophoff yang kemudian diteruskan lewat P. Luzak, Gezaghebber Ujung Timur, dilanjutkan lewat Van der Burg Gubernur di Semarang dan dilanjutkan ke Gubernur Jenderal Van der Parra di Batavia. maka turunlah resolusi penguasa VOC tanggal 7 Desember 1773 yang berisi: Pengangkatan Mas Alit sebagai Bupati Blambangan; memberikan kebebasan kepada Mas Alit untuk memilih dan memindahkan ibu kota pemerintahannya dari tempatnya yang semula di Benculuk ke tempat lain dan; memerintahkan kepada seluruh eselon bawahannya dari jajaran pejabat VOC di ujung timur terutama yang ada di Blambangan untuk mengubah kebijaksanaanya (dari kekerasan ke pendekatan dengan memperhatikan kepentingan dan keadaan sosial ekonomi penduduk setempat) dalam menangani pemerintahan di Blambangan. Berdasarkan resolusi itu, Mas Alit dilantik 1 Februari 1774 dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Benculuk ke Banyuwangi. Dan Mas Alit mulai menempati kediamannya di Banyuwangi pada tahun 1775 (Lekkerkerker, 1923: 1061).
Dari literatur yang ada dapat dipastikan sejarawan hanya meperhatikan tokoh-tokoh utama pelaku sejarah. Barang kali memperhitungkan segi praktis dan ekonomisnya, namun tidak ada jeleknya jika dalam tulisan ini saya menyoroti Ki Martojoyo sebagai tukang pencari rumput sekaligus tukang ramut kudanya Bupati Mas Alit. Karena sosok Ki Martojoyo asal Lumajang ini punya andil besar dalam meluruskan masalah keagamaan di Banyuwangi dan punya andil besar pula dalam pembuatan jalan dari Banyuwangi-Surabaya, utamanya tragedi penembusan bukit batu yang sekarang kita kenal sebagai obyek wisata Watu Dodol (15 km arah utara dari pusat pemerintahan). Alkisah, Ki Martojoyo sedang merumput di tegal (lapangan di selatan pendopo Kabupaten, di timurnya masjid dan sekarang sudah jadi Taman Sritanjung). Hujan lebat sekali disertai petir yang menyambar-nyambar. Melihat keadaan yang demikian, Bupati Mas Alit tahu dan memerintahkan pembantunya yang lain (Jongos) menyusul Ki Martojoyo. Jongos (namanya luput dari catatan sejarah) tergesa- gesa menghampiri Ki Martojoyo. Berdasarkan, perintah Bupati Mas Alit, Ki Martojoyo disuruh pulang. Seusai menyampaikan pesan itu, Jongos segera lari ke pendopo. Ki Martojoyo malah jalan berlenggang seperti tidak sedang diguyur hujan. Ia langsung menuju kandang kuda dan menurunkan gulungan rumput. Lagi-lagi Bupati Mas Alit memerintahkan Jongos membawa pakaian kering untuk Ki Martojoyo. Begitu sampai di kandang kuda, Jongos sangat kaget campur heran karena dilihatnya Ki Martojoyo tidak menggigil kedinginan karena seluruh badan dan pakaiannya tetap kering, belum sampai menegur Ki Martojoyo, Jongos kembali menghadap Bupati Mas Alit untuk melaporkan apa yang baru saja dilihat. Untuk membuktikan laporan Jongos, Bupati Mas Alit mendatangi Ki Martojoyo di kandang kuda. Ternyata benar laporan Jongos tadi. Setelah terjadi dialog beberapa kali, akhirnya Bupati Mas Alit tahu kalau Ki Martojoyo memiliki ilmu yang tinggi dan tidak pada tempatnya jika hanya sebagai tukang rumput dan ramut kuda. Maka atas dasar musyawarah Bupati Mas Alit dengan para penasehat, punggawa dan para Singo, Ki Martojoyo diangkat menjadi Jaksa Agama dan masyarakat menjuluki Ki Buyut Jaksa.
Sayang sekali jabatan ini tidak lama diduduki Ki Buyut Jaksa. Usianya memaksa dirinya untuk bergeser. Bupati Mas Alit meminta Ki Buyut Jaksa tetap tinggal di lingkungan pendopo karena nasehat-nasehatnya masih dibutuhkan. Namun Ki Buyut Jaksa berniat mengasingkan diri ke Gunung Silangu, 3 km arah barat dari pendopo kabupaten. Bupati Mas Alit tak bisa mencegah. Maka berangkat-lah Ki Buyut Jaksa ke Gunung Silangu. Di Gunung Silangu Ki Buyut Jaksa ngampung di gubuk Kik Lemani yang punya anak bernama Nuriman. Dimana, Ki Buyut Jaksa sangat sayang pada Nuriman dan akhirnya dijadikan anak angkat. Di Gunung Silangu ini Ki Buyut Jaksa mengamalkan ilmunya, konon ia sering-sering menghilang. Begitu datang dapat dipastikan membawa batu sebesar kepala sapi. Batu-batu itu ditumpuk di tepi kali dari timur ke barat sepanjang 25 meter/tinggi 3 meter (dulu) sekarang tinggal 1 m, lebar 2 m di tengah-tengah tumpukan batu itu tumbuh pohon beringin. Di barat beringin itu dibuat ruangan sholat. (dindingnya tumpukan batu tadi dan atapnya dari helai-helai daun ilalang). Ruang pesholatan ini sekarang dibangun musholla At-Taqwa. Hanya saja batu tempat Ki Buyut Jaksa sujud tetap dipasang di ruangan musholla, persis 1 m dari pintu masuk. Di bawah batu itu ada haikal, keris Nogo Sosro dan akik. Untuk mengambilnya tentu harus melalui jalur ilmu tinggi. Untuk kepentingan VOC, Residen Schophoff mendapat perintah dari atasannya agar di Banyuwangi ada jalan darat menuju Surabaya. Maka Residen Schophoff meminta pada Bupati Mas Alit agar mengerahkan rakyatnya untuk kerja bakti. Dan berlangsunglah berbulan-bulan dengan korban berjatuhan karena imbalan jaminannya tidak seimbang dengan kerja baktinya. Korban makin banyak tatkala jalan sudah sampai di bukit batu dekat pantai jauh di utara pusat pemerintahan. Bupati Mas Alit sangat sedih. Ia tak mau rakyatnya jadi korban sia-sia. Maka kerja bakti dihentikan
Pihak VOC bersikeras mewujudkan jalan darat tanpa harus melibatkan anggotanya untuk ikut kerja bakti. Karenanya pihaknya sangat terpukul atas pemogokan para pekerja bakti yang keseluruhannya rakyat Banyuwangi. Bupati Mas Alit yang jelas membela keberadaan rakyatnya, karena masing-masing pihak berdiri pada kepentingannya sendiri, akhirnya kedua pihak sepakat mengadakan sayembara, isinya, barang siapa mampu mendodol bukit batu selebar 30 m, diberi hadiah tanah mulai dari selatan bukit batu ke selatan hingga Sukowidi (sekarang). Namun sampai batas waktu yang ditentukan, tidak ada satupun orang yang sanggup mengikuti sayembara. Akhirnya Bupati Mas Alit teringat Ki Buyut Jaksa yang sedang mengasingkan diri di Gunung Silangu. Maka ia mengirim beberapa utusan untuk menyampaikan permasalahan ini pada Ki Buyut Jaksa. Di luar harapan, ternyata Ki Buyut tidak bersedia membantu karena dirinya tahu, kesemuanya merupakan rekayasa VOC yang menjalankan kekerasannya lewat cara lain. Berkali-kali Bupati Mas Alit kirim utusan. Akhirnya Ki Buyut Jaksa bersedia membantu asal orang-orang VOC juga ikut kerja bakti, yang mimpin ditunjuk Nuriman yang kala itu baru berusia 11 tahun. Pihak VOC dan Bupati Mas Alit menyetujui gagasan Ki Buyut Jaksa, Nuriman yang merasa keberatan. Karena usianya yang masih anak-anak dirasa tidak mungkin mampu memimpin orang-orang tua apa lagi campur orang-orang VOC untuk kerja bakti. Ki Buyut Jaksa menasehati kalau dirinya membantu Nuriman dari belakang. Akhirnya Nuriman bersedia.
Sebelum melakukan kerja bakti, konon Ki Buyut Jaksa memanggil para demit yang menghuni bukit batu. Kedatangan dedemit ini diceritakan seperti arak-arakan agustusan. Rajanya dipikul empat prajuritnya. Kepala rajanya seperti barong (sebarang) dan badannya memanjang lumpang (tempat menumbuk padi). Terjadi dialog antara raja demit dengan Ki Buyut Jaksa menghasilkan kesepakatan, para demit di bukit batu bersedia membantu mendodol bukit batu antara dua anjir (patek). Sepulang rombongan demit, Nuriman diwejang oleh Ki Buyut Jaksa sekaligus diberi kayu semacam tongkat komando untuk memimpin kerja bakti. (Tongkat kayu ini sampai sekarang masih ada). Karena butuh uang, cicit Nuriman yang bernama Mistari pinjam uang Rp 100 ribu dan tongkat kayu ini dijadikan bork).
Sebelum memimpin kerja bakti, Nuriman diajak meninjau lokasi oleh Ki Buyut Jaksa, ternyata di bukit batu ada dua anjir yang jaraknya lebih kurang 60 m. Ki Buyut Jaksa memerintahkan kepada Nuriman agar para pekerja bakti nanti mendodol bukit batu sesuai dengan ukuran yang diminta VOC saja, yakni 30 m. Setelah melihat lokasi, ayah (lajang) dan anak angkat ini kembali ke Gunung Silangu.
Keesokan harinya, Nuriman dengan tongkat komando di tangan kanannya berangkat ke lokasi kerja bakti dengan rakyat Banyuwangi dan beberapa anggota opas VOC. Kerja bakti berlangsung siang malam. Konon para dedemit membantu. Kalau malam dedemit ini berubah menjadi harimau. Tapi para pekerja bakti makhluk manusia tidak tahu karena batasan alamnya. Ki Buyut Jaksa hanya njangkungi dari Gunung Silangu.
Kerja Bakti selesai, para pekerja bakti selamat. Tidak ada korban meskipun ada seonggok batu yang tidak kena didodol di sebelah timur jalan (sekarang di tengah jalan). Menurut cerita, seonggok batu yang tidak kena didodol itu tempat duduknya raja demit. Atas keberhasilan ini, Nuriman dan Ki Buyut Jaksa diberi hadiah sesuai janji Bupati Mas Alit. Namun Nuriman dan Ki Buyut Jaksa menolak. Mereka lebih suka hidup di Gunung Silangu, di samping itu lahan di selatan watu Dodol hingga Sukowidi masih berupa hutan lebat.
Kini Gunung Silangu jadi Kelurahan Boyolangu Kec. Glagah. Tiap tahun masyarakat Boyolangu berbondong-bondong naik andong menuju Watu Dodol sambil membawa makan untuk disantap bersama-sama. Rombongan andong (dokar) ini bisa kita jumpai setiap 10 hari dari 1 Syawal.
Kapan Ki Buyut Jaksa wafat? menurut kepercayaan Ki Buyut Jaksa tidak wafat tapi musno. Sebelum musno, Ki Buyut Jaksa berpesan pada Nuriman: Jika suatu saat saya tidak ada di gubuk ini, buatlah tanda di patek ini.” Sayang sekali ketika Ki Buyut Jaksa menghilang dan tidak kunjung kembali, tidak dicatat hari tanggal bulan dan tahunnya. Akhirnya Nuriman membuat semacam kuburan. Dan oleh masyarakat Weringinan Boyolangu, Nuriman dijadikan petinggi dan mendapat gelar Singosari. Singosari punya anak Kik Iyam dijuluki Singopati. Singopati ini punya keturunan Jono, Jono punya anak Karunia alias H. Kodir, punya anak Senari Sukaryo, punya anak Mistari (64). Mistari inilah yang menceritakan pada penulis. Ia mengatakan, buku-buku peninggalan Ki Buyut Jaksa sebenarnya banyak. Pada waktu penjajahan Jepang buku-buku itu dipendam oleh murid-muridnya di tengah sawah. Sedang cincin Merah Delimanya sampai sekarang masih ada. Konon cincin ini akan diberikan pada saudara-saudaranya (cicit saudaranya) yang ada di Lumajang. Untuk mengambilnya mesti tirakat dan nyepi di petilasan Ki Buyut Jaksa di utara Masjid Kel. Boyolangu. Sumber lain yang penulis hubungi adalah Mak Suriyah (Sayuti) berusia 127 tahun juga penduduk Kel. Boyolangu. Ia sempat bertemu dengan petingginya yakni Singosari. Menurut ceritanya, Singosari pernah mengatakan, Boyolangu yang dulu masih berbentuk Gunung Silangu ini hampir mengeluarkan lahar. Tapi Ki Buyut Jaksa berdoa agar Gunung Silangu dimatikan saja. Doanya dikabulkan, hanya saja diganti dengan musibah api. Maka sebagian dari wilayah Gunung Silangu hangus terbakar, mak Suriyah menuturkan, atas cerita tadi, kini di Boyolangu tiap tahunnya hampir bisa dipastikan ada kebakaran. Entah rumah, kendaraan manusia seperti yang menimpa guru SMPN I Giri, Ibu Hamdana. Penyebabnya sepele. Anaknya sedang bermain kompor-komporan yang dibelikan di THR Blambangan. Karena diisi minyak tanah sungguhan, kompor-kompor tadi nggebus, apinya masuk ke tempat minyak tanahnya. Buru-buru Bu Hamdana mengambil kompor-komporan yang dilahap api itu. Maksudnya mau dimasukkan ke bak air. Tak disangka, api menjilat kain roknya hingga terbakar dan dengan cepat merambat ke seluruh pakain yang dikenakan. Bu Hamdana panik masuk bak air (jeding). Masyarakat sekitar menolong langsung melarikan ke RSUD Blambangan. Satu hari dirawat, Bu Hamdana meninggal di sal rumah sakit. Sebagai sikap kontroversi, Drs. Sugiono (48) justru suka bermain sepak bola api dan voli dengan bola api. Apakah ini sikap menentang sugesti dari generasi kini pada generasi tua? Sugesti lainnya yang dituturkan Mistari adalah persetruan antara masyarakat Boyolangu dengan Cungking hingga sekarang. Apakah ini buah politik Belanda yang suka memecah belah dengan jalan mengadu masyarakat suatu tempat dengan daerah lain sehingga turun-temurun hingga sekarang? Barang kali publik lebih setuju dengan pendapat penulis. Namun lain kepercayaan yang digandoli masyarakat Boyolangu. Mereka percaya, dulu Ki Buyut Wongso Karyo yang petilasannya berada di Cungking ngeluruk Ki Buyut Jaksa di Gunung Silangu dengan membawa kiling, dipasang di dekat peristirahatan Ki Buyut Jaksa. Dengan ilmunya, Ki Buyut Wongso Karyo yang dikenal sebagai Ki Buyut Cungking, mengundang angin dari arah utara, karena tingginya kecepatan angin, pohon-pohon kelapa yang dilaluinya roboh. Namun begitu dekat dengan kiling, anginnya menghindar sehingga kiling tidak berputar. Atas kekalahan ini Ki Buyut Wongso Karyo merasa malu dan jengkel. Tanpa bicara ia menurunkan kilingnya dan siap meninggalkan Ki Buyut Jaksa. Sebelum melangkah meninggalkan Boyolangu (Gunung Silangu), Ki Buyut Wongso Karyo berkata: Aku akui kekalahan ini. Tapi jika kelak ada masyarakat Gunung Silangu ini masuk Cungking pasti tinggal namanya. Ki Buyut Jaksa menjawab sebaliknya. Kisah ini bisa dibuktikan. Pernah pemuda Cungkin berani menikahi gadis Boyolangu. Perkawinan belum berusia sebulan pengantin lakinya meninggal tanpa jalaran sakit lebih dulu. Benarkah demikian? Apakah masa kehidupan Ki Buyut Jaksa satu jaman dengan Ki buyut Wongso Karyo? Setelah penulis buka-buka makalah sejarah Blambangan 1993, Ki Buyut Wongso Karyo itu tidak sejaman dengan Ki Buyut Jaksa. Mungkinkah terjadi? Jadi penulis yakin persetruan antara masyarakat Cungkin dengan Boyolangu hanyalah hasil rekayasa politik Belanda, bukan karena kutukan Ki Buyut Wongso Karyo yang hidup di jaman Prabu Tanpo Uno Tanpo Uni tahun 1389 M atau kutukan Ki Buyut Jaksa yang hidup pada jaman Bupati Mas Alit tahun 1773-1782 M.
Ki Buyut Wongso Karyo adalah tokoh penting di jamannya. Ilmu kanuragannya tinggi, pandai mengatur strategi perang dalam menghadapi VOC di jaman kepemimpinan putra-putranya Prabu Tanpo Uno Tanpo Uni yang dibayangi kekuasaan Kerajaan Mataram. Ki Buyut Wongso Karyo adalah tokoh yang sangat disegani di kalangan rakyat Blambangan dan ditakuti lawan. Begitu juga tokoh Ki Buyut Jaksa yang rendah hari, memulai karir jasanya dari tukang rumput dan tukang ramut kuda Bupati Mas Alit (1773-1782). Karena ketinggian ilmu keagamaap dan kanuragannya ia diangkat menjadi jaksa agama, kemampuannya memasuki alam metafisik mampu menggerakkan dedemit di bukit batu untuk ikut kerja bakti mendodol bukit batu dijadikan jalan darat. Dan kini bukit batu yang jadi masalah itu malah jadi obyek wisata Watu Dodol. Kedua tokoh ini sama-sama potensial. Sama-sama milik Banyuwangi. Jadi tak ada alasan saling mempertentangkan satu sama lain. Sekarang sudah alam globalisasi. Apa yang sedang terjadi di belahan bumi selatan dapat diketahui oleh penghuni belahan bumi utara.
Penjajahan fisik bangsa lain atas negeri kita memang sudah lama berlalu. Namun politik adu dombanya hingga sekarang masih kita rasakan getarannya. Kitalah yang bertanggung jawab membersihkan sisa-sisa feodalisme yang kaku kemudian kita ganti dengan lembaran persatuan dan kesatuan untuk ikut berperan dalam PJP II. Karena bangsa kita pada dasarnya memiliki watak dan kepribadian luhur. Memiliki kewibawaan yang tinggi di tengah bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Sebagai bangsa yang tahu adat, tentu sangatlah arif menghargai upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pendahulu kita. Sekecil apapun upaya itu. Dengan apa? Minimal kita memberikan perhatian pada kehidupan mereka yang ikut merawat peninggalan pelaku sejarah seperti Mistari yang masih punya tanggungan Rp 100 ribu dan benda peninggalan sejarah dijadikan bork. Tanggung jawab siapa ini? □
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Abdullah Fauzi, Gema Blambangan. No. 063/1996 44-48
Comments
Artikel yang sangat bermanfaat, mohon ijin untuk menyadur beberapa isi artikel ini. Akan kami sertakan link sumber atas artikel ini pada web kami. Terimakasih